Part 62 ~ Kunker Bara ( 3 )
Part 62 ~ Kunker Bara ( 3 )
Seseorang pria setengah baya menyerobot antrian seraya memberikan slip penarikan dan buku tabungan pada seorang teller yang sedang melayani nasabah.
"Tolong bantu tarik, saya buru-buru mau ke Jakarta," jawabnya sombong. Tanpa peduli dengan tatapan tajam para nasabah yang menunggu, merasa punya kekuasaan ia bertindak semaunya.
Satpam mendekati sang pria, dengan ramah memberikan nomor antrian.
"Mohon maaf Bapak ini nomor antriannya. Silakan menunggu," kata Satpam ramah seraya menunjukkan kursi tunggu.
"Saya ini buru-buru. Pesawat saya jam 9 mau berangkat," balasnya arogan dengan nada tinggi.
"Mohon maaf sebelumnya Bapak, jika Bapak buru-buru kebetulan ATM di depan sedang kosong. Silakan ambil via ATM saja."
"Saya tidak punya ATM makanya tarik di teller."
"Jika Bapak mau tarik di teller silakan menunggu antrian."
Pria tua naik darah, seraya melonggarkan dasinya ia melemparkan buku tabungan pada satpam.
"Beraninya kamu perintah saya? Kamu tidak tahu siapa saya?" Balasnya sengit menunjukkan kesombongan.
Satpam dengan cekatan mengambil buku tabungan si pria tua dan memberikannya. Dengan gaya arogan ia menepis buku tabungan yang diberikan satpam.
"Kamu berani sama saya? Kamu enggak tahu jika saya anggota DPR?"
Para nasabah yang sedari antri menatap sang lelaki tua dengan tatapan jijik dan menghina. Sombongnya kebangetan dan mentang-mentang seorang anggota DPR boleh menyerobot antrian seenaknya. Pejabat macam apa itu?
"Pak tenang dulu," kata satpam masih bersikap ramah.
"Duduk dulu. Malu kita ribut-ribut disini. Semua bisa diselesaikan dengan baik-baik."
Pria tua mendorong satpam dengan kasar. Ia menatap satpam dengan tatapan mencibir. Mengisyaratkan jika derajatnya lebih tinggi dari satpam dan mereka tak selevel.
"Kamu siapa berani perintah saya?" Hardiknya merendahkan si satpam.
"Katanya anggota dewan tapi enggak ada etika," kata seorang nenek mengomentari kelakuan sang anggota dewan.
"Enggak tahu malu. Udah enggak antri malah cari keributan. Katanya pejabat publik mental kayak gini," sindir seorang ibu-ibu.
"Gimana mau meneruskan aspirasi rakyat. Enggak ada akhlak," lanjut seorang gadis muda.
"Tandai aja genk. Besok enggak usah pilih caleg macam Bapak ini," teriak seorang lelaki muda dengan gaya slengekan.
Komentar dari para nasabah yang mengantri memancing kemarahan sang anggota DPR.
"Berani-beraninya kalian menghina saya? Mau saya pidanakan?" kata sang anggota DPR.
Semua nasabah menatap sang anggota DPR dengan tatapan jijik dan merendahkan. Tak ada yang mengacuhkan sang anggota DPR, nasabah sibuk berselancar dengan smartphone mereka seraya menuggu panggilan dari teller atau CS.
"Pak mari ke ruangan," kata Dila tiba-tiba datang menegur sang anggota DPR.
Dila sedari tadi sudah memperhatikan keributan dari dalam. Dila awalnya diam saja menyaksikan, sekaligus ingin melihat sikap satpam kantor bagaiman melayani nasabah yang menyerobot antrian dan sikap melayani nasabah yang marah-marah. Satpamnya lolos ujian dan menjalankan tugas sesuai SOP. Tetap ramah dan sopan walau dimaki oleh nasabah.
"Siapa kamu berani memerintahkan saya? Saya enggak level bicara sama kamu? Mana kepala kantor ini? Saya hanya ingin bicara dengan pimpinan disini!" Hardiknya dengan suara melengking.
Dila mengulas senyum, walau terpaksa. Jika saja tidak berada dalam lingkungan bank, mungkin Dila akan menyumpal mulut si Bapak dengan sepatu atau kaos kaki busuk.
"Maaf Bapak, jika berkenan saya pimpinan disini," balas Dila lembut seraya mengajak sang anggota dewan ke ruangannya.
Wajah anggota DPR berubah, merasa malu karena yang bicara padanya adalah sang pemimpin yang ia inginkan. Menurutnya yang boleh bicara padanya hanya sesama pejabat. Ia mengikuti Dila ke ruangannya.
"Silakan duduk Pak," kata Dila mempersilahkan duduk. "Ada yang bisa saya bantu? Tidak enak diliat orang Bapak marah-marah."
"Saya mau ambil uang," balasnya sombong seraya menaruh buku tabungan dan slip penarikan di atas meja.
"Terus masalahnya?"
