A Song of the Angels' Souls

150. Calon Menantu



150. Calon Menantu

3Bapak penjual bubur ayam itu memasuki rumah Rava sambil membawa nampan berisi mangkuk-mangkuk yang agak mengepul. Si penjual yang tampak sudah agak berumur itu lalu menaruh nampan di meja ruang tamu. Lyra pun berlutut, mulai membagikan mangkuk-mangkuk bubur ayam kepada yang lain.     

Namun, begitu giliran Rava tiba, Lyra malah tidak menyerahkan mangkuk tersebut. Bidadari itu duduk di sebelah Rava dan menyodorkan satu sendok berisi bubur ke mulut sang tuan. Mulutnya pun berkata, "Aaaa ...."     

Serta-merta Lois dan Robin yang duduk di sofa pun membeku, bubur yang tengah mereka sendok pun jatuh kembali ke mangkuk. Ibu Rava terbatuk-batuk hebat, tersedak makanan. Ia buru-buru pergi ke belakang untuk mengambil minum.     

"A-aku bisa m-makan sendiri kok, Lyra," ucap Rava dengan kedua ujung bibir yang berkedut.     

"Aaa ...." Lyra malah makin mendekatkan sendok itu ke mulut tuannya.     

Menggaruk rambutnya, Rava berusaha merebut mangkuk yang dipegang Lyra, tetapi bidadari itu mengelak dengan mudah, kembali menodong mulut sang tuan dengan suapan bubur.     

"Hmmm .... Aku pernah mendengar semacam idiom dari manusia bumi kalau melihat situasi seperti ini. Tapi, aku lupa apa namanya," Lois sedikit menengadah sambil mengusap-usap dagunya. "Ah .... Cie .... Cie ,,,, Cieeee ...."     

Robin bertepuk tangan pelan, manggut-manggut sambil sedikit mencibir. "Kamu punya pacar yang perhatian banget, Rav. Aku ngerasa iri. Mantan-mantanku yang dulu nggak ada yang mau nyuapin. Walaupun aku sakit sekalipun."     

Rava pun merasa wajahnya seperti disundut sesuatu yang panas dari berbagai arah. "Kami nggak pacaran!"     

"Rava ...." Ibu Rava yang baru muncul pun menutupi mulutnya dengan tangan, memandang haru kepada putranya itu. "Setelah sekian lama, akhirnya kamu punya pacar."     

"Ibu jangan ikutan!" gerutu Rava dengan wajah yang makin merona merah.     

"Apakah saya boleh memanggil Bu Sinta sebagai calon ibu mertua?" tanya Lyra tiba-tiba, menoleh kepada ibu Rava.     

Suasana langsung hening. Mulut Rava membuka dan menutup layaknya ikan di air, tetapi tidak ada kata yang bisa disampaikannya. Ibu Rava tampak semakin terharu, bahkan matanya mulai berkaca-kaca.     

"Tentu saja boleh!" jawab Ibu Rava dengan antusiasme yang berlebihan. "Ibu sangat senang kalau mendapat menantu secantik dan sebaik kamu, Lyra!"     

Lois menutupi mulutnya dengan kedua tangan, ikut memajang wajah haru. Robin kembali bertepuk tangan pelan, menggeleng-gelengngkan kepala tanda takjub.     

"Arrrrggggghhhhh!!!" Akhirnya Rava bisa memaksakan diri untuk berbicara, walau itu cuma geraman keras. Melihat Lyra yang terpana karena jawaban tak terduga ibu Rava, sang tuan pun merebut mangkuk bubur ayamnya, kemudian bangkit dan pergi dari situ sembari menyendoki makanannya dengan sangat brutal.     

Ia tak mengerti, mengapa orang-orang di rumah ini jadi gila?     

"Darling!" panggil Lyra lantang, langsung menyusul tuannya itu. "Kamu mau ke mana? Aku ingin berada di sisimu!"     

"Darling, darling! Palamu tuh, dadar guling!" seru Rava kencang.     

Lois pun langsung tertawa terbahak-bahak, sementara ibunda Rava terlihat mengelus dada dengan ekspresi bahagia yang tidak terkira.     

Robin yang sudah mulai makan buburnya seketika berjengit ketika Lois mencubit lengannya. "Apaan, sih!?"     

