DENDAM DAN CINTA : Terbelenggu Hasrat cinta

PASRAH



PASRAH

3"Apa!! terbalik?!!" ucap Jonathan dengan kening berkerut mengamati koran yang di pegangnya.     

"Hem... sejak tadi aku dan Jean melihatmu serius membaca dengan koran terbalik." ucap Nadia dengan menahan senyum.     

Jonathan menelan salivanya dengan wajah merah padam karena malu.     

Dengan cepat Jonathan meletakkan korannya di atas meja.     

"Aku pergi ke toilet sebentar." ucap Jonathan seraya mendorong kursi rodanya ke pintu keluar.     

Nadia menatap wajah Jean dengan tatapan rumit.     

"Temani Jonathan saja, aku akan menghubungi Gladys agar ke sini." ucap Jean dengan tersenyum.     

Nadia menganggukkan kepalanya kemudian berjalan keluar menyusul Jonathan yang pergi keluar entah kemana.     

Dengan cepat Nadia mengikuti Jonathan yang masih tidak jauh darinya.     

"Jonathan tunggu!" panggil Nadia berjalan cepat menyusul Jonathan.     

"Kamu mau kemana?" tanya Nadia seraya memegangi kursi roda Jonathan.     

"Mau ke toilet." ucap Jonathan dengan wajah suram.     

"Arah toilet ke arah sana, bukan ke arah sini. Dan lagi di kamar Jonathan ada toilet kenapa kamu mencari di luar?" ucap Nadia dengan tatapan penuh.     

Jonathan terdiam tidak tahu harus bicara lagi, dan juga tidak mau menjawab daripada membuatnya malu lagi.     

"Kita duduk di sana saja Jo, biar kita bisa bicara dengan tenang." ucap Nadia seraya mendorong kursi roda Jonathan sebuah taman yang ada kolam ikannya.     

"Kita mau bicara apa?" tanya Jonathan membiarkan Nadia membawanya ke taman.     

"Tentang kita." ucap Nadia menghentikan kursi roda Jonathan setelah sampai di taman kolam ikan.     

"Tentang kita dalam hal apa? apa tentang acara besok dimana aku harus datang menyaksikan pernikahanmu dengan Jean?" ucap Jonathan dengan perasaan sakit.     

"Kenapa setiap kali aku berhubungan dengan seorang wanita, aku selalu tersakiti?" ucap Jonathan dengan suara lirih.     

"Kenapa kamu bicara seperti itu? aku juga tersakiti Jo. Aku baru pertama kali jatuh cinta langsung menderita." ucap Nadia juga mengatakan deritanya.     

"Tapi kamu akan menikah dengan Jean, paling tidak ada yang bisa menghiburmu. Sedangkan aku? aku sendirian tanpa siapa pun." ucap Jonathan dengan perasaan sakit.     

Melihat kesedihan Jonathan yang terlihat sungguh-sungguh membuat Nadia merasa bersalah.     

"Maafkan aku Jo, aku tidak bisa berbuat apa-apa. Aku tak berdaya." ucap Nadia seraya menggenggam tangan Jonathan.     

"Tidak apa-apa Nad, seandainya aku jadi kamu aku juga tidak berdaya. Bahkan aku di minta untuk menjadi pendamping kamu saja aku juga tidak bisa menolak." ucap Jonathan dengan suara bergetar.     

Nadia memeluk Jonathan dengan erat, sungguh hati Nadia telah tersentuh akan tulusnya cinta Jonathan.     

Jonathan memejamkan matanya membiarkan saja Nadia memeluknya dengan sangat kuat.     

"Semoga setelah kamu menikah dengan Jean, kamu akan bahagia Nad." ucap Jonathan dengan tatapan berkaca-kaca.     

"Aku juga berdoa untukmu agar kamu juga bahagia Jo." ucap Nadia dengan tatapan penuh.     

Aku tidak akan bisa bahagia Nadia." Ucap Jonathan dengan suara hampir tak terdengar.     

"Dengarkan aku Jo, kamu harus bahagia. Berjanjilah padaku kamu akan selalu bahagia." Ucap Nadia dengan wajah serius.     

"Bagaimana aku bisa bahagia tanpa bisa memiliki kamu Nadia? Katakan padaku?? Bagaimana aku bisa bahagia?" Tanya Jonathan dengan suara parau.     

Air mata Nadia sudah mengalir deras, hatinya tidak bisa lagi bertahan melihat kesedihan Jonathan.     

"Aku juga tidak tahu apa aku bisa bahagia atau tidak tanpa kamu Jo." Ucap Nadia memeluk Jonathan dengan sangat erat dan menenggelamkan kepalanya dalam ceruk leher Jonathan.     

