Harus berubah {2}
Harus berubah {2}
"Ya pasti ada hubungannya lah. Emang lu mau nanti anak kita di ejek sama temen-temennya karena punya ayah yang bego? Trus lu mau nanti anak kita menderita, gara-gara bapaknya jatuh miskin, nggak mampu nerusin perusahaan akungnya?"
Penjelasan Rio membuat wajah Jamal berkerut, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Tentu saja ia tidak mau hal itu sampai terjadi. Anaknya harus mendapatkan yang terbaik.
"Makanya, lu berubah. Bikin anak kita nanti kagum sama lu. Bikin juga anak kita ngerasa bangga karena punya ayah yang pinter kayak lu. Belum terlambat kok! Lu masih punya banyak waktu."
Hipotesis Rio sukses membuat Jamal tertegun. Dalam diam, remaja Jamal juga membenarkan kata-kata Rio barusan. Hal itu membuat ia sedikit melunak, lalu secara perlahan ia mengurai pelukan pada tas sekolah miliknya.
Menarik napas dalam-dalam kemudian Jamal hembuskan secara perlahan. Kemudian secara ragu-ragu ia mengulurkan tas sekolahnya kepada Rio.
Tidak menunggu lama, Rio langsung merampas cepat-cepat tas milik Jamal. Jangan sampai Jamal berubah pikiran kembali.
Meski masih sempat terjadi adegan tarik ulur--lantaran Jamal masih ragu, tapi akhirnya ia mengikhlaskan tas sekolahnya kepada Rio.
"Gitu dong..." Rio mengulas senyum penuh kemenangan. Kemudian ia memutar tubuhnya, lalu berjalan ke arah tempat tidur.
Sementara Jamal mengekor dari dibelakangnya, masih sedikit diselimuti rasa malas, karena ada beberapa alasan.
~☆~
Rio mengerutkan wajah sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal, saat sedang melihat buku catatan pelajaran milik Jamal. Remaja itu bingung, selama ini ia tidak pernah melihat tulisan seburuk itu. Bahkan, adiknya yang masih sekolah SD saja, walapun tidak bagus tulisannya, tapi masih bisa dibaca atau dipahami. Sedangkan tulisan Jamal, ternyata tidak hanya jelek, tapi juga tidak bisa olehnya.
"Duh Jamal... ini apaan sih gue nggak ngerti?" Keluh Rio setelah ia berusaha untuk memahami tulisan di buku catatan Jamal, namun hasilnya ia masih tidak dapat membacanya. "Tulisan lu tuh sumpah kayak cakar ayam. Gimana mau ngajarin tugas lu, kalu gue nggak bisa baca tulisanya."
Setelah gengsi, tulisannya yang jelek menjadi alasan kedua kenapa ia tidak mau belajar sama Rio. Lebih tepatnya Jamal merasa malu.
Rio membuang napas kasar, sambil meletakan buku catatan itu di atas paha Jamal yang sedang duduk bersila di depannya.
"Gue pikir lu bukan cuma bego, tapi lebih parah dari sekedar bego!"
Alasan selanjutnya yang semakin membuat Jamal malas belajar baru saja keluar dari mulut Rio, yaitu; kalimat atau kata-kata pedasnya. Dugaannya tepat, kata pedas meluncur tanpa beban dari mulut Rio.
Jamal menghela napas panajang sambil memegangi dada, mengajaknya supaya bisa diajak bersabar. Demi masa depan anak-anaknya, dan bisa bangga mempunyai orang tua seperti dirinya, Jamal akan bertahan. Toh berkat kata-kata Rio juga ia menjadi lebih bersemangat.
"Lu kenapa?" Tanya Rio saat ia melihat apa yang dilakukan oleh Jamal barusan--mengehela napas sambil memegangi dadanya. Rio mengerutkan kening, sorot matanya lurus menatap bola mata Jamal.
Dan alasan yang terakhir kenapa Jamal menghindari belajar dengan Rio adalah; hatinya. Yah, hatinya yang selalu saja berdesir aneh tiap kali bola mata Rio menatap dirinya. Hatinya sulit sekali dikendalikan--supaya bisa anteng, saat berbicara dengan Rio dalam waktu yang cukup lama, tentunya dengan bola mata yang selalu bersitatap.
Anehnya rasa yang tengah ia rasa kini, belum pernah ia rasakan kepada siapapun, termasuk kepada mereka para cewek yang pernah diajaknya berkencan. Tidak ada debaran, hanya ada nafsu, tanpa ada perasaan cinta.
