Gengsi dan takut bersatu
Gengsi dan takut bersatu
Sebenarnya Rio juga mengkhawatirkan keadaan Jamal. Bayangan wajah Jamal yang babak belur, dan teriakannya pada saat sedang dihajar oleh orang- orang itu, juga menambah rasa gelisah di hatinya. Walaupun ia sudah tahu jika Jamal baik-baik saja, namun ia belum tenang kalau tidak bisa melihat langsung kondisinya.
Rio menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, membuang bayangan tentang Jamal, sekaligus menyingkirkan desiran yang hampir saja muncul saat mengingat laki-laki itu. Ia tidak mau larut dengan perasaan yang mungkin itu cinta, hanya karena takut perasaannya itu akan bertepuk sebelah tangan.
Rio menghela napas panjang. Berbaring terlalu lama tanpa tertidur, membuat dirinya merasa lelah. Selain itu perutnya yang besar juga membuat ia tidak bisa leluasa bergerak.
Sambil memegangi perutnya yang gendut, Rio berusaha bangkit dari tidurnya dengan susah payah.
Lagi, Rio menghela napas lega setelah ia berhasil mendudukkan dirinya di tepi ranjang, di klinik dokter Mirna. Cowok itu ia mengedarkan pandangannya di sekitar ruangan, lalu tanpa sengaja ia melihat ibu Hartati sedang tertidur pulas. Melihat raut wajah sang ibu, Rio bisa tahu kalau wanita sedrhana itu sedang kelelahan.
Yah, seharian tadi ibu Hartati mengurus segala kebutuhan untuk anaknya.
Ibu Hartati dan ibu Marta sudah sepakat untuk menjaga Rio secara bergantian, sampai hari dimana operasi kelahirannya nanti, akan dilakukan. Maksudnya supaya tidak merasakan capek bersamaan.
~☆~
Sementara itu di halaman klinik, akhirnya Jamal bisa bernapas dengan lega, ia diizinkan masuk setelah berhasil bernegosiasi dengan seorang satpam yang bertugas menjaga klinik pribadi milik dokter Mirna.
Cowok yang masih mengenakan seragam pasien rumah sakit itu berjalan tertatih, sambil menahan rasa perih di perut, dan sekujur tubuhnya. Jangan lupakan dengan infus yang masih dibawa olehnya.
Perlahan tapi pasti, akhirnya langkah kaki Jamal berhasil membawanya sampai di depan pintu ruangan, dimana Rio sedang dirawat di dalam sana.
Klinik dokter Mirna memang tidak terlalu besar, dan hanya ada beberapa ruangan saja. Jamal sudah langsung yakin kalau ruangan di mana ia sedang berdiri, pasti sudah ada Rio di dalam sana. Selain itu ia dan Rio juga sering datang ke tempat itu untuk memeriksakan kandungan.
Dengan ragu-ragu Jamal mengulurkan telapak tangan, meraih handle pintu lalu memutar nya perlahan.
Grek!
Sepertinya keberuntungan sedang berpihak kepada Jamal, karena pintu ruangan sedang tidak dikunci. Sehingga pada saat ia memutar handle, pintu bisa langsung sedikit terbuka.
Jamal membuang napas lega, lalu dengan sangat hati-hati supaya tidak menimbulkan bunyi deritan, Jamal mendorong pintu tersebut dengan sangat pelan.
Sedikit demi sedikit, akhirnya pintu pun dapat terbuka lebar. Jamal berdiri mematung, bola matanya berbinar saat melihat Rio tengah duduk di tepi ranjang, kebetulan refleks menoleh ke arahnya, saat mendengar pintu terbuka.
Hatinya mendadak nyeri saat ia melihat bagian pipi Rio yang masih menyisakan beberapa luka memar. Jamal merutuki dirinya sendiri lantaran Rio harus menanggung akibat dari segala perbuatannya di masa lalu.
"Lu_"
"Husst."
Menggunakan telunjuknya, Jamal buru-buru menutup mulutnya sendiri saat melihat Rio hendak membuka suaranya. Remaja beranjak dewasa itu tidak ingin kedatangannya diketahui oleh siapapun.
Setelah menutup pintu, Jamal berjalan tertaih mendekati Rio, yang sedang mengrenyit, karena melihat lagi wajah Jamal yang babak belur.
Melihat begitu banyak luka di sekujur tubuh Jamal, Rio langsung bisa membayangkan, pasti sakitnya luar biasa. Tiba-tiba di hatinya muncul rasa iba kepada laki-laki itu.
Sesampainya di dekat Rio, kemudian Jamal menyantolkan infus miliknya, pada tiang infus, bersatu dengan botol infus milik Rio. Jamal menarik kursi kecil yang berada di dekat tempat tidur, meletakkannya tepat di hadapan Rio, lantas mendudukkan dirinya di sana.
