Dua minggu lagi
Dua minggu lagi
Duduk dikursi kerja sang tunangan saat sang empunya sedang memeriksa pasien, sambil melihat-lihat apa saja yang ada di meja kerja tunangannya itu.
"Harusnya kemarin kita langsung nikah aja sih, kenapa mesti Cuma lamaran aja." Gerutu Rey saat melihat foto mereka berdua sesaat setelah acara lamaran, yang sengaja diletakkan di meja kerjanya oleh Humaira.
"Bagaimana aku bisa segila ini Humaira, kau begitu pendiam, lembut dan cerdas, hanya laki-laki bodoh yang ga jatuh cinta sama kamu, dan aku tak ingin menjadi bagian dari bagian laki-laki bodoh itu, karena itulah aku melamarmu, semoga kita akan selalu bersama dalam cinta dan ridho-Nya."
"Amiin." Rey mendongak karena mendengar suara yang ia rindukan, kemudian ia tersenyum melihat Humaira masuk ke dalam ruangan.
"Sudah lama, Rey?" Tanya Humaira duduk di kursi depan Rey.
"Ya lumayan."
"Jadi, ada apa nih, tiba-tiba saja datang ke rumah sakit."
"Kangen."
"Astaghfirullah."
"Serius, kenapa kita ga mempercepat rencana pernikahan kita aja sih, Ra? Aku juga akan tetap mengijinkan kamu untuk beraktifitas dan menyelesaikan studi spesialis kamu kok." Rajuk Rey dan Humaira hanya tersenyum.
"Ya sudah mau kapan?" Tantang Humaira, yang membuat Rey tersenyum lebar mendengarnya.
"Kalau besok gimana?" Ucap Rey menggoda Humaira.
"Kenapa ga sekarang aja sekalian." Ucap Humaira sambil terkekeh, bisa-bisanya Rey mengajak nikah besok, memangnya menikah tak membutuhkan persiapan, Haduh. Sabar rey Sabar.
"Tinggal dua minggu lagi rey,"
"Dua minggu itu lama, Ra."
Humaira terkekeh dan hanya geleng-geleng kepala.
"Ayo kita beli cincin nikah kita." Ajak Rey pada Humaira.
"Ayahmu sudah membelikannya untukku, bersama perhiasan lainnya, yang waktu itu dikirimkan langsung ke rumah."
"Itu peninggalan Bunda. Aku ingin beli sendiri dari uang aku, Ra." Ucap Rey sendu karena teringat bundanya yang tak pernah ia lihat dari ia masih bayi.
"Maaf Rey, jadi mengingatkanmu sama bunda." Ucap Humaira menatap lembut pada Rey.
"Tidak apa-apa, aku tidak punya kenangan sedikitpun bersama bunda, sejak bayi aku hanya tahu mama dan papalah orang tuaku, hingga ketika dewasa aku diberi oleh papa, tapi aku tak pernah berhenti untuk menyayangi mereka, dan begitupula mereka, seperti yang kamu lihat bagaimana mereka menyayangiku dan sekarang malah ditambah kak Ronald."
"Iya, mama dan papa adalah orang yang luar biasa, pantas saja kau menjadi seperti ini, karena kau dididik oleh perempuan yang luar biasa."
"Seperti apa?"
"Penyayang, pemaaf, cerdas, bijak, dan Jahil."
"Kenapa mesti ada kata yang terakhir sih, Ra?"
"Ira hanya mengatakan yang sebenarnya Rey."
"Oke, tunggu saja kejahilanku."
"Aku sudah sering kamu jahili."
"Aku mencintaimu, Humaira."
Humaira terdiam, mendengar ungkapan cinta yang tiba-tiba dari mulut Rey. Hatinya berdebar menjadi tak menentu. Namun bibirnya melengkung ke atas menandakan kebahagiaan yang luar biasa, calon suaminya mengucapkan cinta padanya.
"Tanpa kamu berucap pun aku tahu kamu mencintaiku, Rey. Semoga aku bisa menjadi istri yang baik dan sholihah."
"Amiin."
"Ayok berangkat, katanya mau beli cincin, siap-siap aku habisin uang kamu." Ucap Humaira sambil mengantungkan jas dokternya, dan mengambil tas didekat Rey duduk.
"Pasti mama yang ngajarin kamu deh."
"Berburuk sangka sama orang tua sendiri dosanya tambah gede lho." Ucap Humaira sambil menutup ruang kerjanya, kemudian melangkah berdampingan dengan Rey menyusuri koridor rumah sakit.
