Jodoh Tak Pernah Salah

Part 63 ~ Kunker Bara ( 4 )



Part 63 ~ Kunker Bara ( 4 )

2"Siapa anda berani menghina istri saya? Fadila Elvarette, istri Aldebaran ketua DPRD Sumbar. Paham anda?"     

"Maafkan saya Pak Bara. Saya tidak tahu," jawab Hadi dengan bibir gemetar dan gugup.     

"Orang seperti anda yang membuat citra anggota dewan jelek dimata masyarakat. Anda sudah tua Pak, tapi tidak akhlak. Maunya dihormati tapi tidak menghormati orang lain. Bagaimana anda akan menyalurkan aspirasi rakyat jika kelakuan anda seperti ini? Bagi masyarakat anda tak lebih dari sekedar sampah."     

"Saya mohon maaf Pak," jawab Hadi memelas, membayangkan apa yang akan Bara perbuat untuknya, napas Hadi ngos-ngosan.     

Latif politisi kuat dan senior bisa Bara singkirkan, apalagi ia hanya seorang anggota DPRD kota. Membayangkannya saja sudah membuat bulu kuduk Hadi meremang.     

Bara sudah menjadi trending topik di kalangan anggota dewan. Memiliki aura kejam, tak kenal rasa takut dan sadis. Latif, korban pertama Bara salah satu anggota DPRD Sumbar. Bara sangat dingin dan tak kenal ampun menyingkirkan lawan-lawannya. Berbagai macam cara ia lakukan demi menjatuhkan sang lawan.     

"Maaf anda sudah tidak berguna. Kadaluarsa! Anda sudah terlanjur menghina istri saya. Menghina istri saya sama saja menghina saya. Saya tidak akan mengampuni anda. Ambil uang tidak harus mengantri di teller. Bank sudah memberikan fasilitas bagi nasabah untuk mengambil uang. Anda hanya perlu ke ATM, urusan selesai dan tidak panjang seperti ini."     

"Saya tidak punya ATM. Saya tidak menggunakannya karena tidak bisa pakai ATM," jawab Hadi jujur.     

"Zaman sudah digital tapi anda masih manual. Bagaimana kota ini maju jika dewannya masih gaptek dan tak kompeten seperti anda," hardik Bara dengan nada tinggi. Seumur-umur tidak ada yang berani menghinanya, sekalinya terhina ia menampakkan taringnya.     

"Pak ini uangnya sudah saya ambilkan ke teller," potong Dila memberikan buku tabungan dan uang pada Hadi. Ketika Bara marah-marah Dila keluar dari ruangannya dan mengambil uang Hadi di teller.     

"Terima kasih Bu," balas Hadi terbata-bata."Maafkan saya soal insiden tadi."     

"Sudah selesai ya Pak. Bukannya anda mau ke bandara? Nanti terlambat," balas Dila mengusir secara halus.     

Dengan cepat Hadi keluar dari ruangan Dila dan menutup pintu dari luar. Akhirnya ia bebas dari amukan Bara. Untung saja Dila membantunya. Hadi mengucapkan rasa syukur.     

Bara duduk di kursi tamu, menatap sang istri. Bara mengambil segelas minuman kemasan yang tersedia di meja. Efek marah-marah tenggorokannya kering.     

"Kenapa kamu menyuruh dia keluar?"     

"Abang. Pagi-pagi enggak baik marah-marah. Bukannya mau pergi ke bandara?"     

"Bagaimana aku tidak marah jika dia berani menghina kamu dan menghinaku? Harga diriku sebagai suami terkoyak-koyak. Istri ibarat pakaian bagi suaminya dan dia sedang menghina kamu. Menghina kamu sama saja menghina aku. Kenapa kamu diam saja ketika dia menghinamu?"     

Dila tergelak tawa seraya membuka toples kue.     

"Makan dulu Abang. Sepertinya lapar karena marah-marah."     

"Jangan mengalihkan pembicaraan Dila. Aku sedang serius sekarang."     

"Aku tidak mengalihkan pembicaraan. Hanya ingin mencairkan suasana. Jangan terlalu sering marah nanti tekanan darah tinggi, jantungan dan stroke."     

Bara tersedak lalu melotot pada sang istri," Jadi kamu mendoakan suamimu stroke?"     

"Bukan," sanggah Dila. " Mana mungkin aku doakan Abang stroke. Jika Abang stroke aku juga yang susah."     

Gigi bergemeletuk karena sang istri mencandainya.     

"Jadi jika aku stroke kamu merasa kerepotan dan tak mau mengurusku?"     

"Bisa dibilang begitu," celetuk Dila terkekeh.     

Bara menatap Dila dengan ekspresi datar. Istri macam apa Dila? Benar-benar enggak ada akhlak.     

"Sudahlah jangan pasang ekspresi seperti itu. Hanya intermezzo. Apa yang membawa abang datang kemari?"     