Hening.
Tidak ada suara yang keluar dari mulut mereka, setelah keduanya duduk saling berhadapan. Hanya tatapan bola mata mereka saja yang saling menyapa.
"Lu ngapain ke sini?"
Rio memecah keheningan, ia sudah mulai tidak tahan jika hanya diam dengan saling bertatap mata dengan Jamal.
"Lu kan masih dirawat. Emang boleh keluar rumah sakit?"
"Gue kabur, Afkar yang bantu gue," beritahu Jamal.
Rio mengerutkan kening, ia baru sadar kalau ada kemiripan antara adiknya dengan remaja yang sedang duduk di hadapannya. Cuma bedanya, Afkar anak pandai dan selalu juara kelas. Sedangkan Jamal? jangan ditanya. cowok itu mulai pintar setelah Rio membimbingnya.
"Lu manpaatin adik gue?" Protes Rio
"Enggak, gue cuma minta tolong," Bela Jamal. "Lagian nggak apa-apa kali, adik lu kan udah jadi adik gue." Lanjut Jamal, namun kalimat itu ia ungkapan dalam hati.
"Trus ngapain lu bela-belain ke sini malem-malem? Jalan aja susah." Omel Rio menatap miris kondisi Jamal.
Tanpa sadar di hatinya, Rio berharap Jamal akan mengatakan 'gue khawatir sama elu'.
"G-gue khawatir." Jamal melatakan telapak tangannya di atas perut gendut Rio, lalu mengusapnya lembut. "Sama anak gue."
Bego! Rio merutuki dirinya sendiri. Kenapa ia jadi se-bego ini? Berharap kalau Jamal peduli padanya. Apa ia lupa bagaimana sifat Jamal. Tidak punya hati dan tidak punya perasaan. Lalu kenapa sih, ia jadi berubah seperti ini? Sadar Rio, sadar 'dia' itu Jamal, manusia pertama yang dulu ingin ia musnahkan jika undang-undang membunuh manusia sudah dihalalkan.
Ternyata virus cinta juga bisa membuat orang yang pintar, berubah menjadi bego.
"Gue juga khawatir banget sama lu, gue takut lu kenapa-napa." Lagi-lagi Jamal hanya berani mengatakan itu di dalam hatinya. Jadi sudah dipastikan Rio tidak bisa mendengar itu. Rio hanya manusia biasa, ia tidak punya indra ke enam yang bisa menembus isi hati seseorang.
Entahlah, sampai saat ini gengsi masih mendominasi sifat Jamal. Ia tidak ingin kalau Rio sampau tahu, bahwa ia sudah memiliki rasa terhadapnya.
Seorang Jamal, tidak pernah jatuh cinta. Namun sekalinya jatuh cinta, malah kepada Rio. Meski bisa hamil, tapi tetap saja Rio itu laki-laki. Selain itu Jamal juga takut--takut ditolak, dan takut kalau Rio akan menertawakan dirinya.
Tahu sendirikan bagaimana mulut Rio kalau sudah berbicara? Apalagi Rio sudah tahu persis masa lalunya. Membuat harapan semakin menipis.
Kecuali, jika Rio dulu yang menyatakan atau lebih tepatnya yang jatuh cinta kepadanya. Mungkin akan lain urus nya.
Rio tersenyum kecil, dan hampir tidak terlihat. "Kata dokter Mirna, mereka baik-baik aja." Kemudian ia mengusap dengan lembut perut gendutnya.
"Makasih ya, lu udah jagain anak gue," ucap Jamal lembut.
"Bego, ini kan anak gue juga. Gue juga punya tanggung jawab buat lindungin mereka." Balas Rio.
Jamal tersenyum nyengir seraya tertawa singkat, "oh iya lupa. Anak kita," ralatnya.
Anak kita. Lagi-lagi Rio merasakan sesuatu sedang menyentuh hatinya, membuat aliran darahnya menjadi berdesir akibat kata yang sederhana namun sarat akan makna--yang baru saja meluncur mulus dari mulut Jamal.
Namun sayang, orang yang baru saja menyampaikan itu, sepertinya tidak tahu arti dari kata 'kita'. Makanya Rio menganggapnya hanya sebagai isapan jempol semata.
"Yo..." panggil Jamal kemudian.
"Kenapa?"
Jamal terdiam, ia menatap lekat-lekat wajah Rio sebelum akhirnya berkata, "maafin gue ya."
Kata maaf itu membuat kening Rio berkerut menatap heran ke arah Jamal. Berbulan-bulan tinggal bersamanya, Rio baru pertamakali mendengar kata maaf yang begitu tulus dari mulut Jamal.