"Rey, bukannya itu Fakhrul?" Tanya Humaira sambil mengarahkan tatapannya di sebuah taman rumah sakit.
"Iya, apa mereka belum pulang?" Tanya Rey yang mengira jika Pak Syarif sudah pulang dari rumah sakit ini.
"Masih proses pemulihan, jadi dokter melarang mereka untuk pulang dulu."
"Oh begitu, apa kamu tak keberatan jika aku menemui Fakhrul dulu sebentar?"
"Oke, aku akan menunggu, sekalian meminta berkas laporan di kantor administrasi."
"Baiklah, nanti aku menyusulmu ke kantor administrasi jika sudah selesai."
"Baiklah."
Humaira masuk ke sebuah lorong yang membawanya ke sebuah kantor administrasi rumah sakit, sedangkan Rey langsung menghampiri sahabatnya.
"Assalamualaikum." Sapa rey pada Fakhrul.
"Waalaikumsalam." Fakhrul menoleh dan menemukan sahabat lamanya berdiri di belakangnya.
"Apa kabar Rey?"
"Alhamdulilah baik, kamu gimana?"
"Alhamdulilah, aku juga baik."
"Gimana kondisi Om kamu?"
"Alhamdulilah sangat baik, terimakasih atas bantuanmu, merekomendasikan dokter ahli jantung yang hebat untuk omku."
"Aku hanya melakukan yang terbaik dan semampuku untuk sahabatku."
"Hanya untuk sahabatmu ini? Tidak untuk yang lain?" Fakhrul memancing Rey untuk mencari tahu bagaimana perasaan Rey pada Farida.
"Ya, untuk Farida juga, aku ga mau dia bersedih karena kondisi ayahnya."
"Kamu masih mencintainya?"
Rey menarik nafas panjang, kemudian menjawab. "Farida akan tetap menjadi bagian dari kisah cintaku yang tak kan pernah hilang, namun sejujurnya kini aku sudah mempunyai perempuan lain, dua minggu lagi kami akan menikah, aku mencintai gadis itu." Ucap Rey sambil menoleh pada sahabatnya.
"Dokter Humairakah gadis beruntung itu?"
"Bagaimana kamu bisa tahu?" Tanya Rey sambil mengerutkan dahi.
"Tak sengaja mendengar dokter Humaira menyebut namamu ketika sedang menerima telpon darimu, dan lsekarang sudah lebih jelas lagi karena kau sendiri yang mengatakannya."
"Maafkan aku, Fakhrul."
"Untuk apa kamu minta maaf, Rey? Semua ini sudah takdir, aku tahu Farida masih mencintaimu, tapi memang kalian tidak berjodoh lalu mau bagaimana lagi."
"Ya, kalau tak keberatan datanglah ke pernikahanku, kan ku kirim undangan padamu."
"Inshaalah jika tidak ada halangan aku pasti datang, apa kau akan mengundang sahabat-sahabat kita yang lain, dan juga Farida tentunya?"
"Inshaallah aku akan mengundang mereka."
"Oya, Rey apa kabar Jelita, aku tak pernah melihatnya, biasanya dia akan kesini."
"Ya, Jelita sekarang tinggal di luar negeri di negara A, karena suaminya sedang menjalani pengobatan disana, dan dia juga sedang hamil."
"Oya, Alhamdulilah kalau gitu, tadi kamu bilang pengobatan suaminya? Suami Jelita sakit apa?"
"Sakit leukemia, tapi masih ada kemungkinan untuk sembuh, kami sedang mengupayakan pencangkokan sum-sum tulang belakang, semoga saja berhasil."
"Amiin, semoga dia selalu bahagia."
"Apa kamu tak mau menikah juga, Fakhrul?"
Fakhrul terkekeh, "Ya maulah, hanya saja belum ada yang sreg, ada satu yang sreg udah jadi istri orang, ya sudahlah, mau gimana lagi."
Rey tertawa kecil, "Semangat cari calon istri, masih banyak yang lebih baik dari adikku diluar sana, Fakhrul."
"Yang lebih baik banyak, tapi yang sama seperti adikmu yang tidak ada."
Rey dan Fakhrul kini sama-sama tertawa, memang jodoh ditangan Allah, manusia hanya berusaha dan berencana, dan semua akan terjadi dengan kuasa dan kehendaknya.