Bab 235 \"INGATAN MASA LALU\"
Bab 235 \"INGATAN MASA LALU\"
Tubuh Qia yang hanya terdiam dengan darah di tubuhnya itu segara di larikan ke ruanh UGD. Tubuh Raka penuh darah, begitu pun dengan Kenan karena tadi ia yang mengangkat tubuh Qia ke brankar mobil ambulan. Saat ini Kenan dan Raka sama - sama khawatir. Carla ingin bertannya pada Kenan atau pun Raka tetapo melihat keduanya yang raut wajahnya tidak tenang pun akhirnya memilih untuk diam saja.
"Duduklah kalian berdua, karena pasti akan memakam waktu yang lama untuk dokter menanganinya," ucap Carla menatap Kenan dan Raka bergantian.
Raka dan Kenan tidak mendengarkan, mereka berdua tetap berdiri bahkan mereka beberapa kali mondar mandir. Carla pun hanya mampu menghela napasnya melihat mereka berdua. Seharuanya mereka semua bisa lebih tenang dan berharap tidak terjadi sesuatu yang parah pada Qia. Kurang lebih dua jam Qia berada di dalam. Dokter pun keluar dari ruang UGD. Raka dan Kenan segera menghampiri dokter. Begitu pula Carla yang kini berjalan menghampiri dokter.
"Bagaimana keadaan istri saya dok?" "Bagaimana keadannya, dok?" pertanyaan yang hampir sama di lontarkan Kenan dan Raka bersamaan Kenan dan Raka pun saling memandang. Dokter menatap Raka dan Kenan bergantian.
"Dokter, kenapa diam? bagaiamana kondisi istri saya?" tanya Kenan menuntut.
"Istri anda mengalami pendarahan dan kakakinya mengalami keretakan," ucap dokter kemudian menghembuskan napasnya dengan berat.
"Kami juga minta maaf pada bapak, karena tidak bisa menyelamat kandungan Ibu Ananta. Benturan yang cukup keras membuatr ibu Ananta mengalami pendarahan dan kandungannya tidak bisa kami selamatkan," ucap dokter dengan nada suara prihatinnya.
"Maksud dokter apa?" tanya Kenan dan Raka berbarengan. Kenan dan Raka kembali bertatapan hingga Carla mengalihkan tatapan mereka untuk kembali menatap ke dokter.
"Maksud dokter menantu saya keguguran?" tanya Carla.
"Iya bu," jawab dokter singkat.
"Keguguran? Maksudnya istri saya sedang hamil tetapi dia keguguran?" tanya Kenan dengan wajah seriusna sedangkan Raka hanya terdiam mendengar QIa yang ternyata sedang mengandung.
"Apa bapak tidak tahu, jika istri bapak sedang hamil?" tanya dokter.
Kenan hanya menggelengkan kepalanya dengan tatapan matanya yang sulit di jelaskan. Ia masih bingung dan tidak percaya jika Qia sedang mengandung. "Istri bapak sedang mengandung, kandungannya masih muda sehingga kami tidak bisa mempertahankannya karena pendarahan yang cukup banyak."
Kenan hanya mampu terdiam begitu pula dengan Raka. "Lantas keadaan menantu saya apa saat ini sudah membaik dok?" tanya Carla.
"Pendarahannya sudah berhenti tetapi kondisi ibu Ananta masih belum melewati masa kritisnya. Kita harus menunggu dua puluh empat jam untuk melihat perkembangannya. Untuk sementara keluarga belum di ijinkan untuk menjenguk ibu Ananta," ucap dokter menatap Carla.
"Kalau begitu saya permisi dulu," ucap dokter berpamitan.
Setelah dokter pergi Kenan langsung mendudukkan dirinya di lantai. "Apa yang di katakana dokter enggak bener kan, ma?" tanya Kenan seraya mendongakkan kepalanya menatap Carla yang kini sudah berjongkok di samping Kenan yang raut wajahnya susah di jelaskan. Raka hanya diam menatap Kenan yang raut wajahnya tidak bisa di jelaskan.Raut wajahnya terlihat tidak percaya sedih menjadi satu.