"Gue kenapa sih?" bingung Jamal di hatinya.
"-lu kesinggung sama omongan gue?" Lanjut Rio yang membuat Jamal tersentak sadar.
"Eh, enggak. Gue nggak kesinggung," aku Jamal gugup. "Lu mau ngomong apa aja jug gue nggak apa-apa, kok. Gue ikhlas."
Ternyata kekuatan cinta masih bisa mengalahkan banyak hal. Jamal seperti sedang membuktikan kalau; segalak-galaknya orang, jika hatinya sudah disentuh oleh yang namanya cinta, pasti akan menjadi luluh; sekeras-sekerasnya sifat orang, kalau sudah kenalan sama yang nama cinta, pasti bisa berubah menjadi luluh; dan yang terakhir, sedingin apapun orang, kalau sudah jatuh cinta, pasti akan berubah menjadi hangat.
Tapi, apa Jamal sedang jatuh cinta? entahlah cowok itu merasa gengsi mengikuti perasaannya.
Sepertinya cuma gengsi saja yang terkadang masih sangat sulit dikalahkan oleh yang namanya cinta. Sejauh ini gengsi memang masih menjadi musuh terberatnya cinta.
"Bagus, deh..." ucap Rio. "Gue ngomong gitu juga buat kebaikan lu, ama anak-anak kita."
"Ya, gue ngerti," balas Jamal, pasrah.
"Sekarang lu gue ajarin nulis dulu pelan-pelan, biar bagusan dikit. Seenggaknya masih bisa kebaca."
Jamal mengangguk.
Kreek...!
Rio dan Jamal secara bersamaan menoleh ke arah jendela kamar, saat telinga mereka mendengar suara seperti batang kayu kering, yang patah karena terinjak oleh seseorang. Keduanya terdiam, mencoba fokus untuk mendengarkan kembali suara tersebut.
"Apaan sih?" Tanya Rio.
Jamal menggeleng-gelengkan kepalanya, "nggak tau."
Beberapa detik kemudian, Jamal buru-buru beranjak dari tempat tidur, saat telinganya mendengar suara seperti langkah kaki yang sedang berlari. Ia berjalan ke arah jendela untuk memastikan kalau telinganya tidak salah mendengar.
Sementara Rio masih tetap pada posisinya, duduk anteng di atas kasur. Dengan wajah yang datar Rio memperhatikan pergerakan Jamal, mulai dari tempat tidur hingga sampai ke jendela kamar.
"Ada apa Mal?" tanya Rio saat melihat Jamal sedang membuka sedikit tirai jendela, lalu mengintip ke arah luar.
"Perasaan tadi gue denger ada suara orang lari deh," jelas Jamal, tatapannya masih ke arah luar jendela, melihat keadaan luar dari balik kaca. Kemudian keningnya berkerut saat bola matanya tidak melihat ada siapapun di luar sana. "Tapi kok nggak ada siapa-siapa. Lu tadi denger nggak sih?"
"Iya sih, dikit," aku Rio. "Pinta gerbang udah lu gembok belum?"
"Udah," jawab Jamal yakin. Ia memang tidak pernah lupa untuk mengunci gerbang kalau malam sudah mulai datang. "Coba deh gue cek lagi, lu tunggu situ aja." Ucap Jamal yang ditanggapi dengan anggukkan kepala oleh Rio.
Jamal jalan tergesah keluar kamar. Ia ingin memastikan lagi pintu gerbangnya sudah ia gembok atau belum.
Rio menghela napas panjang setelah Jamal sudah keluar dari kamar mereka. Tiba-tiba saja perasaannya mendadak gelisah. Entahlah, akhir-akhir ini Rio sering merasa seperti ada seseorang yang sedang mengintai rumah mereka. Ia juga sering melihat sebuah mobil yang sama, beberapa kali berparkir di dekat pintu gerbang rumahnya.
Sementara di depan gerbang Jamal mengerutkan kening, ia merasa heran saat melihat gembok, ternyata masih dalam ke adaan terbuka. Padahal Jamal sangat yakin sekali, setelah pulang sekolah ia langsung mengunci gembok tersebut. Selain itu Jamal juga merasa belum keluar rumah lagi, dari ia pulang sekolah sampai malam tiba. Lebih tepatnya ia tidak akan pernah lagi keluar rumah, setelah pulang sekolah. Jamal sudah berjanji kepada dirinya sendiri, ia akan tetap di rumah untuk menemani Rio.