Part 287~ Perbincangan Ibu dan Anak
Part 287~ Perbincangan Ibu dan Anak
Wanita itu sedang membaca koran. Dia terlihat sangat serius dengan koran yang ia baca sehingga tak mempedulikan suara langkah kaki yang semakin lama semakin mendekat. Wanita itu seolah tak peduli dengan kedatangan tamu di rumahnya.
Wanita itu tersenyum, dia bukannya tidak tahu ada seseorang yang datang. Ia hanya menunggu orang itu semakin dekat dengannya. Dia terus membolak-balik koran tanpa membacanya.
Suara langkah kaki pun tak terdengar lagi. Laki-laki itu sudah berada di depan sang wanita. Pria itu hanya memandang si wanita lalu tersenyum simpul. Entah apa yang ada dalam pikirannya, cuma si pria marah merasa di permainankan. Karena wanita itu dia buru-buru pulang dan diliputi rasa khawatir. Pria itu mendapat kabar jika ibunya sakit dan merindukannya.
Pria itu sangat kesal, lagi-lagi ibunya menggunakan alasan sakit untuk menyuruhnya pulang. Jika saja wanita yang berada di depannya bukan wanita yang telah melahirkannya mungkin ia sudah kalap dan mencekiknya. Kelakuan wanita itu semakin menjadi-jadi. Semakin tua tingkah lakunya seperti anak kecil. Ini bukan pertama kalinya sang ibu mempermainkannya tapi berkali-kali.
"Halo anakku sayang. Akhirnya kau pulang juga," sapa wanita itu mengibaskan gaunnya yang berwarna tosca. Dia bangkit menuju ruang tamu dan mengecup pipi anaknya. "Senang bertemu denganmu nak."
"Mami menipuku lagi,"ucapnya dengan nada kesal.
"Jika mami tidak menipumu maka kau tidak akan pulang anakku." Wanita itu memberikan alasan yang masuk akal hingga si pria tak berkutik.
Ibunya benar, jika tidak menggunakan alasan sakit mana mau pulang.
Wanita merangkul si pria dan menepuk bahunya. "Duduklah putraku! Kita sudah lama tidak bicara. Mari kita habiskan waktu bersama. Mami merindukanmu saat masih kecil."
"Aku sudah dewasa dan terlanjur tua mami. Waktu sudah tak bisa diulang kembali," ucapnya tajam menyiratkan kemarahan pada sang ibu.
"Apa mami menyesal sekarang? Aku menjauh darimu?"
Wanita itu mengibaskan tangannya ke udara, mentertawai dirinya sendiri. Dulu, ketika anak-anaknya masih kecil, ia sibuk dengan dunianya. Merasa terenggut kebebasannya setelah menikah. Umur sembilan belas tahun sudah melahirkan seorang anak. Sekarang anak itu sudah besar dan ada di depannya. Wanita itu menikah di usia delapan belas tahun. Ia terpaksa menikah karena dijodohkan kedua orang tuanya.
Tak ada sayang dan tak ada rasa cinta yang menggelora pada suaminya. Ketika rumah tangganya dikaruniai anak, ia masih saja cuek dan tak memperhatikan anaknya. Sekarang ia seolah mendapat karma, saat tua merasa kesepian. Anak-anaknya sibuk dengan dunianya sendiri dan tak memperhatikannya.
"Kenapa mami tertawa?"
Si wanita hanya tertawa terbahak-bahak hingga membuat anaknya kebingungan.
"Apa ada yang lucu?" Tanyanya sekali lagi.
Wanita itu melambaikan tangan ke udara, "Tidak ada yang lucu. Aku mentertawakan nasibku sendiri."
"Kenapa?"
"Aku menikah dengan ayahmu karena paksaan dari orang tuaku. Aku merasa kebebasanku direnggut setelah menikah. Setelah aku melahirkan kalian, tak ada kepedulian sedikitpun. Aku sibuk dengan duniaku sendiri dan mencari kebahagiaan sendiri. Aku mengabaikan kalian hingga kalian besar bersama pengasuh. Mungkin kalian lebih menyayangi pengasuh kalian dari pada aku."
Pria itu tersenyum miris. Kemana saja ibunya selama ini? Menyesal pun tak ada gunanya. Toh anak-anak sudah terlanjur jauh darinya.
