Part 144 ~ Pesta Tuan Smith ( 3 )
Part 144 ~ Pesta Tuan Smith ( 3 )
Dila sibuk memperhatikan Tuan Smith dan istri. Matanya berkaca-kaca apakah ia bisa seperti Tuan Smith dan istrinya. Boro-boro awet sampai tua pernikahannya yang baru berjalan empat bulan sudah berada di ujung tanduk. Dua bulan lagi ia akan mengakhiri pernikahannya.
Zyan menghampiri Dila mengajaknya bernyanyi bersama. Dila menolaknya karena tidak mau membuat skandal. Zyan artis yang sedang diburu paparazzi untuk saat ini. Ia tak mau terlibat skandal dengan Zyan, makanya ia menolak ajakan Zyan bernyanyi bersama.
Bara bersorak gembira saat Dila menolak ajakan Zyan bernyanyi.
"Bagus Dila. Itu baru istriku, ingat posisimu. Kamu sudah punya suami yang merindukanmu," gumam Bara tersenyum penuh kemenangan.
Tuan Smith mempersembahkan sebuah lagu untuk sang istri. Tepuk tangan meriah diberikan tamu untuk pasangan itu. Tuan Smith suami idaman wanita, walau sudah tua sikap romantisnya tidak hilang.
My first, my last, my everything
Yang pertama, yang terakhir, segalanya bagiku
And the answer to all my dreams
Dan jawaban dari semua mimpiku
You're my sun, my moon, my guiding star
Kau matahariku, rembulanku, bintang kejoraku
My kind of wonderful, that's what you are
Milikku yang luar biasa, itulah dirimu
I know there's only, only one like you
Aku tahu hanya ada satu orang sepertimu
There's no way they could have made two
Tak mungkin ada yang lainnya
You're all I'm living for
Kaulah alasan hidupku
Your love I'll keep forever more
Cintamu akan kujaga selama-lamanya
You're the first, your the last, my everything
Kau yang pertama, yang terakhir, segalanya bagiku
And with you I've found so many things
Dan bersamamu tlah kutemukan begitu banyak hal
A love so new only you could bring
Cinta yang begitu baru hanya kau yang bawa
Can't you see it's you
Tak bisakah kau lihat, memang dirimu
You make me feel this way
Kau membuatku jadi begini
You're like a fresh morning dew on a brand new day
Kau seperti embun pagi yang segar di hari yang baru
I see so many ways that I
Teramat banyak yang kulihat sampai-sampai
Can love you till the day I die
Aku bisa mencintaimu hingga mati
You're my reality, yet I'm lost in a-a-a a dream
Kaulah kenyataanku, namun aku tersesat di dalam mimpi
You're the first, the last, my everything
Kau yang pertama, yang terakhir, segalanya bagiku
I know there's only, only one like you
Aku tahu hanya ada satu orang sepertimu
There's no way they could have made two
Tak mungkin ada yang lainnya
Girl you're my reality
Gadis, kaulah kenyataanku
But I'm lost in a-a-a a dream
Namun aku tersesat dalam mimpi
You're the first, you're the last, my everything
Kau yang pertama, yang terakhir, segalanya bagiku
(You're the first, the last, my everything" – Barry White)
"Aku akan membahagiakan kamu seperti Tuan Smith," gumam Bara menatap Dila dari kejauhan.
Dila membuka topeng dan menyeka air matanya. Sepertinya Dila terharu melihat sikap romantis Tuan Smith. Andai saja ia mendapatkan suami seperti Tuan Smith mungkin tidak ada lagi kesedihan di wajahnya.
"Kenapa menangis?" tanya Zyan mendekati Dila dan memberikan sapu tangan.
"Terima kasih," balas Dila menyeka air matanya dan mengembalikan sapu tangan Zyan.
Pria itu mencium sapu tangannya sebelum memasukkan dalam saku. Bara murka melihat sikap Zyan. Beraninya dia mencium sapu tangan bekas air mata istrinya. Darah Bara mendidih, ingin memakan Zyan bulat-bulat telah berani mendekati istrinya dan terang-terangan menyukai Dila.
"Kenapa sedih Dila?" tanya Zyan prihatin.
"Tidak apa-apa. Aku hanya terharu melihat kemesraan kedua orang tuamu."
"Kau pasti ingin seperti mereka bukan?"
"Siapa yang tidak ingin seperti mereka?"
"Semua orang pasti ingin seperti mereka, termasuk kamu. Aku lihat kesedihan di matamu."
