A Song of the Angels' Souls

130. Mengapa



130. Mengapa

2Mengapa?     

Darah sudah mengalir deras dari seluruh lubang di tubuh Medora, kedua tangannya telah dihujam pasak yang menembus sampai tanah, semua jarinya sudah menekuk ke arah yang salah, dan juga luka berbagai macam bentuk sudah menghiasi tubuhnya. Namun, mengapa dirinya tetap bertahan? Padahal, sakit di sekujur tubuhnya itu begitu tak terkira rasanya. Dia lebih memilih mati saja. Sayangnya, untuk memohon dibunuh saja dia sudah tak sanggup. Mulutnya sudah tak bisa bicara.     

Entah. Medora tak mengerti. Dia seharusnya bisa kabur sedari tadi, meninggalkan Gilang begitu saja. Akan tetapi, dia tidak bisa membayangkan kalau tuannya itu disiksa, apalagi mati. Anak itu sebenarnya manis. Padahal sudah dijahati olehnya, tetapi Gilang tetap mau menangisinya saat dirinya diserang Lyra dan Los.     

Sekarang, bidadari itu menyesal tak menjalin hubungan yang lebih baik dengan Gilang. Barangkali, hubungan itu akan lebih memuaskan daripada harta sebesar apa pun. Sekali lagi sayang, dia tak punya waktu lagi untuk membuktikan hal itu.     

"Luar biasa," desis Aiden, memotreti tubuh Medora yang hampir keseluruhannya berlumur darah. "Seperti yang kamu bilang, Zita! Ketahanan bidadari itu jauh di atas manusia! Lihat, dia masih bernapas!"     

Ya, dada Medora memang masih naik-turun, tetapi sangatlah pelan.     

Zita tak menimpali, malah mulai menjamah bagian kewanitaannya dan mendesah penuh gairah. Padahal, Gilang masih duduk di pangkuannya. Gilang sendiri tak bisa melakukan apa pun, kecuali menangis. Air matanya membasahi penutup mata kain yang dipasang Aiden di kepalanya. Bocah itu berkali-kali membuka mata untuk melihat apa yang terjadi.     

Ya, siapa pun pasti ingin membuka matanya kalau mendengar pekikan kesakitan yang begitu mengerikan sedari tadi.     

"Kalau dengan manusia biasa, aku tidak bisa membuat karya hidup seperti ini!" Aiden semakin bersemangat dalam memotret tubuh Medora yang mengenaskan itu     

Dengan sisa-sisa tenaganya, Medora yang telentang pun mengangkat kepalanya, berusaha melihat tuan kecilnya. Satu detik melakukan itu, kepalanya pun kembali jatuh ke lantai tanah. Degan aliran air mata yang bercampur darah, ia memejam. Pasrah.     

Medora bisa mendengar tawa keras Aiden dan Zita yang bersahut-sahutan.     

Mengapa mereka begitu kejam?     

***     

Aiden memarkirkan mobilnya di depan rumah Dirga. Kali ini, Zita yang keluar dari mobil sambil menggendong tubuh Gilang. Wajah bidadari itu dipenuhi kepuasan, sementara si bocah cilik memandang kosong. Wajah Gilang sudah begitu pucat dan tak menunjukkan ekspresi sama sekali. Mata sembabnya seolah menegaskan kalau bocah itu benar-benar dalam kondisi yang tidak beres.     

Zita mendudukkan Gilang ke pelataran rumah itu, kemudian mengacak rambut si bocah cilik sambil tersenyum. Gilang sama sekali tak merespon, hanya melongo.     

Zita melambaikan tangan, kembali masuk ke dalam mobil. Tak berapa lama kemudian, mobil itu pun melaju membelah udara malam.     

Detik-detik berlalu dalam sunyi, Dirga akhirnya membuka pintu. Pria itu berjalan sempoyongan dengan kepala yang diperban serampangan, matanya sangat tidak fokus, dan mulutnya menguarkan bau alkohol yang begitu menyengat. Dia langsung tersentak melihat sosok anak kecil yang duduk sendirian di teras.     

"Gilang?" tanyanya, mendekati bocah itu dengan perlahan untuk memastikan. Begitu melihat kalau bocah cilik itu benar-benar Gilang, Dirga pun berjongkok di hadapannya. Melihat kondisi anaknya itu tampak tidak normal, Dirga pun membelalakkan matanya.     

"Kamu kenapa, Lang?" tanya Dirga sambil menggoyang-goyangkan tubuh anaknya itu. Awalnya pelan saja, tetapi lama-lama semakin kencang karena Gilang tak kunjung merespon. "Gilang! Gilang! Gilaaang!!!"     

Tangis Dirga pun pecah. Ia memeluk tubuh mungil anaknya itu. Saking kerasnya tangis Dirga, beberapa tetangga pun keluar dari rumah masing-masing.     

