Part 120 ~ Bara Kau Bisa Straight
Part 120 ~ Bara Kau Bisa Straight
"Jangan banyak bicara lagi Dila, Cepat bereskan pakaian kita. Kita ke danau teduh. Rumah itu aku hadiahkan padamu sebagai kado pernikahan."
"Aku tidak mau tinggal denganmu."
"Kau harus tinggal. Ayah sudah mengusirmu."
"Aku punya rumah sendiri. Kau tinggallah di danau teduh. Mari kita jalani hidup masing-masing. Aku tidak mau serumah denganmu."
"Tidak bisa. Kau istriku, harus menurut padaku," kata Bara tegas.
"Aku tidak bisa tinggal denganmu. Aku takut dengan seksualitasmu. Aku takut melihatmu. Hanya ada rasa jijik ketika aku tahu kau gay."
"Aku bersih Dila."
"Walau kau bersih, tapi aku tak nyaman jika tinggal bersama denganmu."
"Kita tidak tinggal berdua di danau teduh. Ada ART yang membantu pekerjaan rumah. Kau hanya tidur disana. Pagi sampai malam bisa bekerja."
"Siapa yang bisa jamin kau tidak akan membawa kekasihmu ke rumah?"
"Kenapa kau selalu berpikiran buruk tentang aku?"
"Bagaimana aku tidak berpikiran buruk. Kau menyimpang."
"Jaga bicaramu! Cepat bereskan pakaianmu. Nanti kita lanjutkan lagi pembicaraan kita. Jangan menjilat air ludah sendiri. Ingat aku sudah membela kamu sebagai suami, harusnya berterima kasih bukan memaki aku. Ayah sudah mengusir kita."
Dila jengah dan segera membereskan barang-barangnya. Satu jam kemudian Dila dan Bara turun ke bawah disambut tangis Lusi, Iqbal dan Naura.
"Bunda mohon kalian jangan pergi dari rumah ini," rengek Lusi pilu.
"Maaf bunda, kami harus pergi. Suatu saat kami akan kembali lagi," kata Dila tegar.
"Bara jangan bawa anak bunda satu-satunya. Jangan rebut Dila dari bunda," pinta Lusi memohon.
"Aku tidak pernah merebut Dila. Dia istriku bunda, jadi aku lebih berhak atas Dila. Kami sudah diusir dari rumah ini. Kami ingin mandiri. Bunda boleh datang ke rumah kami bahkan tidur di rumah. Aku tidak akan menghalangi kalian," kata Bara memberi pengertian.
"Bunda sudah bunda," kata Naura menenangkan Lusi.
"Bagaimana bunda bisa tenang jika mereka meninggalkan rumah ini. Bunda tidak rela."
"Semua akan baik-baik saja bunda," balas Dila.
"Kalian jangan masukkan perkataan ayah dalam hati. Beliau hanya emosi sesaat," ujar Lusi lagi.
"Bunda kami berangkat," kata Dila mendorong koper. Mereka keluar rumah membawa tiga koper besar. Satu koper di dorong Dila dan dua koper lagi di dorong oleh Bara.
Lusi menangis terisak-isak melihat kepergian anak dan menantunya. Rumah besar ini akan terasa sepi tak ada Dila atau Bara. Lusi sangat tersentuh dan terhibur melihat kedekatan Aina dan Bara. Sayangnya ia tak akan melihat kedekatan itu lagi. Bara dan Dila sudah pindah.
Iqbal membantu Lusi untuk duduk. Napasnya sesak melepas kepergian Dila dan Bara. Sementara itu Naura mengikuti Bara dan Dila ke mobil. Setelah melihat keadaan sekitar dan memastikan tak ada ART dan pengasuh lalu lalang, Naura menendang kaki Bara.
"Naura apa yang kau lakukan?" Bara mengaduh kesakitan. Bisa-bisanya Naura menendangnya ketika ia sedang mengangkat koper dalam bagasi.
"Aku menendangmu. Gara-gara kamu, Dila harus angkat kaki dari rumah ini. Sikap sok membela kamu telah menendang Dila dari rumah ini. Kamu memperburuk keadaan."
"Apa salah aku membela istriku? Apa aku harus membiarkan ayah menamparnya? Lalu apa fungsiku sebagai suami?"
"Tapi tak seharusnya kau bilang akan tinggal di rumahmu. Ayah hanya emosi sesaat."
"Suka-suka aku. Dila istriku."
"Dunia juga tahu jika Dila istrimu, tapi kau bukan suami yang sesungguhnya."
"Kau pikir aku tidak tahu kau siapa?" Geram Naura menatap Bara sinis.
"Apa maksudmu?"
