Cowok Hamil

Selamat datang Cakra dan Anum



Selamat datang Cakra dan Anum

2Rona panik dan gelisah tergambar jelas pada wajah ibu Hartati dan ibu Marta. Kedua wanita beda karakter itu tidak bisa tenang saat menunggu Rio yang tengah melakukan operasi untuk kelahiran anaknya. Berbagai macam posisi duduk dan berdiri juga sudah mereka lakukan. Rasanya mereka sudah tidak sabar ingin segera mendengar kabar dari dalam sana--tempat dimana Rio sedang menjalani operasi cesar.     

"Ohiya bu Marta, apa meeting nya udah selesai? kok bisa langsung datang ke sini." Tanya ibu Hartati ditengah rasa panik. Wanita itu Heran pasalnya ibu Marta sudah tiba di klinik setelah lima belas menit ia memberi kabar bahwa operasi Rio dipercepat.     

"Aduh jenk, kenapa malah mikirin meeting coba?" Sahut ibu Marta. "Rio lebih penting. Aku juga sudah nggak sabar pingin gendong cucuku."     

Ibu Marta yang sedang berdiri menyandar pada tembok, berjalan mendekati ibu Hartati, lalu mendudukkan dirinya di kursi tunggu--di samping wanita yang tidak hanya ia anggap sebagai besan, tapi juga adik.     

"-nerusin meeting juga percuma, saya nggak akan bisa tenang." Lanjut ibu Marta.     

Ibu Hartati tersenyum simpul, "Maafin saya bu Marta, harusnya kan saya ngabarin bu Marta kalau udah selesai meeting. Gara-gara saya pekerjaan ibu Marta jadi keganggu."     

Pernyataan ibu Hartati membuat ibu Marta mengerutkan kening, "eh... apa-apaan ini? Justru aku malah jadi marah kalau jenk Hartati nggak ngasih tau dari awal. Aku juga pingin nungguin Rio."     

Ibu Hartati kembali tersenyum simpul. "Iya maaf. Mudah-mudahan semua baik-baik aja." Telapak tangan ibu Hartati meraih telapak tangan ibu Marta, kemudian memukulnya pelan selama beberapa kali untuk saling memberikan dukungan.     

"Harus baik dong," tegas ibu Marta yang ditanggapi dengan senyum oleh ibu Hartati.     

Ternyata sedikit banyak Jamal mewarisi sifat ibunya. Apa yang di mau, ya harus terpenuhi. Untung kaya raya.     

"Tapi aku belum kasih kabar sama nak Jems. Soalnya takut nanti dia kepikiran di sekolah," imbuh ibu Hartati.     

"Nggak apa-apa nanti aja kalau udah selesai operasinya. Biar pinter sekolah nya." Ujar ibu Marta. "Tadi aja dia udah kuekeh nggak mau sekolah. Padahalkan, rencana operasinya dilakukan nanti sore."     

"Maklum bu, nak Jems kan khawatir sama bayinya. Jadi dia pingin tau kalau semuanya baik-baik aja."     

Ibu Marta mendengkus, "bukan cuma sama bayinya, tapi aku yakin sama Rio dia juga pasti khawatir jenk."     

Meski ibu Marta terlihat sangat yakin dengan apa yang diucapkan nya barusan, tapi ibu Hartati hanya menanggapinya dengan senyum yang sangat tipis, dan hampir tidak terlihat.     

Menurut ibu Hartati, keyakinan ibu Marta itu salah besar. Soalnya tanpa diketahui Jamal dan Rio, ibu Hartati pernah mendengar Jamal mengatakan kalau ia hanya mengkhawatirkan bayi di dalam perut Rio. Ibu Hartati tidak mendengar Jamal mengatakan 'gue juga khawatir sama elu'.     

Sebenarnya Jamal juga mengatakan itu. Hanya saja, waktu itu Jamal mengatakannya di dalam hati. Rio dan ibu Hartati sudah pasti tidak akan bisa mendengarnya.     

"Tante...!"     

Ibu Marta dan ibu Hartati mengalihkan pandangan mereka ke arah sumber suara tersebut. Keduanya tersenyum simpul saat melihat Letta sedang berjalan cepat ke arah mereka.     

"Letta, kamu baru dateng? Bukanya tante minta tolong kamu buat nemenin ibunya Rio. Kasian dia tadi kerepotan jagain sendiri." Omel ibu Marta ketika Letta sudah berdiri tepat di dekat mereka.     

"Iya tante... aduh aku minta maaf. Aku tadi memang mau langsung ke sini, tapi tiba-tiba temen lama aku nelfon pingin ketemuan." Jelas Letta. Ekspresi wajahnya terlihat merasa bersalah. "Pikir aku, operasinya kan nanti sore, jadi nggak ada salahnya aku ketemu sama temen aku. Mumpung masih di Indonesia tante."     

Ibu Hartati tersenyum simpul saat mendengarkan penjelasan Letta yang panjang lebar. "Iya sudah ngak apa-apa. Sini duduk." Ia meraih telapak tangan Letta, menariknya pelan, membimbing nya supaya duduk di sebelahnya. "Ibu juga nggak kerepotan kok."     

"Makasih tante," Letta merentangkan kedua tangannya, kemudian ia memeluk erat ibu Hartati dengan mode manja. "Maafin aku. Aku juga langsung khawatir sama Rio waktu baca pesan dari tante."     

"Iya cantik, enggak apa-apa." Ucap ibu Hartati dengan lembut.     