"Saya terburu-buru mau pergi ke bandara. Saya akan ada kunker. Saya ini anggota DPR. Saya mau langsung ke teller tidak antri. Anggota DPR seperti saya harusnya kalian beri fasilitas khusus tanpa anti karena saya sedang memperjuangkan aspirasi rakyat. Masa anak buah anda tidak tahu siapa saya?"
Wajah Dila pias menahan emosi. Berusaha menetralkan perasaannya.
Mentang-mentang anggota DPR bisa seenaknya? Anggota gue enggak kenal lo? Gue juga enggak kenal lo kelesss...! Aspirasi apa yang mau disampaikan jika lo aja kelakuannya kayak gini?
"Mohon maaf dengan Bapak siapa?"
"Nama saya Hadi."
"Mohon maaf Pak Hadi atas ketidaknyamanannya. Anggota saya hanya menjalankan tugas agar operasional kantor kami berjalan dengan lancar."
"Jadi kamu menyalahkan saya? Saya membuat operasional kantor kamu berjalan tidak lancar?" Hadi balik menghardik Dila.
" Kamu tidak tahu saya dari komisi apa? Beraninya kamu menghina saya? Saya bisa saja membuat karier kamu tamat di bank ini dan menelpon direksi untuk mutasi kamu dari sini," balas Hadi kasar seraya menunjuk Dila.
Dila masih diam membiarkan Hadi melampiaskan amarahnya. Bersikap tenang dan tak terpancing.
"Anak siapa kamu berani menyalahkan saya? Kamu berani menghina saya? Harusnya kamu minta maaf karena kelakuan anak buah kamu. Dasar pimpinan tidak becus! Atas dasar apa manajemen memilih kamu? Masih muda dan tidak tahu aturan seperti ini. Jangan mengemis pada saya jika kamu dipindahkan dari sini. Enggak tahu aturan. Seharusnya kamu kasih saya kemudahan."
"Pak kita bisa bicara baik-baik. Tidak perlu pakai emosi. Saya akan bantu kali ini."
"Apa yang mau dibicarakan baik-baik? Pelayanan bank ini sangat buruk dan saya akan melaporkannya. Jangan sampai suami kamu datang ke saya mengemis permintaan maaf," balas Hadi semakin brutal menghina.
"Maaf mengganggu," ucap Bara muncul di depan ruangan Dila. Tadinya ia ingin menunggu diluar, namum melihat sang istri dimaki nasabah sampai membawa namanya, Bara murka. Mengaku seorang anggota DPR? Siapa dia berani menghina istri seorang Aldebaran?
Hadi dan Dila menatap kedatangan Bara. Dila kaget melihat kemunculan suaminya yang tiba-tiba ke kantor. Wajah Hadi yang tadinya marah berubah ramah dan lembut. Hadi sadar siapa yang ada di depannya. Aldebaran ketua DPRD Provinsi. Ia bersikap sok ramah. Raut wajah seketika berubah cerah.
"Ada Pak Bara?" Sapa Hadi ramah.
"Saya ada perlu dengan Dila," balas Bara ketus menunjuk sang istri.
"Narik uang juga?"
"Tidak. Malah kasih uang."
"Menabung ya? Bapak nasabah prioritas disini?" Tanya Hadi.
"Bukan saya lupa memberi nafkah untuk istri saya."
"Maksud Bapak?" Hadi keliatan bingung dan bertanya-tanya.
"Orang yang anda hina sampai anda bilang suaminya akan mengemis minta maaf pada anda itu ISTRI SAYA. Dila istri dari Bara ketua DPRD Sumbar. Jelas anda!" Pekik Bara dengan suara melengking.
"Apa????" Hadi kaget. Ia mendekati Bara dan bersimpuh di depan Bara.
"Maaf Pak Bara saya tidak tahu jika Ibu Dila istri anda."
"Kalo bukan istri saya anda berhak menghina orang lain. Anda hanya anggota DPRD kota tapi sombongnya anda luar biasa. Anda telah berani menghina istri ketua DPRD Sumbar. Siapa anda berani menghina istri saya? Mentang-mentang anggota dewan anda bebas menghina orang lain. Orang seperti anda yang membuat citra anggota dewan jelek di mata masyarakat."
"Abang sudah..." Dila mencoba menghentikan Bara.
"Aku belum selesai bicara Dila," balas Bara menatap sang istri.
Wajah Hadi memucat, tak menyangka akan berada di situasi seperti ini. Ia sudah tahu sepak terjang Bara. Baru saja menduduki jabatan sebagai anggota DPRD, Bara sudah bisa menyingkirkan posisi Latif sebagai politisi senior, apalagi ia yang hanya seorang anggota DPRD kota. Sungguh sial berurusan dengan orang seperti Bara. Jika saja bisa kabur saat ini, Hadi akan kabur. Ia tahu posisinya tidak aman dan Bara tidak akan melepaskannya.
"Siapa anda berani menghina istri saya? Fadila Elvarette, istri Aldebaran ketua DPRD Sumbar. Paham anda?"