aku, kamu, and sex

Menikahimu perempuanku.



Menikahimu perempuanku.

1"Selama ini Yola gadis yang kamu cintai." Ucap Silvia pelan.     

Ramond hanya diam tak menjawab apa yang dikatakan oleh Silvia, lalu terdengar isakan dari Silvia yang sudah menutup wajahnya dengan kedua tangan.     

Ramond mendekati Silvia lalu membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.     

"Maafkan aku, Kak. Maafkan aku." Ucap Silvia di sela-sela tangisannya di dalam pelukan Ramond.     

Ramond semakin memepererat pelukannya pada Silvia.     

"Kenapa minta maaf?" Tanya Ramond lembut sambil membelai rambut pirang Silvia.     

"Karen…karena aku dan ayahku, kau mengorbankan cintamu kak." Ucap Silvia sambil terus memeluk Ramond.     

"Bukan hanya aku, tapi bukankah kau juga? Kita lupakan segalanya, kita mulai awal yang baru, hanya kau dan aku."     

Silvia semakin terisak dan semakin memeluk Ramond dengan erat, lalu mengangguk kuat-kuat.     

"Iya kak."     

"Sudah, jangan menangis lagi, tenangkan dirimu, jangan membuat ayahmu mengkhawatirkan dirimu."     

"Kenapa harus seperti ini kak?"     

"Ini lah cara kita berbakti pada orang tua kita, Silvia. Jalani dengan ikhlas aku yakin kita bisa membangun kebahagiaan kita tanpa baying-bayang masa lalu kita."     

"Bisakah?"     

"Pasti bisa, bukankah tadi sudah membahasnya saat di perjalanan, kita akan memulai kebahagiaan kita, aku berjanji padamu tak akan ada perempuan lain selain kamu."     

"membuang rasa cinta itu tidak mudah, Kak."     

"Kita akan mencobanya perlahan. OK?"     

"Ya." Jawab Silvia dengan mengangguk. Lalu mengurai pelukan mereka. Ramond dengan sigap menghapus air mata di pipi Silvia menggunakan jemarinya.     

"Bagaimana keadaan Ayah?" Tanya Ramond sambil mengajak duduk Silvia di bangku tunggu.     

Silvia mengeleng, "Dia terlihat sangat lemah, aku tak pernah melihat dia selemah ini sebelumnya."     

"Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk Ayah."     

"Amiin." Silvia menyandarkan kepalanya di bahu Ramond sambil menyeka air matanya.     

Ramond memeluk pundak Silvia dan memberikan belaian di lengan gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.     

"Nanti malam kita menikah, semua sudah siapkan oleh Aughar, dan nenek Amanda sedang dalam perjalanan menuju kemari."     

Silvia kian menangis lalu Ramond kembali memeluk Silvia dengan sayang, Ia tahu apa yang dirasakan oleh Silvia. Gadis semuda Silvia harus merasakan beban yang berat seperti ini, orang tua satu-satunya berjuang untuk tetap hidup melawan penyakit kanker yang mengerogoti tubuh rentanya, dilain sisi Silvia juga harus melepaskan cintanya dan kehidupan masa mudanya untuk meneruskan segala usaha ayahnya walaupun perusahaan milik ayahnya telah di ambil alih oleh Ramond, namun usaha yang lain milik ayahnya tak mungkin Ramond juga yang mengurusi. Karena Ramond juga memiliki perusahaan sendiri yang di berikan oleh Ronald dan Matt untuknya.     

"Bismilah, Silvia." Ucap Ramond.     

Silvia mengangguk.     

"Ayo kita masuk, jangan membuat orang tua kita mengkhawatirkan kita." Ajak Ramond.     

Keduanya bangkit dari duduknya, berdiri sejenak untuk memberikan waktu pada Silvia menenagkan diri. Ramond membantu menghapus air mata yang terus saja menetes dipipi Silvia walaupun sudah mencoba untuk dia tahan.     

"Kak."     

"Percaya padaku."     

Silvia menarik nafas panjang lalu mengeratkan pegangannya pada lengan Ramond lalu masuk menemui ayahnya.     

"Ramond." Panggil ayah Silvia dengan suara lemah.     

Ramond mendekati ranjang ayah Silvia, sedangkan Silvia duduk di sofa bersama Molly, Matt berdiri menatap sahabatnya yang terlihat lemah disisi ranjang yang lain.     

Ramond duduk dikursi menghadap ayah Silvia, lalu memegang tangan yang terlihat tirus hanya terbungkus kulit tanpa adanya lemak yang menmpel di tangan itu.     

