Part 127 ~ Tangisan Ria
Part 127 ~ Tangisan Ria
"Apa?" tanya Dian kaget.
"Aku tahu kau sangat mencintai Bara. Dari matamu aku bisa melihatnya Dian. Kenapa bukan kamu saja yang membantu Bara kembali ke kodrat?
"Jika aku bisa sudah aku lakukan dari dulu, tapi takdir tak mengijinkan aku untuk membantunya. Tuhan telah mengirimkan Dila untuk Bara."
"Apa kau tidak cemburu?"
"Aku lebih bahagia jika Bara bersama dengan Dila daripada dengan Egi. Aku ingin pria yang aku cintai kembali normal, kembali ke kodrat. Sudah terlalu lama dia tersesat. Uni bantulah aku untuk menemukan Dila. Bos seperti orang gila karena kehilangannya. Selama mengenalnya baru kali ini aku melihat dia seperti ini."
"Kenapa kamu harus melakukan semua itu. Harusnya kamu bahagia Dila meninggalkan dia."
"Tak selamanya cinta harus memiliki uni. Aku sadar siapa diriku dan ada tembok pembatas yang besar menghalangi kami. Bara tidak mencintaiku, dia hanya menganggap aku adik. Bara mulai mencintai Dila walau dia mengingkarinya."
"Baiklah. Jika Dila menghubungiku akan kukabari."
"Uni terima kasih. Uni orang baik. Pasti mengerti alasan aku melakukan semua ini."
"Aku tak sebaik yang kamu kira."
"Uni orang baik. Aku pergi dulu," kata Dian pamit.
Telepon Naura berdering keras. Lusi menelponnya dan ia segera mengangkatnya.
:telephone_receiver: "Assalamualaikum bunda,"sapanya ramah pada sang mertua.
:telephone_receiver: "Walaikumsalam. Naura cepat pulang ke rumah."
:telephone_receiver: "Kenapa bunda?"
:telephone_receiver: "Ria pulang ke rumah. Dila sudah mencabut laporannya. Sekarang ada keributan. Ayah mengusir Ria. Iqbal belum pulang."
:telephone_receiver: "Baik aku pulang bunda," balas Naura cemas.
Ia segera pulang ke rumah. Kebetulan pasiennya sudah tak ada. Naura gelisah, ia berharap cepat sampai. Ia sudah menghubungi Iqbal untuk segera pulang. Masalah mereka bertiga harus diselesaikan. Naura merasa kasihan dengan Attar dan Aina yang menanyakan mami mereka.
Lima belas menit dalam perjalanan Naura sampai di rumah.
"Pergi kau dari sini," suara bariton Defri terdengar menggema. Naura bergidik ngeri mendengar suara sang mertua.
"Ayah biarkan aku bertemu anak-anak," pinta Ria memohon, berlutut di kaki Defri.
"Aku tidak sudi cucuku memiliki ibu penjudi dan munafik seperti kamu. Kau dan keluargamu telah mencoreng nama baik keluargaku."
"Ayah aku minta maaf. Aku berjanji akan berubah. Ijinkan aku bertemu anak-anak ayah."
"Kau hanya memberi pengaruh buruk untuk cucuku. Berubah? Tak ada kesempatan untukmu."
Ria menangis terisak-isak karena tak diijinkan masuk rumah menemui Attar dan Aina.
"Kau sudah mati untuk keluargaku. Kau tak pantas jadi menantu dan ibu dari cucu-cucuku. Pergi dari rumah ini sebelum aku memakai kekerasan."
"Ayah berbaik hatilah sekali ini saja. Aku mohon."
"Berbaik hati?" sarkas Defri mencibir Ria.
"Apa kau memakai hatimu ketika akan membunuh Naura dan memakai hatimu ketika kau mengatakan akan membuang Allea jika Naura meninggal? Jangan pernah mengajari aku untuk berbaik hati sementara kau sendiri jahat. Seharusnya kau berkaca."
"Ayah aku bersalah. Maafkan aku. Aku tidak akan mengulanginya lagi."
"Aku tidak percaya padamu, pergi dari rumah ini," ujar Defri menyeret Ria keluar.
"Ayah cukup!" kata Naura mencegah.
"Jangan hentikan ayah Naura. Wanita ular ini tidak pantas berada di keluarga kita. Dia dan keluarganya memalukan. Dia ibarat mawar berduri, indah tapi melukai. Dia parasit di keluarga kita."
"Biarkan Ria bertemu dengan anak-anaknya ayah."
"Kamu bodoh atau bagaimana?"
"Ria berhak bertemu dengan anak-anaknya ayah. Tidak boleh kita melibatkan anak-anak dalam masalah ini."
"Ayah aku mohon demi kebaikan kita bersama."
"Kau....." Gigi Defri bergemeletuk.
"Aku mohon ayah. Sekali ini saja,"pinta Naura memohon pada sang mertua.
Defri luluh mendengar permintaan Naura. Ia pergi meninggalkan Naura dan Ria. Tak sudi melihat wajah Ria di rumah ini.
"Pergilah ke dalam temui anak-anakmu," kata Naura memerintahkan Ria.
Ria menghapus air matanya. Berlari memeluk Naura. Tak mudah untuknya kembali diterima di rumah ini.
"Uni terima kasih."