"Maafin Bapak, Lang!" seru Dirga, mempererat pelukannya. Air matanya makin deras mengalir.     

Namun, Gilang tetap saja membisu.     

***     

Rava memandangi layar ponselnya dengan tangan begitu gemetar. Sudah lewat tengah malam dan dia mendapat chat dari Herman yang intinya mengatakan kalau Gilang memang sudah kembali, tetapi Medora telah tewas. Herman bisa tahu Medora sudah tak bernyawa karena foto-foto yang Viral di internet. Herman juga mewanti-wanti agar Rava tidak mencari foto-foto tersebut karena terlalu sadis. Rava pun menurut untuk menjaga mentalnya.     

Biasanya, Aiden tak akan menyebarkan foto-foto seperti itu supaya dirinya tak terlacak. Barangkali karena pria itu ingin mengonfrontasi bidadari yang lain? Belum lagi di sisi Aiden ada Zita. Mau dilacak seperti apa pun, Aiden tinggal mengandalkan Zita untuk membasmi polisi yang menemukannya.     

Pintu kamar ruang perawatan itu membuka, Lyra dan Mireon masuk. Kedua bidadari itu mendatangi tuan masing-masing. Rava mematikan aplikasi chat. Ia memutuskan untuk tidak memberitahu para bidadari terlebih dahulu. Mereka harus fokus melawan monster, tidak boleh diganggu dengan hal seperti itu.     

"Rava, kamu sudah siap?" bisik Lyra.     

Rava cuma mengangguk kaku.     

Lyra sedikit menelengkan kepalanya. "Kenapa kamu kelihatannya ketakutan begitu?"     

"K-kita kan akan melawan monster."     

"Walaupun biasanya kamu ketakutan, tetapi ketakutanmu tidak sejelas ini. Ini sama seperti ketika kamu mendengar tentang Bagas yang .... Ah, maaf."     

Rava menelan ludah. Degup jantungnya sudah begitu kencang. "Bisakah kita pergi saja sekarang?"     

Lyra mengamati tuannya sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. Rava melepaskan jarum infusnya, agak meringis kesakitan saat melakukannya. Kemudian, ia pun dibopong bidadarinya di depan. Rava mengalungkan kedua tangannya ke leher sang bidadari agar Lyra bisa lebih mudah mengangkatnya. Mireon juga sudah membopong Janu.     

Setelah kedua bidadari itu saling mengangguk, mereka pun keluar dari ruang perawatan, langsung melompat ke atap terdekat. Di sana, Etria, Lois, dan Kacia sudah menunggu. Etria dan Kacia masing-masing tampak menenteng kursi roda.     

Mereka semua pun melakukan perjalanan, mengikuti petunjuk Piv yang hinggap di pundak Lois, menerjang dinginnya udara malam.     

"Kamu tidak apa-apa, Rava?" tanya Lyra saat mendapati tuannya itu memegangi kepala.     

Rava menggeleng pelan. "Nggak apa-apa kok, Lyra."     

Rava merasa dirinya harus bertahan. Pusing dan sensasi melayang yang menghinggapi kepalanya itu harus diabaikannya. Ini demi menyelamatkan banyak orang.     

"Dari dulu, hal paling aneh yang gue alamin waktu ketemu sama bidadari ya begini. Bisa-bisanya cowok digendong cewek," gerutu Janu, memerhatikan wajah Mireon.     

Mireon tak merespon.     

Cukup lama mereka melakukan perjalanan. Mata Rava akhirnya bisa melihat kobaran api raksasa berwarna oranye di kejauhan. Bau sangit asap pun mulai bisa tercium oleh hidungnya. Bunyi sirene meraung-raung juga terdengar dari berbagai penjuru.     

Sudah berapa banyak orang yang mati? Rava tak bisa membayangkannya.     

"Tenang saja, dia tidak ada di kobaran api itu, kok," terang Piv, masih nangkring di pundak Lois. "Dia sedang menjauh untuk istirahat. Walaupun monster, tetapi pada dasarnya dia itu masih bayi. Dia butuh istirahat yang banyak."     

"Bayi kok bisa langsung mengamuk begitu?" desis Lois.     

"Ya, karena mereka kan monster hasil manipulasi, bukan monster natural dari alam. Insting mereka sudah dimanipulasi untuk langsung menyerang."     

"Masih bayi aja sudah begitu, apalagi kalau sudah gede?" Janu sedikit menggeleng-gelengkan kepala.     

"Maka dari itu, kita harus cepat, sebelum monster itu tumbuh makin besar. Pertumbuhan monster buatan yang baru lahir seperti itu biasanya memang sangatlah cepat."     

Lois mendesah panjang. "Menurutku, monster ini terlalu berlebihan untuk membasmi bidadari. Mengapa mereka menggunakan cara yang tidak efisien, bahkan sampai menimbulkan kebakaran besar seperti itu?"     

"Pihak atas juga berpikiran sama denganmu," tukas Piv.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.