Part 49 ~ Keluarga Matre
Part 49 ~ Keluarga Matre
"Pagi-pagi bukan ucapkan salam kamu malah lempar pintu sembarang," tegur Wita tak suka dengan sikap sang putri. Ia dan suaminya baru saja selesai sarapan.
"Aku kesal mama, papa," ucap Ria frustasi.
"Duduk sini!" Sigit memerintahkan putrinya untuk duduk. "Ma, berikan segelas air untuk Ria!"
Wita mengambil gelas dan menuangkan air putih, lalu memberikannya pada Ria. Dalam satu kali teguk air itu habis diminum Ria.
"Sudah lega sekarang?" Sorot mata Sigit tajam menatap sang anak.
"Sudah pa. Soni mana?" Ria melirik keadaan sekitar dan tak melihat sosok sang adik.
"Soni dia sedang tidur. Semalam kami begadang lagi dan kami kalah judi," jawab Sigit enteng. Judi sudah jadi hobi bagi keluarga mereka.
"Kenapa kalian kalah terus. Jika kalian kalah terus kapan akan balik modal? Tidak selamanya aku bisa memberikan kalian uang untuk berjudi. Setidaknya kalian harus menang jangan kalah terus," gerutu Ria sebal.
"Sudahlah jangan mengalihkan pembicaraan. Kenapa kamu datang kesini marah-marah?" Tanya Wita mengalihkan topik pembicaraan. Telinganya sudah budek mendengar omelan dan ocehan Ria karena mereka kalah bermain judi.
Judi ibarat kebutuhan bagi keluarga Ria. Papa, mama, adik dan ia sangat suka berjudi. Mereka bahkan berhutang agar bisa bermain judi. Semenjak Ria menikah dengan Iqbal mereka tak perlu lagi berhutang karena menantu mereka memberikan belanja bulanan yang sangat fantastis. Tidak hanya Iqbal yang memberi mereka uang, tapi juga Ria. Jika mereka kehabisan uang, tak segan meminta uang tambahan pada Iqbal.
Ria memukul meja dan mulai bercerita.
"Aku habis bertengkar lagi dengan Naura. Ular betina itu sudah mulai menunjukkan taringnya dan beraninya dia mengancamku."
"Kenapa dia bisa mengancammu?" Tanya Wita tak kalah sebal. Berani sekali Naura menyakiti putri kesayangan mereka.
"Kalian ingat tidak dengan suami Dila?" Wita dan Sigit manggut-manggut.
" Saat sholat subuh mataku tak henti memandang wajah tampannya dan Naura melihat aku memperhatikan Bara."
"Aldebaran?" balas Sigit.
"Iya benar sekali. Dia sangat tampan papa dan aku terpesona."
"Kenapa bukan kamu saja yang bertemu dengan Aldebaran. Dia lebih hebat dari suamimu," cerocos Wira tak kalah antusis membahas Bara.
"Dari cerita teman sosialita mama. Bara itu pengusaha sukses. Kontraktor sukses yang punya banyak bisnis seperti hotel, mall, dan perumahan. Dia bahkan terpilih jadi anggota DPR. Kalo mama punya menantu seperti Bara pasti teman-teman mama tidak akan meremehkan mama lagi dan mereka makin menjilat sama mama."
"Kalo Bara jadi menantu kami, tentu sumber uang kita semakin banyak," tawa Sigit memecah kesunyian.
"Naura tahu aku melihat Bara dan menyuruhku untuk menjaga pandangan. Dia bahkan mengancam akan melaporkan perbuatanku pada Iqbal. Tidak hanya itu Naura tidak akan tinggal diam jika aku menyakiti adik ipar kesayangannya."
"Kurang ajar sekali dia," umpat Sigit meluapkan emosinya. "Berani sekali dia mengancam anak papa."
"Apa kita harus menyingkirkan Naura?" Ide gila muncul dibenak Wita.
"Jangan mama! Naura belum membahayakan. Jika dia kita singkirkan aku juga yang repot. Aku tidak sudi mengurus Allea. Aku bahkan ingin meninggalkan Iqbal dan anak-anak. Aku harus mendapatkan Bara bagaimana pun caranya. Aku sudah muak jadi istri kedua. Aku diejek dan dihina karena jadi pelakor, padahal aku dan Iqbal menikah ditanggal yang sama dengan Naura. Wanita sialan itu beruntung karena Iqbal menjadikannya istri pertama."
"Kamu sich bodoh, kenapa dulu usulkan dia jadi istri pertama. Harusnya kamu jadi istri pertama dan Naura istri kedua. Jadi Naura yang dihujat jadi pelakor bukan kamu," cerocos Sigit menyayangkan keputusan Ria.
"Papa," panggil Ria geram. "Jika aku tidak melakukan semua itu Iqbal akan meninggalkan aku. Iqbal tidak mau melepaskan Naura, tapi dia mau melepaskan aku. Andai aku tidak mengalah waktu itu belum tentu kalian bisa hidup enak seperti sekarang. Kalian bisa menyalurkan hobi judi kalian. Aku melakukan semua ini demi kalian, terus sekarang kalian menyalahkan keputusanku?"
