DENDAM DAN CINTA : Terbelenggu Hasrat cinta

PAMAN AMMER



PAMAN AMMER

0"Nadia bisa aku minta tolong ambilkan kanvas dan alat melukisku. Aku ingin melukismu saat kamu memasak. Aku ingin membuat banyak kenangan disini bersamamu." ucap Jonathan dengan nafas tertahan.     

"tentu Jo aku akan mengambilkan segera kanvas dan alat melukismu." ucap Nadia berusaha tersenyum mengalihkan suasana agar tidak sedih lagi.     

Setelah Nadia mengambilkan kanvas dan alat melukis Jonathan Nadia melanjutkan memasak untuk sarapan Jonathan.     

"Aku tidak yakin kamu memasak untukku untuk sarapan pagi atau makan siang." ucap Jonathan sambil melukis Nadia di kanvas.     

"Terserah kamu saja Jo, bisa sarapan pagi atau makan siang yang penting kamu tidak merasa lapar lagi. Kamu sudah lapar kan?" ucap Nadia sambil memasukkan sayuran ke dalam penggorengan.     

"Aku tidak merasa lapar selama kamu ada disampingku Nadia." ucap Jonathan sambil mengamati wajah Nadia yang sedang di lukisnya.     

"Oh ya...Jo, lukisan yang ada di dalam rumah ini kenapa tidak ada lukisan seorang wanita? semuanya hanya hutan, bunga dan rumah ini. Apa kamu tidak pernah melukis seorang wanita? wanita kamu kan banyak sekali Jo?" tanya Nadia sambil melihat kearah Jonathan yang sedang fokus pada lukisannya.     

Kening Jonathan berkerut mendengar ucapan Nadia menyebut dirinya punya banyak wanita.     

"Kamu tahu dari mana kalau aku punya banyak wanita? Apa kamu sudah menyelidiki tentang masa laluku, Nadia?" tanya Jonathan sambil meletakkan kuas lukisnya di atas cat air.     

"Tidak sama sekali, untuk apa aku menyelidiki kamu? aku mendengar semua itu dari temanku yang mengetahui latar belakang kamu yang begitu banyak wanita." ucap Nadia dengan bibir cemberut.     

"Itu tidaklah benar, aku memang banyak dekat dengan wanita. Tapi mereka yang mendekatiku karena ingin bersenang-senang denganku. Apa aku harus menolak semua itu?" ucap Jonathan kembali melanjutkan melukisnya.     

"Begitulah kalau pria kaya, banyak sekali wanita yang mengejarnya hanya untuk bersenang-senang dan tidak ada pria yang bisa menolak kenikmatan itu. Benarkan Jo?" ucap Nadia dengan tatapan cemburu.     

"Kenapa kamu bicara seperti itu! apa itu ucapan dari seorang wanita yang tidak pernah bersenang-senang dengan seorang pria atau seorang wanita yang sedang cemburu?" tanya Jonathan dengan sebuah senyuman.     

"Apa kamu berpikir kalau aku sedang cemburu Jo? aku sama sekali cemburu. Kenapa aku harus cemburu padamu?" ucap Nadia dengan wajah memerah.     

"Kalau kamu tidak cemburu Kenapa wajahmu seperti itu? lihat hasil lukisanku, kamu seperti nenek tua yang terlihat sangat marah. Kemarilah dan lihatlah lukisan wajahmu?" ucap Jonathan sambil membersihkan tangannya yang kotor.     

Dengan penasaran Nadia mendekati Jonathan untuk melihat hasil lukisannya.     

"Jonathan? apa ini Jo?" ucap Nadia sambil menutup mulutnya dengan tatapan tak percaya melihat hasil lukisan Jonathan.     

"Kenapa? kenapa wajahmu seperti itu? apa kamu tidak suka dengan hasil lukisanku?" tanya Jonathan dengan tatapan bertanya-tanya.     

"Lukisan ini? Apa benar ini lukisan wajahku? Kenapa begitu sangat cantik? apa benar aku cantik Jo?" tanya Nadia sambil meraba wajahnya, sama sekali tidak percaya kalau lukisan Johan begitu sangat bagus.     

"Kalau kamu ingin tahu, itulah wajahmu Nadia. Aku tidak bisa bilang kamu cantik atau tidak tidak cantik. Tapi aku sangat mengagumi wajahmu itu." ucap Jonathan dengan tatapan penuh.     

"Terima kasih Jo, ini sebuah lukisan yang sangat indah. Aku sangat menyukainya. Aku benar-benar tidak percaya kalau wajahku seperti ini dalam lukisan. Kenapa kamu tidak melukis banyak wanita juga? kenapa hanya melukis hutan, danau dan bunga-bunga?" tanya Nadia ingin tahu alasan Jonathan.     

