143. Peran Besar Etria
143. Peran Besar Etria
"Hei!" gerutu Robin, mengusapi pantatnya yang nyeri, tetapi Lois keburu pergi.
Lois, Lyra, dan Mireon pun menghadapi monster-monster yang luput dari hantaman palu raksasa Etria. Etria sendiri melompat turun untuk membantu. Hanya sebentar saja, gerombolan monster itu tak tersisa sama sekali, hanya meninggalkan mayat-mayat dan genangan-genangan cairan hitam.
Etria meggunakan palunya untuk menyangga tubuhnya. Wajahnya terlihat begitu lelah. "Huft .... Akhirnya selesai juga."
Tiba-tiba saja, Lois memeluk tubuh Etria. Etria pun sedikit terhenyak karenanya.
"Kali ini kamu benar-benar berjasa, Etria," ucap Lois dengan nada lembut. "Kamu lihat, kan? Kamu pun bisa punya peran besar seperti ini. Kamu ini sudah menjadi petarung sejati."
Mulut Etria memang terbuka lebar, tetapi bidadari itu tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Sekarang, matanya justru mulai dilapisi cairan bening.
Lois melepaskan pelukannya, tersenyum dan mengusap pelan pipi Etria. Etria pun menundukkan kepalanya dalam-dalam.
"Jadi, jangan berpikir yang tidak-tidak seperti akan memaksa inti dunia kita untuk menuruti keinginanmu ya, Etria. Tetaplah bersama kami," lanjut Lois dengan mata yang juga sudah dilapisi cairang bening.
Etria sedikit terisak, masih tak mampu membalas perkataan mentornya itu.
"Lois, kita masih harus memeriksa bagian dalam kantor," panggil Lyra.
Lois melebarkan senyumnya, menepuk pundak muridnya itu, lantas berbalik untuk menghampiri Lyra.
Masih menunduk, Etria menggigit bibirnya. Tubuhnya mulai bergetar hebat. Ia pun mengangkat palunya. "Arrrggghhh!!!"
Dengan sigap, Lois menghindari serangan Etria itu, langsung melompat mundur. "Kamu sudah gila, ya!"
"Aku harus melakukan ini! Supaya tidak ada yang menderita lagi! Aku akan menghidupkan semuanya! Aku akan menghentikan siklus penderitaan bernama pemilihan ratu ini, supaya tidak ada lagi yang menderita!" racau Etria sambil meneteskan air matanya, lantas menatap Rava yang cuma bisa mematung. "Hei, Rava. Kamu ingin Kacia kembali, kan? Kamu ingin memeluk tubuhnya kembali, kan!?"
Rava merasa jantungnya seperti dihujam ribuan jarum.
Urat-urat di wajah Lois mulai menegang hebat, tanda kemurkaannya tidak terbendung lagi. "Lyra, kamu dan Rava lebih baik memeriksa ke dalam kantor bersama Mireon. Tuan putri bodoh ini biar menjadi urusanku."
"Tapi, artinya kamu akan melawannya tanpa tuan," timpal Lyra, sedikit menelengkan kepala."
"Itu tidak akan menjadi masalah," desis Lois, memandang Etria dengan mata membelalak. "Aku akan memberikan pelajaran yang tidak akan pernah dilupakan olehnya.
Etria sedikit berjengit ngeri, tetapi tetap memasang kuda-kudanya.
Lyra tercenung sejenak, kemudian memberi isyarat kepada Rava agar mengikutinya. Pada saat itulah, dia mendengar derap langkah kaki cepat, diikuti dengan suara ayunan yang kencang. Lyra pun membungkuk, sebagian rambutnya terpotong oleh tebasan kapak Mireon.
Lyra melompat mundur, menghunuskan pedangnya kepada bidadari berbusana hitam-hitam itu. "Hooo, jadi kamu juga memilih untuk melawan kami, ya?"
"Maaf." Mireon kembali menerjang Lyra.
"Mireooon!!! Kesepakatan kita bukan begini! Aku bakal ngelepasin kontraknya kalau kamu nggak berhenti!" raung Janu keras.
Dengan kapaknya, Mireon menangkis tebasan vertikal dari Lyra. "Itu artinya, aku akan menjadi bulan-bulanan. Kecepatan, kekuatan, dan energi pelindungku akan berkurang drastis. Walaupun tidak terbunuh, aku akan terluka parah. Kamu ingin aku begitu, Janu?"
Seperti biasa, Mireon berbicara tanpa mengubah ekspresinya. Janu cuma bisa tercengang dan kehilangan kata-kata. Pertarungannya Lyra dan Mireon pun terus berlanjut. Keduanya saling menangkis dan menghindari serangan satu sama lain.
Di sisi lain, Lois yang tidak memegang rapier-nya tengah menghindari ayunan-ayunan palu membabi-buta dari Etria.