"Ramond."     

"Ya."     

"Jaga Silvia, dia tak punya siapun kecuali aku dan neneknya yang sudah tua itu." Dia menunjuk pada sosok renta yang baru saja tiba di ruangan itu dan sedang memeluk Silvia.     

"Percaya padaku, Om. Aku akan menjaga Silvia seumur hidupku." Ucap Ramond lalu mencium tangan tirus yang sedari tadi Ia gengam.     

"Terimakasih Ramond, Om percaya padamu kau bisa menjaga Silvia dengan baik."     

"Aku akan pastikan itu, Ramond tidak akan membuat Om salah memilih orang."     

"Nikahi Silvia sekarang, Ramond. Om sudah tidak kuat lagi."     

"Ya."     

Dibelakang Ramond Silvia menangis dalam dekapan neneknya, Molly dan Matt hanya mampu menahan air mata mereka melihat sahabat mereka yang untuk bernafas saja rasanya sudah hampir tak sanggup.     

"Silvia." Panggil sang ayah lemah.     

Mendengar panggilan dari ayahnya Silvia buru-buru menghapus air matanya dan menarik nafas panjang berusaha menetralkan kesedihan yang menghantam hatinya kini. Perlahan Ia berjalan mendekati ayahnya.     

"Ayah."     

Ramond menarik Silvia, lalu Ia dudukkan di pangkuannya.     

"Menikahlah dengan Ramond, sayang."     

Tak ada jawaban dari Silvia kecuali mengangguk.     

"Jangan menangis ayah akan selalu ada bersama kalian, dan mengawasi kalian dari sana." Ucap Ayah Silvia sambil menunjuk ke atas.     

"Matt, panggilkan seseorang untuk menjadi saksi mereka."     

Matt menghapus air di sudut matanya, mengganguk lalu keluar ruangan mencari dokter yang juga sahabatnya.     

Dua orang dokter dokter datang bersama Matt, lalu disusul Aughar yang berlari dibelakang mereka. Aughar adalah asisten ayah Silvia yang sejak dulu mengabdikan hidupnya pada ayah Silvia hingga kini kekuasaannya berpindah pada Ramond.     

Semua yang dibutuhkan telah berkumpul di ruangan itu, lalu Ayah Silvia menjabat tangan Ramond dan menikahkan Silvia dengan Ramond dihadapan saksi dan keluarga inti.     

Silvia menangis tersedu dipelukan Ramond yang sedang mengucapkan ijab Qabul.     

Sedetik setelah saksi mengucapkan kalimat "Sah" tangan yang dipegang Ramond melemah, dokter yang menjadi saksi dipernikahan mereka dengan sigap memeriksa keadaan ayah Silvia.     

Tangisan Silvia semakin menjadi dalam pelukan Ramond saat melihat dokter mengeleng pada Matt dan Ramond.     

Nenek Amanda terduduk sedih melihat anak satu-satunya menghembuskan nafas terakhir, Molly memeluk tubuh renta itu dengan deraian air mata mengiringi isakan nenek Amanda.     

"Aughar, persiapkan untuk pemakaman."     

"Baik Tuan."     

Dengan kesedihan yang menderanya Aughar berjalan keluar dari ruang rawat inap, lalu berganti masuk Scoot sahabat Matt dan ayah Silvia.     

"Matt, bagaimana dengan__"     

Scoot tercekat dan tak mampu melanjutkan kata-katanya saat kain putih itu ditarik keatas oleh dokter menutup seluruh wajah ayah Silvia.     

"Dia sudah pergi, Scoot. Sahabat kita sudah pergi."     

Scoot menyandarkan tubuhnya kedinding, lalu melihat Silvia yang menangis tersedu di dalam pelukan Ramond.     

"Semoga kau tenang disana, kawan." Ucap Scoot setelah mengatur nafasnya dan membuka kain penutup yang menutupi wajah sahabat mereka.     

Setelah semua keperluan pemakaman selesai diurus, kini mereka membawa jenazah ayah Silvia menuju ke pemakaman keluarga setelah sebelumnya dibawa pulang ke rumahnya terlebih dahulu.     

"Semoga kau bahagia disana karena bertemu dengan Ibu, ayah." Ucap Silvia disisi makam ayahnya. Ramond dengan setia mendampingi Silvia yang belum mau beranjak dari sisi makam ayahnya, walau keluarga yang lain telah pulang terlebih dahulu.     

"Ayo kita pulang, Silvia."     

"Aku masih ingin disini kak."     

"Jangan memberatkan jalan ayahmu. Ayo kita pulang."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.