Ingatan Raka tib – tiba di tari ke beberapa jam lalu ketika ia memangku kepala Qia yang berlumuran darah. Tatapan mata Qia yang teramat sedih, bahkan ia sampai menitikan air matanya. Qia menangis mungkin karena ia tahu jika ia akan kehilangan calon bayinya. Raka melangkah mundur kemudian membalikkan tubuhnya. Ia tidak bisa di sini terus – terusan di sana. Ia merasa bersalah apalagi Qia sampai harus keguguran. Apa yang akan terjadi jika Qia tahu ia mengalami keguguran.
Raka terus melangkahkan kakinya ke luar dari rumah sakit, tidak mempedulikan darah yang mengotori pakaian serata tubuhnya. Ia sama sekali tidak mencuci tangannya yang penuh darah Qia yang sudah kering. Bukan hanya Raka yang tidak membersihkan darah yang mengotori pakaiannya melainkan Kenan juga. Raka berjalan ke mobilnya karena tadi ia tidak ikut naik mobil ambulance.
Kenan saat ini sedang berada di dalam pelukan Carla. Walau Kenan tidak menangis tetapi Carla merasakan jika putranya saat ini membutuhkan pelukan. Ia memang ibu yang jahat karena tidak mengurus anaknya dengan baik, tetapi ia tetaplah seorang ibu yang masih ada sedikit sisi keibuannya. Tangan Carla bergerak menepuk – nepil punggung Kenan . Posisinya saat ini berdiri dengan lututnya dan membawa Kenan ke dalam pelukannya. Kenan sama sekali tidak menolak, ia hanya diam saja di dalam pelukan mamanya. Kepalanya berada di dada Carla, ia hanya diam saja tidak berkata apapun.
Raka kini sudah menjalankan mobilnya meninggalkan area rumah sakit. Ia melajukan mobilnya dengan perasaan yang tidak bisa di jelaskan. Ia terus melajukan mobilnya entah kemana ia pun mengendarai mobilnya tidak fokus. Ia mengerem mendadak, untunglah jalan yang ia lewati itu sepi. Raks mencengkram kuat stir mobilnya kemudian ia pun menyandarkan keningnya di stir mobil. "Apa yang udah gua lakuin? Gua udah buat orang celaka dan membunuh makhluk kecil yang bahkan belum sempat melihat dunia," ucap Raka kemudian ia memukul stir mobil dengan keras.
Air mata sudah membasahi wajah Raka, entah mengapa ia tidak bisa melihat Qia seperti ini. Ia benra – benar merasa bersalah dengan apa yang terjadi dengan Qia. Matanya kini menatap lurus ke depan, ia melihat nama sebuah jalan yang membuatnya kini mengernyitkan dahinya. Nama jalan gang yang bisa di lintasi dengan mobil. Ia pun menjalankan mobilnya masuk ke gang itu dan melaju semakin masuk hingga ia berhenti di dekat rumah berpagar putih dan bangunan rumah bercat hijau muda itu. Rumah yang nuansanya sudah berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Rumah yang sedang ia lihat itu adalah rumah yang dulu ia dan keluarganya tempati sebelum mereka pindah ke Jerman dan menetap di sana. Di sebelah rumahnya ada seorang anak ke luar dari gerbang seraya membawa tas dan sepedah kecilnya. Raka tersenyum karena anak itu begitu imut dan mengemaskan. "Dek, tunggu abang!" teriak anak laki – laki yang sepertinya sudah sekolah dasar itu umurnya sekitar delapan sampai sepuluh tahun.
"Ayo bang, buruan," ucap anak kecil itu dengan suara anak kecilnya yan begitu imut.
