Terpesona
Terpesona
Semangatnya masih begitu membara ketika dia berjalan dari rumah dinasnya menuju ke sebuah puskesmas yang hanya berjarak beberapa meter saja.
"Dokter wangi sekali! " tetiba muncul nita dari arah belakangnya berusaha untuk menyusul langkah axel, "dokter rapi sekali! " dia mengomentari penampilan axel di hari pertamanya bekerja.
"Karena hari pertama pantas saja dokter masih semangat " dia terus mengoceh di hadapan axel sekarang ini, membuat telinga nya memanas dan kesakitan karena ocehannya.
"Terima kasih " axel hanya berucap seperti itu agar membuat nita tidak lagi mengatakan sesuatu tentang penampilannya.
Di berikan ucapan terima kasih seperti itu justru membuat nita semakin menjadi-jadi.
"Dokter, aku juga dulu pertama ke tempat ini sama seperti dokter " ucapnya lagi, "aku berdandan cantik dan memakai wewangian, dengan seragam lengkap atributnya "
"Tapi setelah beberapa bulan, menyaksikan ke bar-baran pemuda sekitar sini membuat aku lebih suka untuk menjelekkan diri! " sambung nita dengan riak wajah serius ketika dia menceritakan tentang dirinya pada axel tanpa di minta sedikitpun untuk bercerita.
Axel tersenyum kecut, "iya benar, sekarang jelek! "
Dia berkata bohong pada nita, agar supaya wanita itu berhenti bicara. Wanita itu hanya terlalu insecure saja pada dirinya sendiri, mengatakan dirinya jelek. Padahal axel melihat sebuah kecantikan dari wajahnya, tetapi karena dia terlalu bawel membuat axel pusing menanggapinya.
"Apa disini selalu hadir kepala puskesmas nya? " lalu axel bertanya pada nita tentang seseorang yang akan di temuinya pagi ini.
"Nanti dokter jam sembilan pasti datang " jawab nita dengan senyumannya, dia menemani perjalanan axel menuju ke puskesmas.
"Ternyata perempuan disini lebih cantik dari kamu! " lalu axel membandingkan penampilan nita dengan sekumpulan anak muda yang berada di hadapannya melihat axel yang sedang berjalan menuju ke puskesmas.
Mereka terlihat berkumpul dengan masing-masing orang membawa ember dan handuk. Kulit mereka kuning langsat alami, walaupun tidak memakai riasan mereka sudah terlihat cantik.
Nita terbelalak kesal karena dibandingkan dengan sekumpulan gadis desa, dia yang lulusan perguruan tinggi di kota harus kalah telak dengan mereka yang masih muda, segar dan cantik alami.
Semua gadis yang berkumpul itu terlihat saling berbisik satu sama lain sambil melihat ke arah axel yang sedang berjalan bersama dengan nita. Bahkan salah satu dari mereka yang sepertinya terpesona dengan penampilan axel tidak menyadari bahwa di belakang itu terdapat parit, dia terlalu salah tingkah ketika axel tebar pesona dengan senyuman mautnya. Gadis malang itu terjerumus ke dalam parit karena silau pada kedua matanya ketika melihat senyuman axel.
"Anak gadis yang malang " ucap nita pelan yang mencoba menahan tawanya melihat korban pertama yang gugur karena melihat laki-laki tampan untuk pertama kalinya.
Ketika mereka sampai di puskesmas, nita segera mengambil tas miliknya dan sebuah termos es di tangannya.
"Kamu mau jualan es? " axel menertawakan nita yang berpenampilan seperti seorang anak yang akan pergi sekolah dengan membawa dagangannya.
"Hish!! " nita menggumam kesal, dia lagi-lagi mendapatkan perlakuan tidak adil dari rekan sejawatnya.
Lalu berjalan mendekat ke arah axel dan membuka isi termosnya, "ini vaksin dokter! " dia bicara dengan nada ketus.
