Cowok Hamil

Hadiah dari Rio untuk Jamal



Hadiah dari Rio untuk Jamal

1Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Rio hembuskan secara perlahan. Meski terasa berat Rio mencoba untuk mengulas senyum. Secera perlahan cowok itu mengulurkan telapak tangannya ke arah Jamal.     

Rio terdiam, menatap datar wajah cowok yang berdiri di depannya. Ia menelan ludah sebelum akhirnya membuka suara. "J-jems..." panggil Rio dengan nada suara yang terdengar gugup dan terasa kaku.     

Untuk pertama kalinya Rio memanggil Jamal dengan nama 'Jems'.     

Kening Jamal berkerut, menatap heran ke arah telapak tangan Rio yang masih terulur ke arahnya. Senyum yang tadinya mengembang lambat laun memudar, hingga akhirnya senyum itu benar-benar lenyap dari bibirnya.     

Jems? maksudnya apa? Perasaan Jamal mendadak tidak enak.     

"Apa-apaan sih lo...? Gue nggak ngerti!" Ketus Jamal. Cowok itu membuang wajah kemana saja, mengabaikan telapak tangan Rio yang masih menggantung di udara.     

Lagi, Rio menelan ludah. Percayalah, sejujurnya ini sangat berat bagi Rio. "L-lu lupa? waktu pertamakali kita kenal, lu ngasih tau gue kalau nama lu itu Jems." Ucap Rio mengingatkan.     

"Trus?!" guratan amarah mulai terlihat di wajah Jamal.     

"Waktu itu, gue kesel banget sama lu. Mangkanya gue ogah manggil lu Jems." Rio menghela napas sebelum akhirnya ia melanjutkan. "Gue tau lu pingin banget dipanggil Jems ama gue. Karena gue benci sama lu, mangkanya gue nggak pernah manggil lu Jems. Satu sekolah cuma gue yang manggil lu Jamal. Sekarang gue kan udah nggak benci sama lu, gue juga nggak kesel lagi sama lu. Makanya gue mau panggil lu Jems."     

Rio memang benar, dulu Jamal sangat ingin ia dipanggil Jems oleh Rio. Tapi lambat laun justru Jamal mulai merasa nyaman jika Rio tetap memanggilnya 'Jamal'. Malah sekarang terasa menyakitkan mendengar Rio memanggil dirinya Jems.     

"-gue anggep ini hadiah buat lu. Hadiah yang lu pingin. Jadi mulai sekarang gue mau panggil lu Jems. Kayak temen-temen lu." Lanjut Rio menjelaskan.     

Lambat laun terlihat dada Jamal mulai bergerak naik turun, dalam kurun waktu yang bersamaan, napas juga terdengar memburu. Entahlah, panggilan Jems dari Rio terdengar sangat tidak enak di telinganya.     

Masih bertahan dengan telapak tangan yang terulur ke arah Jamal, kemudian Rio melanjutkan kalimatnya. Tapi sebelum itu Rio mempersiapkan dulu hatinya dengan cara menghela napas yang panjang.     

"-lu... lu maukan, jadi... temen gue?" Meski terasa berat--penuh perjuangan, akhirnya kalimat itu meluncur mulus dari bibir Rio.     

Deg!     

Hal itu tentu saja membuat wajah Jamal semakin berkerut, menatap bingung kepada Rio. Tidak hanya itu, dadanya juga mendadak terasa sesak.     

"Temen?!"     

Percaya atau tidak, dari sekian banyak kalimat pedas yang sering diucapkan oleh Rio, kata 'teman' adalah kata yang paling pedas. Saking pedasnya hingga membuat tubuh cowok itu terasa lemas.     

Rio tersenyum simpul, Namun dipaksakan. "Iya.... temen." Kalau boleh jujur, Rio sangat tidak ingin menyampaikan itu. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin juga kan harus bertahan dengan keadaan seperti ini.     

Dugaan Jamal ternyata benar. Perasaannya bertepuk sebelah tangan. Ternyata selama berbulan bulan tinggal bersama, tidak timbul perasaan apapun pada diri Rio--terhadap dirinya. Berbeda dengan dirinya yang sudah mulai menyayangi Rio--bahkan cinta. Dan parahnya, Rio hanya menganggap dirinya teman. Status pernikahan tidak berarti apa-apa bagi Rio.     

Kalau sudah seperti ini, Jamal bisa apa selain pasarah?     

Rio mengehela napas. Cowok itu terpaksa menjatuhkan tangannya yang sejak tadi menggantung di udara, lantaran Jamal sama sekali tidak menyambut uluran tangannya.     

Menatap Jamal datar Rio menelan ludah. Cowok itu memutar kepala, menoleh ke arah Cakra dan Anum, yang sudah tertidur lelap.     