"Jangan bertanya sebelum kamu menjawab pertanyaan ku?"     

"Pertanyaan yang mana?"     

" Jangan mutar-mutar Dila. Jawab saja pertanyaanku!"     

"Pertanyaan yang mana? Bisa diulangi?"     

"Kenapa kamu diam saja ketika Hadi menghina kamu dan bawa-bawa suamimu? Seharusnya sebagai istri kamu menjaga martabat suamimu."     

Dila tersenyum menatap Bara, menunggu emosi Bara mereda baru ia bicara.     

"Aku mengerti, tapi api tidak harus dilawan dengan api. Api harus dilawan dengan air biar padam. Aku sengaja membiarkan dia mengoceh dulu, baru akan bicara. Kita kerja di bagian pelayanan. Bagaimana pun nasabah marah kita harus senyum. Ibaratnya jika kita singa tampakkan sikap bak kambing. Artinya semarah apa pun kita jangan sampai meledak, tahan emosi dan tetap santuy."     

" Jika kita meladeni sikap Pak Hadi seperti tadi, berarti kita sama dengan dia, tak tahu aturan dan etika. Maunya dihormati tapi tidak menghormati orang lain. Ingin dihargai tapi tidak menghargai orang lain. Disinilah orang lain melihat kelas kita. Cara mengatasi masalah tidak harus dengan menambah masalah baru. Aku kerja di bank ini sudah lama, bermacam karakter nasabah sudah pernah aku jumpai. Orang seperti Pak Hadi belum apa-apa. Ada yang lebih parah daripada dia. Cuma kebanyakan anggota dewan bukan seluruhnya ya. Arogan seperti beliau. Ingin menunjukkan kekuasaannya, inilah saya."     

"Harusnya kamu membela diri," potong Bara.     

"Aku mau membela diri tapi keburu suami tercinta datang bak ultraman," kelakar Dila tertawa.     

"Dila...."     

"Ya abang."     

"Aku tidak bercanda," balas Bara mengingatkan.     

"Maaf," kata Dila sok imut. "Bukankah abang mau kunker kenapa belum ke bandara?"     

Bara tepok jidat karena lupa tujuan awal ke kantor Dila. Efek marah-marah pada Hadi, ia lupa tujuan.     

"Aku akan berangkat kunker seminggu dan aku lupa memberi kamu belanja bulanan."     

"Ya ampun Abang segitunya. Bisa transfer kali. Zaman udah digital nanti bisa aja transfer via smartphone," ledek Dila membalikkan ucapan Bara pada Hadi tadi.     

"Aku kesini bukan untuk itu saja. Tolong kamu salurkan zakatku kepada anak yatim dan orang terlantar," kata Bara mengambil selembar cek dalam saku jas, lalu memberikannya pada Dila.     

"Biasanya Dian yang mengurusnya, tapi aku ingin mulai sekarang kamu yang mengurusnya, tentu kamu lebih ahli karena kamu pegawai bank."     

"Oooooo begitu..." Mulut Dila membentuk huruf O.     

"Andai aku salurkan semua uang dalam cek ini bagaimana?"     

"Itu sama saja kamu menolak nafkah dariku," jawab Bara tegas.     

"Baiklah abang, terima kasih atas kemurahan hatinya. Semoga rejekinya lancar dan sehat selalu. Salam sehat."     

"Aku ini suamimu bukan nasabah. Enggak usah ngomong basa-basi kayak gitu. Telingaku gatal mendengarnya."     

"Sesekali tidak apa-apa."     

"Ya sudah. Aku berangkat dulu ke bandara."     

"Baiklah abang, mari aku antar ke depan," kata Dila mengantar sang suami sampai naik ke atas mobil.     

Para karyawan menyaksikan interaksi antara Dila dan Bara. Mereka memuji pasangan suami istri itu. Istrinya cantik seperti Raline Shah. Sang suami ganteng seperti Reza Rahadian. Dimata para karyawan MBC, Dila dan Bara pasangan yang sempurna dan tak ada cela.     

Dalam perjalanan menuju bandara, Bara menghubungi Dian.     

:telephone_receiver: "Ada tugas baru buat kamu," kata Bara to the point.     

:telephone_receiver: "Tugas apa bos?" Tanya Dian di seberang.     

:telephone_receiver: " Hadi anggota DPRD kota telah berani menghina istriku."     

:telephone_receiver: " Bos ingin memberikan dia pelajaran?" Dian sudah menebak maksud Bara.     

:telephone_receiver: " Benar sekali."     

:telephone_receiver: " Level berapa bos pelajarannya?"     

:telephone_receiver: " Sampai dia mengundurkan diri jadi anggota dewan."     

:telephone_receiver:" Itu level sepuluh bos. Siap laksanakan perintah."     

:telephone_receiver: " Sekedar informasi dia juga melakukan kunker ke Jakarta seperti aku."     

:telephone_receiver:" Baiklah bos. Aku akan menyusun rencana."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.