Jonathan dan Nadia saling berpelukan, tidak peduli dengan orang yang lalu lalang melihatnya.     

"Jangan menangis lagi Nadia, mungkin ini sudah takdir kita." Ucap Jonathan seraya mengusap air mata Nadia.     

Nadia menganggukkan kepalanya seraya mengusap air mata Jonathan juga walau tidak sebanyak dirinya.     

"Apa kamu ingin pulang Jo? Sekarang sudah mau sore." Ucap Nadia tidak ingin Jonathan terlalu lelah.     

"Aku hanya ingin bersamamu sampai pernikahanmu tiba Nad? Atau kamu ingin menyuruhku pergi?" Tanya Jonathan dengan tatapan serius.     

"Tentu tidak Jo, aku juga ingin bersamamu." Ucap Nadia seraya mencubit ujung hidung Jonathan.     

Jonathan meraih tangan Nadia seraya menjauhkan sedikit wajahnya.     

"Kenapa kamu suka sekali mencubit hidungku Nadia?" Tanya Jonathan seraya menggenggam tangan Nadia.     

"Karena aku suka sekali dengan hidungmu yang mancung, dan kamu terlihat sangat menggemaskan." Ucap Nadia dengan tersenyum.     

"Kalau kamu suka dengan hidungku kenapa tidak kamu ambil saja." Ucap Jonathan dengan tatapan polos.     

"Kalau bisa aku ambil, pasti sudah aku ambil dan aku simpan di dalam botol." ucap Nadia dengan perasaan gemas.     

"Hem... lalu, aku bernapas dengan apa?" Tanya Jonathan dengan tatapan penuh.     

"Dengan nafas bantuan." Ucap Nadia dengan tersenyum terkulum.     

"Siapa yang akan memberi nafas buatan padaku?" Tanya Jonathan dengan tatapan yang sangat dalam.     

"Aku." Sahut Nadia dengan cepat.     

"Seharusnya kita yang menikah." Ucap Jonathan dengan tiba-tiba.     

"Alasannya?" Tanya Nadia dengan tatapan heran kenapa Jonathan tiba-tiba mengatakan hal seperti itu.     

"Hasrat." sahut Jonathan dengan wajah sayu.     

"Hasrat? apa maksudmu Jo?" tanya Nadia dengan tatapan tak mengerti.     

"Cinta dan perasaan kita telah terbelenggu oleh hasrat yang tidak bisa kita hindari. Hasrat cinta, rindu, Ingin selalu bersama." ucap Jonathan dengan tatapan sungguh-sungguh.     

Nadia menelan salivanya, apa yang di katakan Jonathan sangatlah benar. Kemarahan, kebencian, balas dendamnya pada keluarga Darren kadang lenyap hanya karena hasrat cintanya pada Jonathan.     

"Apakah yang aku katakan tidak benar Nadia?" tanya Jonathan dengan wajah serius.     

"Kamu benar Jo. Seharusnya kita yang menikah. Tapi kita tahu, itu sudah tidak mungkin untuk hubungan kita ini. Besok aku sudah harus menikah dengan Jean." ucap Nadia dengan tatapan sedih.     

Jonathan menghela nafas panjang ingin membuang semua rasa kesedihannya.     

"Sebaiknya kita kembali ke kamar Jean. Dia pasti menunggu kita." ucap Nadia seraya menggenggam tangan Jonathan.     

Jonathan menganggukkan kepalanya tidak bisa menolak ajakan Nadia.     

Sampai di kamar Jean, Nadia melihat Gladys sudah duduk di samping Jean.     

"Gladys? cepat sekali kamu sampai di sini?" tanya Nadia sambil mendorong kursi roda Jonathan agar bisa dekat dengan Jean dan Gladys.     

"Bagaimana aku tidak bisa langsung ke sini, kalau Tuan Jean yang memintaku ke sini." ucap Glady dengan tersenyum menggoda Jean.     

"Cukup Glad, sejak kapan kamu baik padaku? biasanya kamu selalu marah padaku." ucap Jean sambil mengusap bahunya yang terasa nyeri.     

"Tidak begitu juga Jean, aku hanya marah saat kamu mengajari hal yang tidak benar saja pada Nadia." ucap Gladys tanpa ingat kalau ada Jonathan di dekatnya.     

"Mengajari hal yang tidak benar apa?" tanya Jonathan dengan kening berkerut sudah berpikir yang tidak-tidak.     

"Gladys, Jean, sebaiknya aku dan Jonathan balik sekarang. Aku harus mengantar Jonathan pulang. Gladys jangan lupa besok kamu harus menjadi pendamping Jean." ucap Nadia segera menyela pembicaraan Jonathan dan Gladys.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.