"Maaf kenapa?"
"Gara-gara gue, lu jadi korban."
Rio terdiam, lalu menghela napas, bayangan mengerikan itu kembali melintas di benaknya. Tapi untung saja semua sudah berakhir, dan ia baik-baik saja lantaran pelecehan itu belum sempat menimpa dirinya.
"Lu beruntung."
"Beruntung?" Heran Jamal. "Maksudnya?"
"Semuanya terjadi pada saat gue udah maafin lu. Coba kalau itu terjadi pada saat gue belum maafin elu. Pasti Gue bakal kirim elu ke neraka." Jelas Rio.
Entahlah, kenapa Rio sama sekali tidak bisa marah kepada Jamal, seperti pada saat pertama kali mereka kenal. Padahal, jika dipikir, Rio hampir mengalami hal mengerikan, dari perbuatan yang dilakukan Jamal di masa lalu.
"Tega amat mau kirim gue ke neraka," Protes Jamal. "Emangnya lu mau jadi janda?"
Apa? Janda?
Mendengar kata itu Rio mendengkus kesal. Untuk saja ia sedang iba melihat wajah Jamal yang masih babak belur. Kalau tidak, Rio pasti sudah menghadiahkan satu pukulan di wajah laki-laki itu.
"Janda? Lu kira gue cewek!"
Jamal tersenyum nyengir. "He-he sory, becanda doang."
"Dasar penjahat kelamin." Rio mencibir.
Senyum Jamal memudar, kata-kata Rio barusan semakin membuat ia semakin tidak berani dan tidak percaya diri mengakui perasaannya kepada Rio.
Jamal tidak mau jika perasaan tulusnya akan dicibir, bahkan ditertawakan oleh Rio. Diam dan memendam adalah pilihan yang sangat tepat bagi Jamal.
"Kenapa?" Tanya Rio melihat perubahan ekspresi wajah Jamal. "Gue salah ngomong?"
"Eh, enggak," gugup Jamal, tersadar dari lamunan nya. "Enggak salah, tapi gue nggak pernah maksa mereka, mereka yang mau," lanjut Jamal di hatinya.
"Kata mama bentar lagi lu operasi ya?" Jamal berusaha mengganti topik pembicaraan. Karena membahas masa lalu hanya membuat dirinya menjadi semakin lemah tidak berdaya.
"Oh, iya..." Rio merundukkan kepalanya, melihat perutnya yang gendut, sambil mengusapnya pelan. "Kata dokter Mirna, mereka udah siap lahir."
Senyum Jamal kembali mengembang, kemudian ia menatap lekat-lekat perut gendut Rio yang berada tepat di depan wajahnya. Tanpa meminta ijin dari sang pemilik perut, Jamal memegang perut tersebut, sambil mengusapnya lembut.
"Gue nggak sabar pengen liat mereka lahir." Kemudian Jamal mendekatkan wajahnya, menempelkan pipi dan telinganya di atas perut Rio.
Rio hanya terdiam. Ia sudah terbiasa akan hal itu. Oleh sebab itu ia hanya tersenyum tipis, dan pasrah, membiarkan Jamal melakukan apa yang ia mau.
"Gue sayang banget sama mereka."
Setelah menyampaikan itu, Jamal menjauhkan telinga nya dari perut Rio. Ia mendongakkan kepala, menatap Rio yang juga menatap dirinya.
"-Lu nyadar nggak sih yo? Gue juga sayang sama lu." Seperti biasa Jamal hanya berani menyampaikan itu di dalam hati, yang tentu saja tidak bisa didengar oleh Rio.
"Lu takut nggak yo?" Tanya Jamal kemudian.
"Dikit sih," jawab Rio jujur. Ia memang merasa cemas dan gelisah menjelang operasi kelahiran bayinya. "Tapi gue yakin, semua pasti baik-baik aja."
Jamal tersenyum nyengir, "kalo nanti lu ngerasain sakit, bilang ke gue." Ucapnya.
Kening Rio berkerut. "Kenapa emang?"
"Biar adil, gue juga mau ngerasain sakitnya. Walaupun harus ngerobek perut, gue rela. Gue mau." jawab Jamal dengan penuh kesungguhan.
Pernyataan Jamal membuat Rio menarik wajahnya--menatap laki-laki heran. "Dasar bego."
Tapi tidak bisa dipungkiri, jauh di dalam sana hatinya berdesir hebat saat mendengar kesungguhan dari Jamal barusan.
"Kan biar adil, malah ngatain gue bego sih!" Protes Jamal.
Rio tersenyum simpul, menatap teduh wajah Jamal.