"Sekarang mami menyesal?"
"Jika aku menyesal apa sikapmu akan berubah padaku?" Dia menoleh pada sang putra meminta sedikit kesempatan.
"Tidak akan. Sikapku sama seperti dulu. Tak ada yang bisa dirubah lagi mami. Anggap saja ini hukuman untuk mami karena dulu mengabaikan kami." Si pria menyalakan rokok. Ia mengisap rokoknya dengan dalam bahkan ia sengaja membuang asap rokok tepat di depan ibunya.
Pria itu mengarahkan tatapannya pada sang ibu. Ia bisa melihat penyesalan di mata sang ibu namun masih bersikap angkuh menyembunyikan perasaannya.
"Ruangan ini pakai AC. Jangan pernah merokok disini." Wanita itu terbatuk-batuk. Dengan cepat seorang pelayan mematikan AC lalu membuka jendela ruang tamu. Ia pun kembali membawakan segelas air untuk sang nyonya.
Wanita itu meneguk minumannya sampai habis dan meletakkan gelasnya di atas meja. Pelayan pun datang membawakan secangkir kopi robusta untuk si pria.
"Minum dulu kopinya putraku."
"Jangan berbasa-basi mami. Katakan apa yang mami inginkan?"
"Jangan terburu-buru nak. Mami masih ingin berlama-lama denganmu."
"Tapi aku tak ingin berlama-lama dengan mami," ucapnya tegas tak mempedulikan perasaan ibunya.
"Tak bisakah kau sedikit manis dengan ibumu nak?" Si wanita tersenyum kecut. Hatinya benar-benar sakit melihat sikap putranya yang tak kunjung berubah. Sikap peduli sang putra menjadi pelipur lara untuknya. Mendengar kabar dia sakit sang putra langsung pulang. Dia sadar putranya sangat menyayangi namun tak mau mengakui.
"Mami tahu jika aku orang yang tak bisa basa basi."
"Belajarlah berbasa-basi untuk membuat mami senang."
"Aku tidak bisa."
Wanita itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya bahkan menggema ke penjuru ruangan. Hampir semua pelayan di rumah ini mendengar suaranya yang semakin lama semakin menyeramkan dan membuat bulu kuduk merinding.
"Jangan sia-siakan waktuku mi. Katakan kenapa mami membohongiku?"
"Kau tidak mandul," ucapnya cepat.
Pria itu tak bereaksi atas ucapan ibunya. Dia menjadi bingung kenapa sang ibu bisa mengatakannya. Pernikahannya gagal karena mereka tak punya anak. Ibunya menuduh istrinya mandul ternyata tidak. Terbukti sang mantan istri melahirkan seorang anak setelah menikah lagi. Bahkan sang mantan istri punya anak hanya sembilan bulan dari pernikahan barunya.
"Sudahlah mami. Jangan karena tidak punya cucu membuat mami melantur. Mungkin sudah nasib kedua anakmu mandul mami. Siska tidak bisa hamil karena rahimnya sudah diangkat karena kanker. Aku mandul. Apa aku perlu mengadopsi seorang anak agar mimpi mami memiliki cucu bisa terwujud?" Tanyanya seolah melecehkan.
"Tidak mau," balasnya cepat dan tegas. "Aku ingin cucu yang memiliki darahku bukan anak orang."
"Itu hanya dalam mimpi mami. Aku dan Siska tidak bisa memberikan mami cucu."
"Siapa bilang tidak bisa?" Wanita itu tetap teguh dengan pendiriannya.
"Aku rasa sudah tak ada lagi yang bisa kita bicarakan. Mami membuang waktuku."
"Mami tidak membuang waktumu anakku sayang," balasnya menyindir sang anak.
"Jika tidak kenapa mami memintaku datang dengan alasan sakit. Selalu menggunakan alasan yang sama. Jika suatu hari mami benar-benar sakit, aku sudah tak percaya jangan berharap aku akan datang. Waktuku sangat berharga."
"Lebih berharga aku atau waktumu?"
"Waktuku lebih berharga daripada meladeni mami. Aku pergi," ucapnya bangkit dan meninggalkan ibunya.
"Kau tidak mandul dan kau punya anak," ucapnya dengan keras.