"Uni," tegur Dila agar Naura tak banyak bicara.
"Biarkan uni bicara Dila. Tak akan aku biarkan dia menyakiti kamu lagi. Dengarkan aku Bara jika kamu berani menyakiti Dila lagi, aku tak segan menghabisi kamu dan membongkar identitas kamu yang sebenarnya."
"Apa maksud kamu?"
"Kau GAY," kata Naura tegas.
Bara kaget dan wajahnya pias. Ia tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Satu persatu orang mengetahui identitasnya.
"Kalian?" Bara melirik Dila dan Naura bergantian.
"Kami berdua sudah tahu siapa kau Bara," ujar Dila melankolis.
"Medical Check Up kemaren untuk memastikan kesehatanmu, aku tidak ingin tertular penyakit kelamin darimu. Kau bersih dan sehat. Cuma aku juga harus tetap waspada. Hubunganmu dengan Egi sudah terlalu jauh. Kau dan Egi pasti pernah berhubungan intim. Aku dan uni Naura yang merencanakan semua."
Bara tergelak tawa. Seorang Aldebaran bisa juga tertipu. Tak menyangka dua orang wanita di depannya telah melakukan gencatan senjata.
"Ternyata aku di kelilingi dua ekor ular betina," sarkas Bara menatap Dila dan Naura dengan aura membunuh.
"Kau pikir aku takut dengan tatapanmu?" Kata Naura lagi.
"Jangan pernah mengancam aku Naura. Kau tidak tahu siapa aku?" balas Bara sengit.
"Sedikit saja kamu berani menyakiti aku, jangan harap aku akan diam. Apa aku harus menggunakan mamamu sebagai tameng? Apa perlu tante Ranti tahu siapa putranya? Apa kata beliau tahu putra satu-satunya sang pewaris tahta menyimpang dari kodrat?"
"Naura jaga batasanmu," kata Bara tegas dengan suara berat.
"Aku peringatkan kamu jangan pernah menyakiti Dila."
"Jangaan ikut campur. Kau sendiri marah urusan rumah tanggamu diusik. Jaga batasanmu. Aku dan Dila, kau tak bisa ikut campur."
"Uni sudah," kata Dila melerai pertengkaran Naura dan Bara. Dila paham kenapa Naura bersikap seperti itu padanya karena ingin melindunginya.
"Dila masuk!" titah Bara memerintahkan Dila masuk mobil. Dila menuruti perkataan sang suami.
"Uni pamit. Nanti kita bicara lagi."
Bara pergi menatap Naura dengan aura permusuhan. Lawannya kali ini tidak mudah, kakak iparnya sendiri.
"Sejak kapan Naura tahu jika aku gay?" Bara memulai pembicaraan di dalam mobil.
"Sejak aku kembali ke Jakarta."
"Kau menceritakan semuanya pada Naura?"
"Uni orang terdekat dalam hidupku. Dia tak sekedar kakak ipar bagiku. Dia melebihi saudara kandung. Jika kau ingin sembuh dan kembali ke kodrat. Uni bisa membantumu. Uni dokter VCT sekaligus konselor. Kamu bisa konseling dengannya."
"Apa hakmu memerintahkan aku konseling dengan Naura?" Bara berang, ia membawa mobil dengan kecepatan tinggi.
"Bara pelan-pelan bawa mobil!" kata Dila tersulut emosi.
"Biar kita mati sekalian?"
"Kau pikir ketika mati semua sudah selesai? Semuanya akan dimulai ketika kematian datang Bara. Seberapa banyak amalmu sehingga kamu mau mati sekarang? Sudahkah kamu bertobat? Kamu sudah melanggar perintah Tuhan Bara. Kau menyimpang! Kau bagian dari kaum sodom yang telah di azab Tuhan. Alquran sudah menegaskan LGBT perbuatan dilaknat Tuhan dan hukuman untuk kaum LGBT dilempar dari ketinggian hingga mati. Masih mau mati sebelum bertaubat?"
Bara menghentikan mobilnya. Ucapan Dila bak voltase listrik tegangan tinggi. Hati Bara tersentrum mendengar perkataan Dila.
Bara menatap Dila lekat-lekat. Dila berhasil menyetil hatinya dan meremas jantungnya. Bara berpikir, apakah Dila yang akan membantunya kembali ke kodrat?
Bara mencium bibir Dila dengan rakus. Dila tak sempat menghindar. Bara mencium dan menggigit bibirnya. Bara melepaskan emosinya dengan mencium Dila dalam-dalam. Ia tak melepaskan bibir manis yang telah menjadi candu baginya. Dalam hati Bara bertanya-tanya. Ada apa dengannya?