"Aku tidak sedih. Apa yang harus aku sedihkan?"
"Kau tidak bisa membohongi aku. Hatimu menyimpan begitu banyak luka dan aku bisa merasakannya. Kau rapuh."
"Tahu apa kau soal hatiku?" Amarah Dila terpancing. Ia meninggalkan Zyan dan pergi dari tempat pesta. Diam-diam Bara dan Dian mengikuti mereka.
"Pergi kemana mereka?" Bara bicara pelan-pelan. Bak detektif ia mengikuti sang istri.
"Enggak tahu bos."
Dila duduk di tepian kolam renang. Dila mencemplungkan kakinya dalam kolam renang. Ia mengambil napas dan meresapi angin malam. Berharap angin malam dapat membawa lukanya pergi. Ia benar-benar rapuh dan tak sanggup melewati cobaan yang datang padanya. Rasa bersalah pada Fatih dan rasa kehilangan yang besar tak dapat bersama Fatih.
Tanpa disadari Dila menangis dalam kesendirian. Ia tak tahu jika Zyan mengikutinya.
"Jika ingin menangis, menangislah," kata Zyan.
"Kau mengikutiku?"
"Aku harus memastikan kau baik-baik saja."
"Jangan sok peduli padaku."
"Kita sama Dila. Aku juga kehilangan Vani. Kita sama-sama terluka karena sama-sama kehilangan."
Dila tertegun, suaranya tercekat di tenggorokan. Kenapa Zyan bisa tahu isi hatinya. Ia terluka karena telah kehilangan Fatih dan pernikahannya tak bahagia.
"Aku tidak kehilangan," elak Dila.
"Jangan pernah membohongiku. Jam terbangku sudah tinggi untuk memahami perasaanmu. Lagian aku sudah bertanya pada Mira. Katanya kamu sedang tidak baikan dengan suamimu."
"Dasar Mira," gerutu Dila kesal. Kenapa Mira sampai menceritakan permasalahannya pada Zyan."Apa saja yang Mira bilang padamu?"
"Tidak ada. Hanya itu saja, kamu bertengkar dengan suamimu."
Bara dan Dian mencuri dengar pembicaraan mereka. Jarak yang terlalu jauh sehingga mereka tidak mendengar dengan jelas percakapan mereka.
"Dila tidak sadar jika punya suami?" Bara menoleh pada Dian.
"Kenapa bos?"
"Dia berduaan dengan vokalis laknat itu. Aku benci dia dekat-dekat dengan Dila."
"Cemburu bos?" goda Dian.
"Aku tidak cemburu tapi tak suka milikku direbut," balas Bara.
"Itu sama saja bos."
"Beda Dian. Cemburu dengan mempertahan milik kita itu berbeda."
"Suka-suka bos lah," kata Dian jengah. Lama-lama ia bisa melayangkan sandalnya pada Bara masih tak mengakui perasaannya.
Dari jauh Bara melihat Dila sudah tersenyum dan bahkan tertawa terbahak-bahak. Ternyata Zyan bisa juga melucu. Dila terhibur dengan lelucon Zyan.
"Kenapa tak ajak bandmu untuk tampil dalam acara ulang tahun pernikahan orang tuamu?" tanya Dila pada Zyan.
Zyan menekuk wajahnya. Ekspresinya langsung berubah.
"Papa tak suka aku jadi vokalis band. Papa ingin aku jadi pebisnis seperti dia."
"Kenapa kau tidak mau jadi pebisnis seperti beliau?"
"Bukan jiwaku. Jiwaku bernyanyi. Kamu sendiri kenapa tidak jadi pebisnis seperti orang tuamu?" Zyan bertanya balik.
"Sama. Aku juga tidak tertarik berbisnis. Aku lebih suka kerja di perbankan. "
"Bagaimana selanjutnya hubunganmu dengan suamimu?"
"Entahlah Zyan," balas Dila sendu. Mereka berdua sudah bercerita kisah hidup masing-masing. Zyan sangat pintar membuat Dila mau bercerita. Ia teman yang enak untuk diajak mengobrol.
"Dila sepertinya lomba dansa akan dimulai, mari ke dalam," ajak Zyan setelah mendengar pengumuman dari MC bahwa lomba dansa akan dimulai.
"Kamu jangan sedih lagi. Lupakan masalahmu sejenak dan kita bersenang-senang. Semoga kita memenangkan lomba ini. Hadiahnya lumayan. Liburan di resort mewah papaku."