"Sudahlah pergi ke dalam. Iqbal sebentar lagi akan pulang. Dia ingin bicara padamu."
"Uni apa benar Uda Iqbal akan menceraikan aku?" tanya Ria diliputi kekhawatiran.
"Aku tidak tahu dan tidak ikut campur urusan kalian."
"Uni maafkan aku karena masalah kemaren. Aku benar- benar berdosa padamu. Penjara telah banyak memberi aku pelajaran."
"Baguslah jika kamu sadar. Cepat temui anak-anakmu."
Ria menghapus air matanya.Tidak mungkin dia menemui anak-anak dalam keadaan menangis. Ria memeluk kedua anaknya ketika melihat mereka bermain di ruang keluarga. Ria melepas rindu dengan kedua anaknya.
"Mami rindu,"kata Attar. Ia berlari meninggalkan Aina dan Allea yang sedang main ketika melihat kedatangan Ria. Aina ikut berlari mendekati sang mami.
"Kenapa mami kerja? Adek kangen," ujar Aina sendu. Ia bahagia akhirnya ketemu dengan maminya.
"Mami juga rindu dengan kalian."
"Mami enggak usah kerja. Jika uang mami kurang, tabungan adek ada. Mami ambil saja," kata si kecil Aina.
Ria terharu dan mengecup kening Aina.
"Enggak perlu nak. Uang mami ada."
"Ria, ikut aku," kata Iqbal tiba-tiba muncul.
"Papa," panggil anak-anak dengan riang. Tumben sore hari papa mereka sudah di rumah.
"Kalian main dulu ya. Papa mau ngomong sama mami."
"Ok Papa," balas ketiganya kompak.
"Uda," balas Ria dengan wajah sumringah.
"Cepat ikuti aku ke kamar. Kita perlu bicara."
Ria mengangguk,"Baik uda."
"Anak-anak mami tinggal dulu ya.Kalian main dulu ya."
Iqbal menutup pintu ketika mereka sudah sampai di kamar. Ria berlutut memeluk kaki sang suami.
"Uda maafkan aku,"kata Ria penuh penyesalan.
"Bangun Ria. Aku tidak suka kau seperti ini."
"Uda aku minta maaf untuk segalanya. Aku berjanji akan berubah."
"Kamu sudah menipuku Ria. Aku marah dan kecewa padamu."
"Aku tahu, aku salah," jawab Ria dengan bibir gemetar.
"Kau sangat bersalah. Kamu memalukan dan mencederai harga diriku sebagai suami. Apa ini?" Iqbal mengambil tagihan judi online Ria dibalik jas dan melemparnya ke wajah Ria.
"Tidak pernah menyangka aku punya istri tidak berakhlak seperti kamu. Kau juga perokok. Aku saja yang laki-laki tidak merokok sementara kau...Aku merasa gagal mendidik istri. Aku kecewa padamu dan diriku sendiri. Kenapa kau menipuku?"
Ria hanya menangis tak memberi jawaban.
"Cepat jawab!" hardik Iqbal.
"Aku akui aku salah. Aku berjanji akan berubah uda. Ampuni aku, ampuni aku," kata Ria menangis pilu.
"Kau sudah membuat aku kecewa Ria. Aku kecewa dengan sikapmu. Kecantikan kamu membutakan hatiku. Aku kecewa karena kamu telah berusaha membunuh Naura dan kau juga berniat membuang Allea. Kau melibatkan anakku dalam masalah itu. Aku tidak bisa memaafkan kamu karena telah melibatkan anakku. Jika Naura juga melibatkan Attar dan Aina aku juga tidak bisa memaafkannya."
"Aku janji akan berubah. Aku janji uda."
"Aku sudah terlanjur kecewa padamu. Aku tidak bisa lagi bersamamu."
"Maksud uda?"
"Aku masih memikirkan anak-anak. Aku tidak mungkin memisahkan kalian, apalagi anak sekecil mereka masih membutuhkan kasih sayang ibunya. Kau bisa kembali ke rumah ini, tapi hubungan kita sudah tak sama. Dari pagi sampai sore kau bisa berada di rumah utama mengasuh anak-anak. Malam hari kau tinggal di paviliun belakang."
"Jadi kita tidak bisa kembali seperti dulu?" Dada Ria sesak. Ia kembali menangis.
"Itu lebih baik daripada aku ceraikan! Kau tetap bisa jadi ibu dari anak-anak. Melihat tumbuh kembang mereka, tapi hubungan kita sebagai suami istri tidak bisa seperti dulu."
"Uda beri aku kesempatan kedua. Aku berjanji akan berubah," balas Ria menangis tergugu.
"Tak ada kesempatan lagi Ria. Aku terlanjur kecewa padamu. Bersyukurlah tidak aku ceraikan. Jika aku ceraikan, kau akan hidup sebatang kara, tidak punya tempat tinggal dan tak ada yang menafkahimu. Terserah pilihanmu. Tetap jadi istriku tapi kita tidak bisa seperti dulu atau bercerai. Silakan tentukan pilihanmu," kata Iqbal sebelum pergi.
Lutut Ria lemas dan tak mampu berdiri. Ia terduduk di lantai menangisi nasib, tapi ini lebih baik daripada diceraikan. Ia tetap istri Iqbal tapi hanya sebagai pajangan dan sekedar status. Ria menyesali semua perbuatannya. Ia menangis hingga tertidur.