"Kenapa kamu tidak serius, Lois!? Keluarkan pedangmu!" seru Etria frustasi. Wajah Lois memang tidak menunjukkan minat sama sekali.
"Ooh, kamu ingin aku serius?" Lois sedikit mencibir.
Satu ayunan palu horizontal dari Etria, Lois pun merunduk, melancarkan uppercut ke rusuk muridnya itu.
"Ugh!" Etria pun mundur beberapa langkah karena pukulan keras Lois.
Hampir tanpa jeda, Lois pun menangkap tangan kanan Etria yang tengah memegang palu. Lois pun menyikuti tangan itu beberapa kali. Etria berusaha melepaskan diri. Namun, itu percuma saja. Dia harus pasrah palunya tergelincir jatuh. Kemudian, Lois menyapu kaki Etria. Etria pun tersungkur ke aspal.
"Duh, kenapa jadi begini?" ratap Robin, meremas rambutnya dengan sebelah tangan.
Rava bergantian melihat dua pertarungan itu dengan napas memberat. Matanya membuka lebar dan tubuhnya mulai bergetar. Keringat dingin juga sudah mengaliri tubuhnya. Terakhir kali dia melihat pertarungan antar bidadari seperti ini, ada seseorang yang mati.
Tidak, ini tidak boleh terjadi lagi.
"Jangan ...." Dengan agak terhuyung, Rava berjalan pelan ke depan. Sebelah tangannya terjulur lemah, seperti akan menggapai sesuatu. Perlahan, air mata pemuda itu meleleh membasahi pipi. "Kalian jangan bertarung lagi .... Nanti ada yang mati .... Hentikan ...."
Tentu saja ucapan lirih Rava itu tak sampai kepada para bidadari. Mereka masih saja bertarung. Lyra dan Mireon masih jual beli serangan, sementara Lois sedang menginjak-nginjak kepala Etria dengan brutal. Etria cuma bisa meringkuk di aspal, berusaha melindungi kepalanya dengan tangan.
"Orang seperti kamu yang paling kubenci!!! Orang seperti kamu tidak pernah berpikir panjang!!! Tidak bisa mengukur kemampuan diri-sendiri, tidak mempertimbangkan apa pun, yang penting main terjang saja!!!" Lois berteriak-teriak dengan kemurkaan yang makin kentara di wajahnya. Ia terus menginjak-nginjak kepala muridnya. "Aku juga pernah sepertimu dan itu hanya menyusahkan diriku dan orang-orang di sekitarku, Etriaaa!!! Kenapa kamu tidak mau mengerti!? Aku cuma ingin kamu menjadi lebih baik!!!"
"HENTIKAAANNN!!!" Rava meraung sekeras-kerasnya, seperti binatang yang begitu kesakitan. "ARRRRGGGGHHHH!!!"
Serta-merta, bidadari-bidadari itu menghentikan pertarungan. Mereka pun menoleh kepada Rava, yang sudah dalam posisi seperti bersujud, menangis-nangis keras layaknya anak kecil.
"J-jangan b-bertarung lagi .... Aku m-mohon .... Aku n-nggak m-mau ada yang m-mati lagi," erang Rava dengan nada penuh permohonan, menempelkan keningnya di aspal. "A-aku mohon dengan sangat ...."
Lyra pun menurunkan pedangnya, menghampiri tuannya itu.
Lois menghela napas, memandangi Etria yang masih meringkuk di aspal dengan tubuh gemetaran. "Maaf, Etria. Barangkali aku kelewatan."
Setelah mengatakan hal itu, Lois turut mendatangi Rava, yang masih saja menangis. Robin pun mendekati Etria, berlutut untuk memeriksa bidadarinya itu.
Di sisi lain, Janu berjalan kepada bidadarinya. "Ternyata, kamu ini sebenarnya masih punya hati, ya? Setelah mendengar Rava yang begitu, hati kamu tergerak dan akhirnya kamu milih buat nggak nyerang lagi, kan?"
Tak menjawab, Mireon hanya membuang muka. Lagi-lagi dengan ekspresi yang nyaris datar.
Rava masih saja bersujud dan terisak keras. Keberadaan dua bidadari di sisinya tak sanggup menghentikan tangis pilu pemuda itu.
***
Tanpa disadari para bidadari tersebut, Ione berdiri di atas bangunan lain, mengamati dari jarak yang cukup jauh.
"Seperti yang tadi kubilang, orang suruhanku melihat Robin dan Etria kembali ke rumah kontrakan mereka yang lama," celetuk Marcel, mengamati rombongan itu dengan sebuah teropong. Ia memang sengaja menaruh orang di sekitar rumah yang disewa Robin itu. "Setelah melihat semua ini, aku bisa menyimpulkan kalau Etria memang sudah berpisah dari kelompok Rava."
Ione berbalik, mulai berjalan meninggalkan tempat itu.