"Karena wilayahnya jauh dan tidak mungkin saya membawa kulkas supaya vaksinnya tetap baik! " nita memberikan penjelasan tentang termos es yang dia bawa.
"Iya, maaf " axel menertawakan nita yang memarahinya, ini pertama kalinya dia harus melihat cara tradisional yang dilakukan oleh bidan desa agar supaya vaksin yang mereka bawa berada di suhu yang sesuai.
Rupanya hari ini nita memiliki jadwal posyandu, karena dia adalah bidan paling muda di puskesmas pembantu di desa yang terpencil ini membuatnya harus mau menerima kenyataan bahwa dia mendapatkan tempat yang paling jauh dengan jalan yang mengkhawatirkan menuju ke sebuah desa cakupannya.
"Aku ikut! " axel lalu menyusul langkah nita yang sudah lebih dulu berjalan menuju ke depan puskesmas.
Dia sudah bersiap dengan sepatu boots dan helmnya, sepertinya karena jauh dia harus memakai motor yang sudah di sediakan oleh pihak puskesmas.
"Aku mau lihat seperti apa posyandu yang kamu kerjakan " axel dengan cepat mengambil alih motor yang akan dipakai nita.
"Ayo naik " dia lalu memerintahkan pada nita untuk naik ke atas motor yang akan di kendarainya.
Nita menaikkan kedua alisnya melihat axel yang selalu mengajaknya berperang, dan melirik ke arah sepatu yang di pakai oleh axel. Pikirnya pastilah sepatu yang begitu bagus itu harganya mahal dan sangat di sayangkan jika axel memakainya ke desa yang akan dikunjunginya sekarang ini.
"Dokter pakai sepatu boots ini! " dia lalu menyodorkan sepasang sepatu boots berwarna kuning itu.
"Kenapa harus pakai itu " axel menolaknya dia tidak mau memakai sepatu yang di ketahuinya hanya di pakai di ruang operasi.
"Kalau tidak mau turun sekarang juga! " cetus nita dengan nada tinggi, lalu melihat ke arah jam di tangannya. Karena sepertinya axel sudah membuat waktunya terbuang dengan percuma, mengingat desa yang akan dia kunjungi sekarang itu jaraknya sangat jauh.
"Iya, aku pakai! " axel turun dari motornya dan lalu mengganti sepatunya dengan boots yang nita berikan padanya.
"Kenapa kamu lebih galak dari aku! " axel menggerutu seperti seorang anak kecil yang kena marah ibunya, "padahal kan dokter disini itu aku! "
Nita tertawa kesal, "mau ikut tidak? " lalu dia memberikan sebuah pilihan pada axel.
"Iya, iya " ucap axel dengan cepat memakai sepatu boots miliknya.
Dan lalu setelah itu mereka berangkat dengan memakai motor menuju ke desa yang nita katakan adalah desa antah berantah yang kemungkinan tidak ada di peta.
Axel menertawakannya di sepanjang perjalanan, karena menganggap nita terlalu berlebihan mengatakan sesuatu hal tentang desa tersebut.
"Kenapa kita berhenti disini? " axel terheran ketika nita memintanya untuk berhenti di sebuah ujung jalan dengan sebuah jalan setapak di depan mereka.
"Kita tidak bisa naik motor kesana dokter " ucap nita, "karena harus melewati rawa-rawa "
Axel semakin bingung sekaligus tertantang mendengar semua yang dikatakan oleh nita.
Dia melihat wanita cerewet dan lucu itu berjalan lebih dulu di depannya dengan penuh keberanian, masuk ke dalam sebuah jalan setapak dan meninggalkan motor yang mereka pakai tadi di sebuah lapangan kosong.
"Setiap bulan kamu ke tempat ini? " axel lalu bertanya pada nita ketika mereka berada di tengah perjalanan.
"Iya " jawab nita pendek.
Sejak dia masuk ke dalam area jalan setapak tadi nita mendadak menjadi pendiam dan itu sangat aneh baginya.