"Ria sudah," balas Wita meredam kemarahan Ria.
"Aku enggak bisa diam ma. Aku lagi kesal papa malah menambah kekesalan aku,", pekik Ria histeris.
"Papa juga sich yang mulai." Wita memarahi sang suami.
"Jujur aku bosan hidup dalam kepalsuan ini. Pura-pura jadi istri solehah dan madu yang baik bagi Naura. Aku lelah. Jadi istri kedua banyak enggak enaknya. Jika bukan demi kalian aku mana sudi."
Sigit meneguk segelas kopi yang telah dipersiapkan Wita.
"Kita harus ganti target. Target baru kita Aldebaran. Dila dan Bara menikah karena perjodohan. Pasti belum ada cinta di antara mereka. Kamu pepet Bara, goda dan rayu. Jika dia berhasil masuk dalam perangkap kamu. Suruh dia ceraikan Dila. Kamu minta cerai dengan Iqbal. Posisi kamu akan jadi istri pertama. Bara lebih kaya daripada Iqbal. Andai itu terwujud papa akan bangga punya menantu setampan dan sesukses Bara."
"Tidak semudah itu papa. Aku sudah punya dua anak dan istri dari ipar Bara. Butuh perjuangan untuk mendekatinya."
"Ayolah anakku. Jangan pesimis gitu. Nasib keluarga kita ada ditangan kamu. Si bodoh Soni harus banyak belajar dari kamu bagaimana menaklukan wanita. Sampai sekarang anak pengusaha minyak itu belum berhasil dia taklukan. Kamu tidak boleh pesimis untuk mendapatkan Bara. Walau kamu sudah punya dua anak, tapi kamu masih cantik seperti anak gadis."
"Papa kamu benar Ria. Kamu tidak boleh pesimis. Kami mendukung kamu merebut Bara dari Dila. Peduli setan jika dia suami dari adik ipar kamu. Bukankah adik ipar kamu itu memberikan perlakuan yang berbeda pada kamu dan Naura?" Wita angkat bicara dan mulai mempengaruhi Ria.
"Iya Ria. Kamu tidak perlu khawatir. Papa, mama dan Soni akan mensupport kamu dari belakang. Apa pun akan kami lakukan untuk membantu kamu."
"Jika kamu merasa kesulitan menaklukan Bara kita lakukan saja jalan pintas. Ingat Bara sumber uang kita berikutnya. Kita harus memperjuangkannya." Wajah Wita berseri-seri. Membayangkan Bara sama artinya dengan tumpukan uang. Ia akan menghabiskan waktunya selama dua puluh empat jam di meja judi. Judi sudah menjadi candu untuknya. Jika tidak berjudi dalam satu hari akan membuatnya sakit.
Wajah Ria berkerut tidak mengerti arah pembicaraan Wita.
"Maksud mama?"
"Jika kamu kesulitan dengan cara biasa, bagaimana kita kasih Bara CIRIK BARANDANG?"
"Hari gini masih percaya yang gituan ma? Aku ga mau," tolak Ria mentah-mentah.
"Jaman udah maju masih aja percaya sama hal gituan."
"Zaman boleh maju Ria, tapi CIRIK BARANDANG ampuh dalam urusan asmara."
Cirik barandang adalah pelet asli Minangkabau. Cirik barandang sangat terkenal di daerah Minangkabau dan beberapa daerah lainnya. Sebagai salah satu hal yang termasuk ke dalam mistis, cirik barandang sangat kuat pengaruhnya hingga bisa menaklukkan hati seseorang terutama kaum perempuan. Ada beberapa cerita yang didapatkan dari berbagai sumber bahwa seorang perempuan yang terkena pengaruh cirik barandang langsung meminta menikah setelah beberapa jam terkena ramuan cirik barandang tersebut. Yang mengejutkan sebelumnya perempuan tersebut tidak sama sekali menyukai sang laki-lakinya.
Ilmu pelet cirik barandang biasanya berupa bentuk serbuk yang harus dicampur kedalam minuman, bisa air mineral, kopi atau teh. Ramuan ini bisa mempengaruhi setiap perempuan, apakah perempuan tersebut gadis ataupun status janda.
Yang pastinya cirik brandang ini lebih banyak digunakan kaum laki-laki untuk menjalankan aksinya dalam upaya menaklukkan hati perempuan. Kebiasaan para perempuan yang diberikan cirik barandang karena menolak sang laki-laki tersebut. Akibatnya laki-laki tersebut akan berusaha semaksimalkan mungkin untuk mendapatkan cintanya termasuk menggunakan cirik barandang. Dan akan memasukkan ramuan ini kedalam minuman supaya perempuan yang disukainya menjadi miliknya.
"Jika begitu kasih saja CIRIK BARANDANG untuk anak pengusaha minyak yang sulit ditaklukkan Soni. Jika Soni berhasil aku akan mencobanya mama," balas Ria.
Senyum kemenangan terbit di kedua sudut bibir Wita.
"Kamu benar Ria. Kenapa mama enggak kepikiran sampai kesana. Peduli setan Soni suka atau tidak dengan anak pengusaha itu yang penting uang mereka bisa kita kuras."