"Tapi tante kesel sama kamu," celetuk ibu Marta.     

"Ih... tante, aku kan udah minta maaf_"     

"Owek... owek... oweek...!"     

Suara tangisan bayi yang terdengar dari dalam ruangan dimana Rio sedang dioperasi, menghentikan pertengkaran kecil yang sedang terjadi antara ibu Marta dengan Letta.     

Menggunakan telapak tangannya, ibu Marta dan ibu Hartati menutup mulut mereka yang sedang terbuka lebar. Tidak hanya mulut, bola mata mereka juga melebar--terbuka sempurna.     

"Ah... bayinya udah lahir," girang bercampur haru tergambar jelas diraut wajah ibu Marta.     

Secara bersamaan Ibu Marta dan ibu Hartati berdiri dari duduknya masing-masing. Menyusul Letta yang ikut--merasakan kebahagiaan, juga berdiri dari duduknya.     

"-itu tadi suaranya Cakra, apa Anum ya?" Lanjut ibu Marta dengan wajah yang berbinar.     

"Owek... owek... oweek...!"     

Tangisan bayi dengan suara berbeda, kembali terdengar. Membuat kebahagiaan ibu Marta dan ibu Hartati semakin bertambah. Pun dengan Letta, wajahnya juga terlihat berbinar.     

"Dua-duanya udah lahir, ya?" Tanya ibu Hartati penasaran.     

"Sepertinya begitu tante," ucap Letta.     

Kemudian secara bersamaan, ibu Marta, ibu Hartati dan juga Letta berjalan cepat mendekati pintu ruangan, tempat dimana suara bayi, baru saja terdengar oleh mereka.     

Dengan perasaan gelisah karena tidak sabar, mereka para ibu dan juga Letta berdiri di depan pintu. Ingin segera mendapat kabar dari dalam sana, membuat ketiganya tidak mampu berdiri dengan tenang.     

"Oweek... oweeek... oweek...!"     

"Oweek... oweeek... oweek..."     

Suara berisik dan juga nyaring dari dua bayi, kembali terdengar, membuat ibu Marta dan ibu Hartati berteriak girang.     

"Aduh lama amat sih," gemas ibu Marta sambil meremas-remas jemarinya sendiri.     

"Sabar bu Marta, bentar lagi. Lebih lama dari kita nunggu sembilan bulan." ibu Hartati memijat-mijat lengan ibu Marta membujuknya supaya bisa tenang, walaupun sebenarnya ia sendiri juga sangat tidak sabar. Hanya saja ia lebih pandai mengendalikan emosinya.     

Grek!     

Suara pintu yang dibuka oleh seseorang, membuat mereka sontak menoleh ke arah pintu, dimana sudah ada dokter Mirna sedang berdiri disana--sambil mengulas senyum.     

Ibu Marta dan ibu Hartati langsung menghamburkan dirinya, merapat kepada dokter Mirna. Kedua wanita itu berdiri di sayap kanan dan kiri dokter Mirna, sambil memegangi pergelangannya, posesif.     

Sementara Letta, tanpa permisi ia langsung nyelonong, masuk ke dalam ruangan tersebut.     

"Gimana dok?"--ibu Hartati.     

"Semuanya baik-baik aja kan?"-- ibu Marta.     

"Bayinya sehat kan?"--ibu Hartati.     

"Rio juga enggak kenapa-napa kan dok?"--ibu Marta.     

"Tenang ibu-ibu, sabar..." dokter Mirna terlihat bingung dengan rentetan pertanyaan dari dua orang wanita yang sedang menatapnya antusias.     

"Kita udah sabar dari tadi dok," sahut ibu Marta. "Sekarang gimana keadaan mereka?"     

Dokter Mirna menghela napas panjang seraya tersenyum simpul. Kemudian wanita itu menatap ibu Hartati dan ibu Marta secara bergantian.     

"Operasinya sudah selesai dilakukan, bayinya juga sehat semua," Jelas dokter Mirna membuat kedua wanita yang tengah memegang lengannya, menghembuskan napas lega. "Rio juga baik-baik saja. Tapi kondisinya masih sangat lemah, itu udah biasa buat orang-orang pasca operasi cesar."     

"Syukurlah..." ucap ibu Hartati.     

"Sekarang kami mau memindahkan Rio dan kedua bayinya ke ruang rawat. Apa ibu-ibu bisa ikut bantu?"     

"Bisa banget," sambar ibu Marta. Setelahnya wanita itu nyelonong masuk ke dalam ruangan tersebut.     

Dokter Mirna hanya tersenyum simpul, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Beberapa detik kemudian, ia berjalan mengekor di belakang ibu Marta.     

"Mari buk..." ajak dokter Mirna kepada ibu Hartati yang masih berdiri mematung.     

"Oh iya."     

Ibu Hartati berjalan mengikuti dokter Mirna dari belakang. Namun baru beberapa langkah masuk ke dalam ruang operasi, ibu Hartati menghentikan perjalannya. Tiba-tiba saja, ia teringat akan Jamal yang belum diberi tahu soal kabar kelahiran anaknya.     

Ibu Hartati mengambil HP di saku baju daster yang sedang ia kenakan. Setelah mendapatkan dan menghidupkan HP tersebut, wanita itu menyentuh menu whatsapp. Sambil mengulas senyum, wanita itu mengetik pesan yang akan ia kirimkan kepada menantunya.     

Menurut ibu Hartati, kabar baik harus segera diberitahukan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.