"Kenapa tidak di perbaiki jalan ke desa ini? " ketika axel kembali bertanya pada nita, wanita itu seketika menoleh ke arah axel dengan kedua matanya yang menatap tajam padanya.
Axel tidak dapat melihat seperti apa wajah kesalnya karena dia selalu menggunakan masker ketika keluar dari area puskesmas, tidak seperti rekannya yang lain.
"Dokter axel " nita memanggilnya dan menghentikan langkahnya, "kita akan menghadapi perjalanan yang panjang, kalau dokter terus bertanya seperti itu nanti kehabisan tenaga karena berjalan jauh sambil terus bicara! "
Axel tertegun karena dia lagi-lagi dimarahi olehnya karena kembali berbuat kesalahan. Lalu dia mengangkat kedua tangannya setinggi kepalanya yang menyatakan bahwa dia tidak akan mengatakan apapun lagi setelah ini.
Dia hanya mengikuti setiap langkah nita yang sepertinya sudah sangat mengenal daerah ini, di sepanjang perjalanan dia hanya melihat sebuaj pohon yang tidak dia ketahui namanya menjulang tinggi. Dan mereka harus melewati sebuah jalanan becek setinggi betis nya.
'Jadi ini alasan dia menyuruhku menggunakan sepatu boots ' ucap axel dalam hatinya ketika mereka memasuki area berlumpur.
"Dokter mau pegangan tidak? " lalu nita bertanya pada axel seraya mengulurkan satu tangannya ke arah axel, "karena kalau tiba-tiba lumpurnya menghisap dokter, aku sudah bersiap-siap " dia berkata itu dengan wajah datarnya pada axel.
Axel memperlihatkan senyuman mirngnya menanggapi perkataan nita yang menakutinya yang sama sekali tidak lucu menurutnya.
Akhirnya dia menurut saja berpegangan pada tangan nita karena dia yang tahu persis medan yang mereka lalui kali ini.
"Tenang saja, dok. Cuma pegangan tangan tidak mungkin jadi jatuh cinta! " ucap nita dengan candaan pada axel.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan, melewati tanah lumpur dengan jarak yang sangat jauh. Axel sama sekali tidak mengerti wanita yang bertubuh mungil itu ternyata memiliki kekuatan dan keberanian yang sangat besar. Dia saja yang adalah laki-laki tidak bisa menahan rasa lelahnya sekarang ini.
'Akhirnya lewat juga! ' axel menarik nafasnya dengan lega ketika mereka naik ke sebuah tempat yang lebih tinggi dari lumpur yang dilewatinya tadi.
"Apa ini!!! " axel dengan spontan berteriak ketika dia sampai di tempat yang kering sepatu bootsnya di penuhi oleh hewan-hewan kecil berwarna hitam.
Dia memperlihatkan ketakutannya di depan nita, yang berbalik ke arahnya. Dan melihat hewan yang axel takuti itu.
"Ini lintah dokter " ucap nita seraya mengambil sesuatu dari dalam ranselnya.
"Ini berbahaya tahu! " axel kesal ketika nita yang menanggapinya dengan wajah biasa saja seolah itu adalah hal kecil dan tidak menjadi masalah besar buatnya.
"Kamu mau masak? " axel kembali bicara dengan nada ketus ketika melihat nita justru hanya mengeluarkan sebungkus garam.
"Kalau tidak tahu jangan marah-marah " gumam nita dengan wajah sinisnya, membuka bungkusannya dan menaburkan garam di hewan lintah yang menempel di sepatu boots axel.
Dia seperti melihat sebuah keajaiban terbaru yang dibuat oleh nita. Hanya dengan menaburkan garam lintah-lintah itu lepas dari sepatu bootsnya.
Wanita itu ternyata memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas dari axel, membuatnya sangat malu melihat tindakan nya yang begitu cekata. Dan seketika axel mengingat sosok ibunya.
Dua wanita bernama sama berbeda karakter tetapi sepertinya axel melihat sebuah kemampuan yang sama seperti ibunya yang bekerja di rumah sakit...