A Song of the Angels' Souls

114. Kemelut



114. Kemelut

1"Benarkah itu, Pak Burhan?" tanya Marcel yang sudah duduk di pinggiran ranjang, sementara ajudannya—seorang pria agak gemuk dengan rambut penuh uban—tampak membungkuk di hadapannya.     

"Begitulah kabar yang saya dengan dari Nona Ione, Tuan," jawab pria bernama Burhan itu     

Marcel mengusap wajahnya. Ia pun memejamkan mata, tampak berpikir. Hanya selang beberapa detik, ia mencabut jarum infus di tangannya.     

"Tuan Marcel mau ke mana?" tanya Burhan, mulai panik saat Marcel membuka lemari dan mengeluarkan tas. "Tuan Marcel masih harus dirawat!"     

"Aku nggak bisa ngebiarin adikku begitu aja, Pak." Meski sendi-sendinya terasa kaku karena sudah lama tidak digunakan, ia tetap mengeluarkan bajunya dari tas. "Aku harus melakukan sesuatu."     

"Tapi ...." Burhan akan mencegah kembali, tetapi akhirnya memilih untuk membiarkan tuannya itu. "Baiklah, saya akan siapkan mobilnya."     

Saat akan berganti kaos, Marcel merasakan pusing menyengat di kepalanya. Terhuyung, dia menghampiri lemari kecil di dekat ranjang perawatan, mengeluarkan botol obat kecil dari lacinya. Ia pun menumpahkan beberapa butir tablet ke tangannya yang bergetar.     

"Ini, Tuan Marcel." Burhan menyodorkan segelas air putih.     

Marcel sempat tercenung melihat gelas itu, kemudian berkata. "Terimakasih, Pak. Terimakasih juga sudah mengerti dan tidak menghalangi saya."     

Sementara Marcel meminum tablet-tablet itu, Burhan sedikit membungkuk. "Saya mohon, Tuan. Tolong jangan terlalu memaksakan diri."     

***     

Kacia dan Etria mendarat di sebuah gang yang begitu sepi dan minim penerangan, langsung menonaktifkan baju tempur masing-masing. Mereka masih dalam misi pencarian Stefan. Lyra pergi bersama Lois, sementara Ione mencari dengan Mireon. Ione memang sengaja pergi bersama bidadari berbusana hitam itu untuk mengawasi gerak-geriknya.     

Etria memegangi perutnya yang berbunyi cukup keras. Wajahnya pun merona merah karena malu. "M-maaf, gara-gara aku kelaparan ...."     

"Nggak apa-apa. Aku juga lapar, kok," kata Rava, turun dari punggung Kacia dan langsung melongok ke luar gang, mengamati sejenak sebuah warung kumuh yang dikunjungi beberapa lelaki. Letaknya hanya beberapa meter dari gang itu. Mereka tidak punya pilihan. Penjual makanan lain sudah tutup sedari tadi. "Aku beli makanan dulu, ya."     

"Kamu tidak apa-apa pergi ke sana sendirian? Sepertinya, di sana banyak orang mabuk. Katanya, orang mabuk kadang suka melakukan kekerasan," timpal Kacia dengan nada cemas.     

"Yah, kalian awasi aja dari jauh. Udah lewat larut malam begini, cewek kayak kalian bakal diledekin atau malah di .... Yah, kalian pasti bisa melawan sih, tapi itu tetap bakal jadi pengalaman yang nggak menyenangkan." Rava pun sedikit tersenyum, mulai melangkah ke warung remang-remang tersebut.     

Mungkin karena sudah sering berhadapan dengan risiko yang jauh lebih besar, Rava tidak terlalu takut mendatangi warung yang biasanya dikunjungi preman itu. Terlebih, ada dua bidadari yang mengawasinya.     

Rava memejamkan sebelah matanya. Akhirnya, dia tak perlu menyembunyikan rasa sakitnya. Bekas luka tusukan Aiden belum sembuh benar. Kadang masih dihinggapi perih menyengat kalau dirinya terlalu banyak bergerak. Apalagi waktu naik ke punggung bidadari. Saat Kacia melompat-lompat, guncangannya cukup menyiksa Rava. Akan tetapi, rasa sakitnya itu tentu tak seberapa dibandingkan dengan luka-luka yang pernah diderita para bidadari.     

Dulu, dirinya tidak diculik Aiden karena sebuah alasan absurd. Rava tak percaya setipis itu dirinya nyaris dibawa si psikopat.     

"Silahkan, Bos. Mau beli apa, Bos?" tanya penjaga warung bertubuh tinggi besar, yang walaupun penuh tato, tapi secara mengejutkan menyambut Rava dengan ramah.     

"Errr .... beli ini tiga, diseduh sekalian, Pak," pinta Rava yang baru tiba di warung. Lamunannya baru saja buyar. Ia pun menunjuk etalase berisi mie instan siap seduh dalam gelas sterefoam.     

Si penjaga warung memberikan acungan jempol, langsung mengambil termos dari bawah meja. Rava pun melirik ke tikar yang digelar tak jauh dari situ. Pria-pria dengan berbagai usia tampak berkumpul, mengelilingi botol-botol minuman keras. Asap pekat dari banyaknya rokok yang dinyalakan pun bergumul-gumul di sekitar mereka.     

Mereka semua teler. Meracau tak jelas dan tertawa-tawa. Bahkan beberapa ada yang sudah berbaring begitu saja. Rava jadi teringat seseorang. Seseorang yang dulu dipanggilnya Bapak.     

