Kocokan arisan
Kocokan arisan
Sebagai orang yang lebih dewasa, ketiga wanita beda profesi itu hanya bisa mendukung, dan ikut memeriahkan saja.
"Kalau saya yang ngocok arisannya apa boleh?" Ucap dokter Mirna kemudian. Wanita berjas putih itu tertarik, dan antusias ingin menjadi bagian dari penentuan nama bayi yang dikandung oleh Rio.
"Iya dok bolh. Nggak papa kok," Rio mengijinkan.
Jamal mengurungkan niatnya yang akan mengambil gelas arisan dari tangan Keysa. Sebenarnya ia yang ingin mengocok sendiri nama untuk bayinya, tapi lantaran Rio sudah berkenan kalau dokter Mirna yang melakukannya, Jamal terpaksa mengalah dan kembali lagi pada posisinya, diam mematung.
"Ini, dok..." Keysa memberikan dua gelas tersebut kepada dokter Mirna, lantas dokter Mirna menerimanya penuh semangat.
"Mama buka satu ya," ucap ibu Marta. Walau awalnya merasa lucu, tapi lama-lama wanita elegan itu juga terlihat sangat antusias, dan bersemangat.
"Yang satunya ibu dong," celetuk ibu Hartati tidak mau kalah.
Rio mengulas senyum, menatap ibu kandung dan ibu mertuanya. "Iya, boleh bu, ma."
Jawaban Rio membuat ibu mertua dan ibu kandungnya tersenyum bahagia. Berbeda dengan Jamal yang hanya bisa menghela napas, sambil melipat kedua tangannya didi dada, melihat kelakuan mereka yang tidak memikirkan perasaannya.
"Suka-suka kalian aja," gerutu Jamal di dalam hatinya.
Beberapa saat kemudian terlihat dokter Mirna mulai mengocok gelas yang berisi nama-nama untuk bayi laki-laki. Sedang ibu Marta menggunakan kedua telapak tangannya, menadah di bawa gelas tersebut. Jangan lupakan senyumnya yang selalu mengembang. Wanita itu terlihat sangat bahagia.
Seluruh pasang mata menatap antusias dan tidak sabar, pada gelas yang sedang dikocok oleh dokter Mirna. Hanya Jamal saja, satu-satunya orang yang memasang muka masam. Padahalkan seharusnya ia jadi orang pertama yang mengetahui siapa nama untuk calon bayinya nanti.
"Aduh siapa ya, mama kok penasaran," ucap ibu Marta setelah gulungan kecil bertuliskan nama bayi laki-laki jatuh tepat di kedua telapak tangannya.
Kemudian dengan rasa pensaran di hatinya, ibu Marta perlahan membuka gulungan kertas tersebut. Bibir-nya tersenyum simpul, saat wanita itu sudah membaca nama anak untuk calon cucunya yang laki-laki.
"Wah, nyaman bagus," seru wanita itu sambil menatap Rio yang juga sedang menatapnya, tidak sabar.
"Siapa?"
Semua yang berada di ruangan USG bertanya secara bersamaan. Kecuali Jamal, laki-laki itu hanya diam sambil menatap penasaran pada kertas kecil yang masih dipegang oleh ibu Marta.
Beberapa saat kemudian terlihat ibu Marta, membaca kembali tulisan pada kertas kecil tersebut. "Namanya... Abimana Cakra."
"Wah namanya keren," celetuk Keysa.
Senyum Jamal mengembang, saat mengetahui anak laki-lakinya mendapatkan nama hasil dari pemberiannya.
Sama halnya dengan Rio, cowok hamil itu juga tersenyum simpul dan merasa legah walapun yang keluar bukanlah nama yang ia tulis. "Abimana Cakra, Nama yang bagus." Gumam Rio di dalam hatinya.
"Sekarang kita kocok buat nama bayi perempuannya ya," ucap dokter Mirna penuh semangat. Beberapa saat kemudian ia mulai mengocok gelas yang bertuliskan nama untuk bayi perempuan.
Bersamaan dengan itu, ibu Harti menadakan mendakan telapak tangannya yang sedang diguncang oleh dokter Mirna.
Kembali, seluruh pasang mata menatap antusias pada satu gulungan kertas kecil yang sudah jatuh di telapak tangan ibu Hartati.
Ibu Hartati mengulas senyum seraya menghela napas. "Duh, ibu deg-degan," aku wanita sederhana itu.
"Ibu lebay," celetuk Afkar tiba-tiba. "Buruan bu, buka," perintahnya.
Lagi, ibu Hartati menghela napas sebelum akhirnya membuka gulungan kertas kecil itu secara perlahan, hingga kertas tersebut terbuka sempurna, menampilkan sebuah nama dengan dua kata.