"Aku tidak terlalu menyukai hal itu, kenapa aku harus melukis seorang wanita yang tidak pernah aku inginkan?" Ucap Jonathan tidak terlalu banyak alasan.     

"Apa hanya itu saja alasannya? bukan karena kamu terlalu banyak wanita? kalau alasanmu seperti itu apa itu? apa aku wanita yang kamu inginkan?" tanya Nadia dengan wajah memerah. Entah perasaan apa yang membuat hatinya begitu senang setelah mendengar jawaban Jonathan.     

"Kenapa wajahmu merah seperti itu? apa kamu senang kalau aku mengatakan kamu wanita yang aku inginkan?" ucap Jonathan dengan sebuah senyuman.     

"Aku? apa aku senang dengan ucapanmu itu? tidak! aku biasa saja." ucap Nadia dengan gugup dan wajah terlihat malu.     

"Kamu tidak perlu mengatakan apa-apa, Aku sudah bisa melihat dari wajah dan tatapan matamu itu." ucap Jonathan masih dengan tersenyum.     

"Cukup Jonathan, jangan membuat wajahku semakin merah. Terima kasih atas lukisannya, aku akan melanjutkan memasak, dan setelah itu kita makan bersama." ucap Nadia dengan perasaan malu kembali ke tempatnya memasak.     

Dengan perasaan bahagia Nadia menyelesaikan masakannya dengan cepat agar bisa segera makan bersama dengan Jonathan.     

Setelah selesai memasak dan menyiapkannya di atas meja, Nadia mendekati Jonathan yang masih fokus dengan lukisannya yang lain.     

"Ayo Jo, sudah waktunya kita makan." ucap Nadia mengambil kuas yang ada di tangan Jonathan dan membawa Jonathan ke meja makan.     

"Kamu memasak apa Nadia?" tanya Jonathan sambil melihat ke meja makan.     

"Hanya membuat nasi goreng dan dadar telur saja Tuan Jonathan. Karena tidak ada bahan makanan yang bisa aku masak di sini." ucap Nadia sambil mencubit Jonathan.     

"Setelah makan kita pergi ke rumah Paman Ammer. Banyak buah dan sayuran di sana?" ucap Jonathan sambil memberikan piringnya pada Nadia.     

Mendengar Jonathan menyebut nama Ammer seketika Nadia menegakkan punggungnya.     

"Siapa nama yang kamu sebut barusan Jo? Paman Ammer? siapa Paman Ammer?" tanya Nadia dengan jantungn terasa berhenti seketika.     

"Paman Ammer yang mengurus rumah danau ini. Sudah bertahun-tahun Paman Ammer tinggal di sini sejak berpisah dengan istri dan putrinya." ucap Jonathan tanpa curiga menjawab semua pertanyaan Nadia.     

"Apa kamu tahu di mana istri dan putrinya Paman Ammer?" tanya Nadia dengan tangan gemetar mengambil nasi untuk Jonathan.     

"Aku tidak tahu, karena Paman Ammer saja juga tidak tahu dimana istri dan putrinya berada." ucap Jonathan mulai merasa aneh saat melihat kedua mata Nadia yang berkaca-kaca.     

"Ada apa denganmu Nadia? kenapa kedua matamu berkaca-kaca seperti itu? apa kamu menangis?" tanya Jonathan meraih tangan Nadia dan menggenggamnya.     

"Aku tidak apa-apa, hanya merasa sedih saat aku ke sana dan melihat keadaan Paman Ammer. Wajahnya terluka seperti terbakar. Apa kamu tahu penyebabnya Jo?" tanya Nadia dengan perasaan yang sangat sakit mengingat apa yang terjadi pada kematian ibunya.     

"Aku tidak tahu pasti, karena Daddy dan Momy juga Paman Ammer sendiri tidak pernah menceritakan tentang hal itu." ucap Jonathan mengatakan apa yang di tahu.     

"Apa kamu kamu mengenal baik dengan Paman Ammer Jo?" tanya Nadia tidak bisa menahan lagi pertanyaan-pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada Jonathan.     

"Aku sangat mengenal baik Paman Ammer, karena aku lebih sering kesini. Sejak kecil aku lebih banyak tinggal bersama Paman Ammer. Kenapa Nadia? kenapa kamu ingin tahu tentang Paman Ammer? apa kamu mengenalnya?" tanya Jonathan menatap penuh wajah Nadia.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.