"Tidak pernah kuduga Lyra bakal berkata seperti itu! Sampai memanggil Rava darling pula! Aku tahu dia pernah mendengar kata itu dari sebuah film! Tapi, aku benar-benar tak menyangka dia akan menggunakannya!" Lois tertawa semakin keras, sampai terbatuk-batuk. "Kamu tadi juga dengar, kan!? Lyra juga sampai bilang terang-terangan ingin terus berada di samping Rava!"     

Robin memandang Lois yang terus saja tertawa, kemudian mulai makan lagi.     

"Hei! Kenapa kamu peluk-peluk begitu!? Aku kan mau makan!" jerit Rava dari belakang rumah.     

Tiba-tiba ibu Rava mendelik.     

"Hei, kalian lagi ngapain! Kalian belum jadi suami istri!" teriak sang ibunda sambil berlari mendatangi dua sejoli itu.     

***     

Janu menyemburkan air putih yang diminumnya. Ia pun berdiri sambil menggebrak meja makan. "Mak barusan bilang apa!?"     

Ibu Janu, perempuan berperawakan sedang dan berambut keriting kecil-kecil, justru tidak menatap anaknya, tetapi memerhatikan Mireon yang tengah menyantap makanan dengan gerakan lamban. Begitu pulang dari kerja di luar negeri dan menemukan Mireon di rumahnya, wanita itu begitu bersemangat, langsung memesan makanan yang enak-enak. Bebek goreng, cah kangkung spesial jamur, lalapan, dan sambal korek, semuanya tersaji di meja makan rumahnya itu.     

"Mak, tadi Emak bilang apa?" ulang Janu, menggaruk rambutnya frustasi.     

Ibu Janu melebarkan senyumnya. "Ibu senang kamu dapat calon istri yang cantik banget, secantik pemain JAV."     

Janu langsung melongo sambil mengerjap-ngerjapkan mata. "Ibu tahu kan, ngebandingin orang sama pemain JAV itu bukan pujian?"     

"Hah?" Ibu Rava menautkan alis. "Bukannya artis JAV itu cakep-cakep, ya?"     

Janu menepok jidatnya dengan sangat maksimal. "Masa disamain sama artis JAV yang .... Eh! Bukan itu intinya! Mireon ini bukan calon istri aku! Dia cuma numpang di sini!"     

"JAV itu apa?" tanya Mireon, mengangkat wajahnya, berbicara dengan ekspresi dan nada yang tentu saja datar.     

Ibu Janu memajang senyum ramah kepada Mireon. "JAV itu ...."     

"JAV itu Jamaican Animal Video!!! Dan jangan tanya kenapa emak gue ngebandingin elu sama Jamaican Animal Video!!! Cukup!!! Jangan bahas JAV lagi!!!" rentet Janu begitu keras dan panjang. Napasnya pun mulai naik-turun.     

Sedikit menelengkan kepala, ibu Janu melebarkan senyumnya. "JAV itu film porno dari Jepang, Mireon. Artisnya cakep-cakep seperti kamu."     

"Ooh." Mireon kembali melanjutkan aktivitas makannya.     

Lagi-lagi Janu menepok jidatnya. Dia tak percaya, bertahun-tahun bekerja sebagai asisten rumah tangga di luar negeri, ibunya masih saja punya pemikiran tak masuk akal seperti itu. Tidak ada orang lain yang menggunakan JAV sebagai acuan untuk memuji orang. Lebih gilanya lagi, Mireon terlihat tidak terpengaruh sama sekali.     

Janu tercekat. Dari mana ibunya tahu tentang JAV?     

"Bapak sama abang kamu yang mesum itu sudah Emak kirimi uang biar nggak balik dulu, Nu," terang ibu Janu tiba-tiba. "Biar Mireon betah di sini dan nggak digerayangi mereka. Biarlah mereka senang-senang di mana, Emak udah nggak peduli."     

"Aah." Walaupun perbuatan ibunya absurd, tetapi menurut Janu hal itu sangat menguntungkan Mireon. Mireon tak perlu berdiam diri terus di kamarnya yang sempit dan jorok.     