Tiba – tiba ingatan Raka di tarik ke beberapa tahun lalu sebelum ia pindah ke Jerman. Seorang anak kecil perempuan dengan gigi gigisnya dan rambutnya yang di kuncir dua itu sedang tersenyum menatap Raka kecil. "Ada apa?" tanya Raka ketus.
Gadis kecil itu menekuk bibirnya mendengar kata ketus Raka. "Ih, ganteng – ganteng kok galak sih, kak? Tata kesini di suruh mama untuk anterin kue, karena kita baru pindah ke sini" ucap Tata si gadis kecil itu serya menyodorkan kue yang ia pegang.
"Ta, buruan!" teriak seorang anak laki – laki yang menunggu di luar gerbang.
"Kak, ini ambil," ucap Tata membuat Raka kini melihat ke arah Tata. Raka menatap kue yang di bawa Tata, kemudian menatap Tata yang masih tersenyum.
Raka pun mengambil kue yang di berikan Tata. "Tata pulang ya, assalamualaikum."
"Wa alaikum salam," jawab Raka kemudian Tata langsung berlari ke gerbang. Ia sempat terjatuh ketika berlari, tetapi langsung bangun tidak menangis sama sekali. Raka bisa melihat anak laki – laki yang tadi memanggil Tata langsung berjongkok dan Tata pun naik ke punggung anak lelaki itu. Rala kemudian masuk ke rumah dan memberikakn kue tadi pada ibunya.
Pagi pun tiba, Raka berangkat sekolah sendiri tidak di temani siapapun. Baru juga ia sampai di depan pintu gerbang suara rebut – rebut di depannya kini yang menyapa paginya. Seorang gadis kecil yang rambutnya di kuncir dua dengan bando berwarna merah itu kini sedang bertengkar dengan seorang anak laki – laki. Anak laki – laki itu mengambil tas gadis kecil itu dan tidak mau memberikanya. "Kak Nat – Nat, sapi ompong. Bawa sini tas Tata!" teriak gadis kecil itu membuat Raka mengernyitkan dahinya. Nama gadis kecil itu Tata, apa dia tidak salah mendengarnya.
Raka yang tidak suka dengan kejahilan anak laki – laki itu pada perempuan, ia pun membantu si gadis kecil mendapatkan tasnya. "Makasih," ucap Tata menerima tasnya seraya tersenyum manis.
"Loh, kakak ganteng?" tanya Tata dengan wajah terkejutnya.
"Gantengan aku kali Ta," ucap anak laki – laki yang tadi menjahili Tata.
"Pret! Ganteng kayak pantat bebek, maksudnya?" tanya Tata dengan nada meledek.
"Ye… itu mah kamu," ucap si anak laki –laki yang tidak lain adalah kakanya Tata yang sering sekali di panggil kak Nat – Nat oleh Tata.
"Kakak sekolah di sini?" tanya Tata dengan wajah senangnya tanpa peduli dengan kakanya yang sudah berwajah masam.
"Iya," jawab Raka singkat.
"Ta, ayo ke kelas," ajak Nat – Nat pada Tata.
"Ayo," jawab Tata dan langsung menerima uluran tangan kakaknya itu. Rala mengernyitkan dahinya melihat Tata yang tadi terlihat tidak suka dengan anak laki – laki itu, kini tangannya dengan santai meraih tangan anak laki –laki itu. Raka tidak mau terlalu mamikirkannya, ia pun segera melangkahkan kakinya masuk ke dalam dan pergi ke ruang kelasnya.
Waktu makan siang tiba, Raka keluar dari kelas dan akan pergi ke kantin. Namun, siapa sangja jika ia tertabrak oleh seseorang membuatnya jatuh terduduk begitupun orang yang mengejarnya. Si gadis kecil dengan rambut yang di kuncir kuda itu kini sedang mengusap bokongnya yang sakit karena terjatuh dan Raka hanya mampu menghela napasnya karena kembali bertemu dengan Tata yang menurutny hanya bisa mengacau.
TBC..