"Nama bayi perempuannya, Shafina Anum," seru ibu Harti menatap Jamal yang secara kebetulan sedang menatapnya penasaran.
Senyum Rio mengembang, cowok itu terlihat bahagia, karena nama calon anak perempuannya hasil dari pemberiannya. Syukurlah, takdir sudah berlaku adil. Sehingga ia dan Jamal tidak perlu berdebat lagi untuk menentukan nama buat calon bayi mereka. Sekarang sudah ditentukan, dan hasilnya adalah buah dari pemikiran mereka.
"Wah, ponakan aku namanya keren-keren, Cakra sama Anum..." ucap Keysa secara tidak langsung menentukan nama panggilan untuk kedua keponakannya.
"Tapi tetep, harus ada Wiratama di nama belakang mereka," tegas ibu Marta.
"Iya, pasti mah." Sahut Rio.
"Kalian pinter ya, kasih nama buat anak-anak kalian," puji dokter Mirna yang membuat Jamal dan Rio tersenyum nyengir.
"Bikinnya juga, pinter. Tuh bisa dua!"
Lagi-lagi Afkar membuat ibu Hartati, ibu Marta dan dokter Mirna, harus menahan tawa, mendengar kalimat sarkas dari mulut anak laki-laki itu. Yah, anak kecil memang seperti itu, tidak bisa menyaring omongan mereka.
Berkat kalimat Afkar yang ceplas-ceplos juga, membuat Rio dan Jamal reflek saling bersitatap. Pandangan mereka kembali bertemu selama beberapa saat, membuat jantung Jamal kembali berdebar kencang.
Namun kali ini, Jamal mencoba dan berusaha untuk bertahan, memberanikan diri menatap lebih lama lagi bola mata Rio yang juga seperti sedang bertahan menatap dirinya. Remaja itu ingin memastikan, rasa apa sebenarnya yang tengah ia rasakan selama ini. Anehnya, semakin lama ia menatap, debaran itu berubah menjadi desiran, yang membuat hatinya jadi menghangat.
Rio menelan ludah, remaja itu mengrenyit heran saat ia menyadari, seperti ada sesuatu yang berbeda pada sorot mata Jamal. Tatapan itu tidak seperti tatapan yang biasanya.
"Cie, liat-liattan! Pasti lagi ngerncanaain mau bikin dedek kembar lagi tuh!"
Rio dan Jamal harus memalingkan wajahnya kemana saja, saat mendengar kalimat menyebalkan yang meluncur mulus dari mulut Afkar. Bisa dibayangkan bagaimana salah tingkahnya wajah Rio dan Jamal saat itu.
"Afkaaar..." geram Rio di dalam hatinya.
Menyadari suasana canggung antara Jamal dan Rio, ibu Hartati meraih pergelangan mungil Afkar, lalu menarik perlahan.
Menggunakan telapak tangan, ibu Hartati menutup mulut Afkar. "Kamu nggak boleh ngomong gitu. Siapa yang ngajarin." Wanita sederhana merasa tidak enak dengan besan dan menantunya.
"Tau nih," kesal Kesya sambil mendorong punggung Afkar.
"Udah nggak apa-apa, jenk," ucap ibu Murta. "Namanya juga anak-anak."
Setelah mengatakan itu, ibu Marta berjalan mendekat Rio, lalu mendudukkan dirinya di tepi ranjang, tepat di samping kepala Rio. Wanita itu mengulas senyum, telapak tangannya ia letakan di atas puncak kepala Rio, lantas membelainya penuh kasih. "Mama jadi nggak sabar, pengen gendong Cakra sama Anum."
Untuk pertama kalinya bulu kuduk Jamal meremang, melihat interaksi antara ibunya dengan Rio. Benar-benar tidak bisa dipungkiri lagi, laki-laki yang sedang dibelai ibunya, adalah laki-laki yang sudah ia nikhai bahkan mengandung ankanya.
Telapak tangan ibu Marta berpindah ke perut Rio, lalu mengusapnya secara perlahan. "Semoga kamu sama mereka sehat terus sampai waktu operasi nanti." Lalu ibu Marta menatap intens perut gendut Rio, seraya berkata; "Semoga mereka nanti jadi anak yang berbakti buat orang tua."
Kalimat tulus ibu Marta sukses membuat sekujur tubuh Jamal bergetar. Menelan ludahnya, Jamal tertegun menatap ibu dan juga Rio. Orang tua? yah, sulit dipercaya, sebentar lagi, seorang Jamal akan menjadi orang tua untuk kedua anaknya.