"Gue mau jujur sama lu," ucap Rio kemudian.     

Jamal hanya membisu, menatap datar ke arah Rio sambil menelan ludahnya susah payah. Cowok itu berharap semoga Rio tidak akan menyampaikan sesuatu yang bisa membuat hatinya semakin sakit.     

"-sebenarnya tujuan gue mau nikah sama elu, cuma karena pingin bales dendam sama elu."     

Kretek!     

Mungkin itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan hati Jamal yang langsung retak begitu mendengar pernyataan dari Rio barusan. Hanya balas dendam. Hatinya benar-benar hancur mendengar kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut Rio. Jamal yang kuat dan keras, berubah menjadi lemah bahkan rapuh.     

"-tadinya gue pingin ngelakuin apa yang udah lu lakuin ke gue. Sebagai cowok gue ngerasa direndahkan. Gue pingin lu ngrasain apa yang gue rasain." Rio tersenyum simpul, ia menatap Jamal yang sedang menatapnya lesu. "Jangan takut, gue udah nggak pingin lagi. Kalau gue bales dendam, gue nggak ada bedanya sama lu-"     

"-malah gue jadi terimakasih sama lu." Setelah menyampaikan itu, Rio kembali memutar kepalanya, menatap Cakra dan Anum secara bergantian.     

Sementara Jamal semakin merasa lemah dengan berbagai pernyataan- pernyataan yang baru saja diungkapkan oleh Rio. Tenggorokannya seperti tercekat, bahkan untuk bersuara saja cowok itu seperti tidak mampu.     

"-gara-gara elu, gue jadi punya mereka, Cakra, ama Anum. Gue jadi tau kalau ternyata gue bisa hamil." Lanjut Rio.     

Lagi, Rio menghela sebelum akhirnya ia melanjutkan. "Gue tau sekarang lu pasti seneng. Anak lu udah lahir. Lu juga nggak ada beban lagi ama kehamilan gue. Ama ngidam gue. Lu bebas main sama temen lu, lu bebas kemanapun lu suka."     

Ataga! Jamal merasa bahwa Rio seperti sedang membunuhnya secara perlahan. Pernyataan Rio kali ini, lebih pedas dan terasa sangat menyakitkan dari biasanya. Cowok itu sudah tidak sanggup lagi mendengarnya.     

Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Rio hembuskan secara perlahan. Ia menatap kembali Jamal dan memaksa bibirnya agar tetap tersenyum. "Gue harap, lu seneng ama hadiah dari gue."     

Took... took... took...!     

Suara ketukan pintu membuat Jamal dan Rio mengalihkan pandangan mereka ke arah pintu tersebut.     

"Masuk!" Seru Rio.     

Tidak lama setelah itu, pintu terbuka--menampilkan seseorang yang baru saja mengetuk pintu tersebut.     

"Ada apa bi?" Tanya Rio.     

"Maaf mengganggu, sudah ditunggu tuan sama nyonya besar di ruang makan," beritahu wanita paru baya yang masih berdiri di ambang pintu.     

"Bentar lagi kita ke sana," sahut Rio.     

"Baik tuan." Asisten rumah tangga mengangguk patuh, sebelum akhirnya keluar kamar, sambil menutup pintu tersebut.     

"Mama sama papa udah nunggu. Lu ganti baju sono. Gue duluan."     

Setelah menyampaikan itu, Rio memutar tubuhnya, lalu berjalan ke arah pintu. Mumpung sedang tidak berhadapan dengan Jamal, Rio memanfaatkan itu untuk meloloskan air matanya, yang sejak tadi ia tahan dengan susah payah.     

Ternyata benar, selama ini Jamal hanya peduli pada anaknya tidak dengan dirinya. Terbukti tidak adanya pembelaan atau usaha apapun dari Jamal, pada saat ia menawarkan hubungan pertemanan.     

Dan sekarang bayinya sudah lahir, artinya ia sudah tidak bisa merasakan perhatian lagi dari Jamal.     

Mungkin menerima tawaran pak Tama untuk sekolah di luar negeri, adalah keputusan yang terbaik bagi Rio. Meski sebenarnya terasa sangat berat karena harus berpisah dengan Cakra, Anum dan juga Jamal tentunya.     

Menggunakan telapak tangannya, Rio mengusap kasar air mata yang sudah membasahi pipinya.     

Jamal terdiam dan mematung, menatap punggung Rio dengan tatapan yang sulit diartikan. Cowok itu menjatuhkan lutunya setelah Rio menghilang, keluar dari kamar. Ia benar-benar merasa sangat lemah.     

Ternyata benar, hanya Rio yang mampu membuat Jamal lumpuh, dan tidak berdaya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.