"Kamu sama Mireon mau ngapain terserah. Ibu nggak bakalan protes. Asal kamu tanggung-jawab kalau kenapa-napa, Nu," lanjut ibu Janu, mulai memakan nasi menggunakan tangannya. "Kalau nggak tanggung-jawab, anumu bakal Emak jejelin sama sambel ini."     

Disodori satu lepek sambel korek oleh ibundanya, Janu menghela napas lelah. "Harus kubilang berapa kali? Aku sama Mireon nggak ada hubungan apa-apa. Mak."     

"Kamar kamu udah agak rapi. Nggak mungkin kamu atau bapak kamu atau abang kamu yang ngerapihin. Pasti Mireon yang ngerapihin. Ini berarti Mireon udah nggak nganggep kamu sebagai orang asing. Dia sampai mau repot-repot begitu, loh."     

Janu berdehem, berusaha tak memedulikan ocehan ibunya itu. "Aku cuma ngasih Mireon tempat berteduh soalnya aku ngerasa kasihan sama dia ...."     

"Saya sudah bergerak duluan, tapi Janu menolaknya, Bu," ceplos Mireon tiba-tiba.     

Suasana mendadak hening. Rahang Janu turun maksimum. Pemuda itu pun berdiri dan menunjuk bidadarinya, meraung murka, "Eeh!!! Jangan ngomong sembarangan, ya!!!"     

"Tapi, begitulah kenyataannya, Janu. Aku sudah telanjang, tetapi kamu tidak melakukan apa pun." Mireon memandang tuannya dengan tatapan datar andalannya.     

Ibu Janu sedikit mencondongkan tubuhnya. Mata wanita itu tampak berbinar. "Ceritain lebih lanjut, dong!"     

Sekarang, Janu menepok jidatnya dengan kedua tangan.     

"Jadi, awalnya saya duduk di pangkuannya. Waktu itu pun, saya sudah bisa merasakan milik Janu dalam kondisi yang tidak seperti biasanya. Kemudian, waktu saya mulai melepas baju saya, saya makin bisa merasakan milik Janu. Bahkan saya bisa merasakannya bergerak-gerak sedikit, Bu. Saya pun memeluknya dan mencium bibirnya ...."     

"Argggghhhh!!!" Janu menutupi kedua lubang telinganya dengan tangan. Ia ingin memcuci indra pendengarnya itu dengan cairan pembersih paling kuat di muka bumi.     

Mireon terus menerangkan secara detail, sementara ibu Janu mendengarkan dengan sangat antusias.     

***     

Setelah makan siang, Janu mendatangi Mireon yang tiduran di kamarnya. Tentu saja bidadari itu berbaring dengan pose andalannya: telentang dengan kedua tangan yang saling ditautkan dan ditaruh di dada.     

"Kamu tadi kenapa, sih? Sampai ngebacot nggak jelas panjang banget begitu?" tanya Janu, melipat tangan di dada sambil menyenderkan bahu ke kusen pintu.     

"Akhir-akhir ini aku merasa diriku terlalu kaku. Maka dari itu, aku becanda."     

Janu sudah hampir akan menunggu lanjutan ucapan Mireon yang terkesan belum selesai itu. Namun, dia ingat itu tidak ada artinya.     

Akhirnya, pemuda itu menghela napas panjang. "Dari pengalamanku, orang yang tiba-tiba bertingkah di luar karakternya itu kebanyakan karena dua hal, karena kasmaran atau karena ada yang begitu mengganjal di hatinya."     

Tubuh Mireon sedikit berjengit, tetapi ekspresi di wajahnya tidak berubah sama sekali. "Aku tidak kasmaran denganmu."     

"Bukan itu intinya!" hardik Janu. Urat-urat lehernya mulai menonjol tanda murka.     

"Becanda."     

Janu menepok jidatnya, kembali menghela napas. "Aku nggak akan bilang kalau aku ngerti apa yang kamu rasakan .... Tapi, kita ini kan udah jadi partner .... Kalau ada sesuatu yang mau diomongin, aku siap dengerin, kok."     

Mireon mengubah posisinya berbaringnya. Kini, ia menghadap tembok, memunggungi tuannya. "Terimakasih, tetapi tidak ada yang ingin kubicarakan."     

"Ya, udah kalau gitu." Janu mengangkat bahu kembali, kemudian menutup pintu dan pergi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.