"Selamat malam, selamat menyaksikan Breaking news." Suara seorang pembawa berita pun terdengar dari tv kecil yang dinyalakan di warung itu. "Pemirsa. Stefan Wiryawan, anak dari pimpinan Wiryawan Grup dikabarkan hilang. Sampai saat in,i belum ada informasi yang jelas mengenai penyebab hilangnya pemuda yang memilih untuk memulai usahanya sendiri di luar Wiryawan Grup ...."     

"Waduh, anak konglomerat bisa ilang juga, yak?" celetuk sang penjaga warung, menyeduh mie instan pesanan Rava sambil menonton televisi. "Pasti besok bakal heboh banget, nih."     

Rava menelan ludah. Terlalu sering bergaul dengan Stefan membuat Rava lupa kalau rekannya itu adalah anak dari orang besar. Baru beberapa jam yang lalu, Stefan diculik Aiden, tetapi beritanya sudah keluar. Ini pasti karena koneksi Wiryawan Grup dengan media-media nasional.     

Mungkinkah ayah Stefan melakukan ini untuk mengonfrontasi penculik anak keduanya itu?     

Ponsel Rava bergetar. Pemuda itu pun mengangkat panggilan yang masuk. "Halo, Bu?"     

"Halo, Rava? Kamu pulang, ya. Ayah Stefan ingin bicara sama kamu dan para bidadari," timpal sang ibunda dari seberang sana, terdengar begitu khawatir.     

Rava kembali menelan ludah. Berharap dirinya tidak mendapat masalah karena hilangnya Stefan.     

***     

Begitu memasuki rumah kontrakan, Rava langsung bisa melihat rekan-rekannya yang sudah berkumpul di ruang tamu, termasuk ibunya. Kebanyakan dari mereka duduk, tetapi ada juga yang berdiri karena memang sofa yang ada tidak mencukupi. Di antara yang berdiri, ada dua orang yang tidak dikenal Rava, yakni seorang wanita dengan kulit putih, rambut coklat pendek, dan tahi lalat di bawah mata, serta seorang lelaki kekar berkulit gelap dengan topi fedora. Mereka berdua menggunakan pakaian rapi seolah akan pergi ke kantor.     

Diapit dua orang itu, Wiliam Wiryawan duduk di salah satu sofa, justru mengenakan baju polo santai berwarna abu-abu. Pria paruh baya dengan rambut hitam yang disisir ke belakang semua itu mencondongkan tubuhnya ke depan. Jari-jemarinya ditautkan, menjadi penyangga dagunya. Matanya yang dihiasi alis tebal tampak seperti sedang memandang sesuatu di kejauhan.     

Tak salah lagi, itu ayah Marcel dan Stefan. Wajah beliau, walaupun sudah berkerut di sana-sini, masih menunjukkan fitur-fitur yang mirip dengan muka kakak-beradik itu.     

"Semuanya sudah ada di sini?" tanya William dengan suara yang begitu dalam dan berat.     

Rava bisa merasakan bulu kuduknya meremang. Dari suaranya saja, aura orang besar William sudah begitu kuat menguar.     

"Kita langsung saja. Aku tidak akan menyalahkan kalian. Itu tidak akan ada gunanya. Walaupun aku tentu tidak setuju Stefan ikut ambil bagian dalam pertempuran ini, hal yang menurutku membuatnya diculik," lanjut William dengan nada datar, sama sekali tidak memandang yang lain. "Asal kalian tahu saja, aku ini tahu apa yang Marcel dan Stefan lakukan. Aku hanya membiarkan mereka berlaku semaunya karena kukira mereka sudah dewasa."     

William menyenderkan punggungnya ke sofa, memandang ke langit-langit. "Aku sudah menghubungi beberapa kenalanku dan juga polisi untuk melakukan apa-apa yang diperlukan. Permintaanku kepada kalian simpel saja. Aku membawa Jane dan Daniel ini untuk menanyakan berbagai hal. Aku harap kalian bisa menjawabnya dengan jujur dan baik."     

Begitu mendapat isyarat tangan dari William, si wanita berambut pendek pun maju, memajang senyum yang terlihat begitu palsu.     

"Perkenalkan, nama saya Jane. Saya dan Daniel biasa mengurusi kasus-kasus seperti ini," ucap si wanita dengan logat barat.     

"Kami ingin menggunakan dua ruangan yang berbeda," sambung si lelaki bertopi fedora, terdengar lebih lancar berbahasa Indonesia. "Tidak ada yang keberatan, kan?"     

"Ceritakan secara detail sedetail-detailnya, jangan sampai ada yang terlewat. Mungkin informasi kalian akan sangat membantu," pinta Jane dengan nada penuh penekanan. "Ini demi teman kalian juga."     

"Maaf, aku tahu ini sudah hampir pagi, tapi kita harus bergerak cepat," tutup William.     

Rava melirik Ione, yang terduduk lesu sambil mencengkram kepala.     

Tiba-tiba saja, satu sosok Piv meloncat ke meja tamu. Sosok tersebut langsung menyedot perhatian Jane dan Daniel, tetapi William tetap bersikap biasa.     

"Pihak atas memberi keringanan. Tidak ada yang akan dihukum walaupun mengetahui tentang pemilihan ratu dan segala yang berhubungan dengannya. Pihak atas sangat bersimpati karena kejadian tak terduga ini. Seharusnya, para tuan tidak terkena dampak apa pun," terang Piv cepat. "Ini disebabkan karena pihak penyelenggara memilih A.G. Mereka meminta maaf, tetapi tidak bisa turut campur terlalu banyak. Mereka hanya bisa memberi keringanan ini. Satu saja syaratnya, jangan sampai terlalu banyak orang yang tahu."     

William melirik makhluk itu dengan tatapan kebencian yang begitu kentara. Rava yang melihatnya pun langsung merinding.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.