Jodoh Tak Pernah Salah

Part 300 ~ Curhatan Iqbal



Part 300 ~ Curhatan Iqbal

0"Jangan bohong. Kamu menyindir aku sebenarnya karena tahu aku bucin sama kamu."     

Dila tak bisa menahan tawa. Ia tertawa keras. Bara sudah terang-terangan mengakui perasaannya.     

"Hahahahahah. Kenapa jika udah tua baperan?"     

"Apa kamu bilang? Aku tua?" Bara tak terima dikatakan tua. Masa pria setampan dia dikatakan tua.     

"Iya udah tua, Umur mau kepala empat bukan?" Dila menjulurkan lidahnya.     

Bara tak terima ditertawakan. Ia ingin memberikan hukuman pada istrinya. Tentu saja hukumannya yang enak untuk Bara maupun Dila.     

"Oh tidak bisa. Aku lapar."     

"Mau gesek kartu ATM Dil," rajuk Bara manja seperti anak kecil.     

"Enggak ada gesek kartu ATM. Aku mau mandi. Gerah," balas Dila tanpa dosa. Segera berlari ke kamar mandi. Dila dengan cepat menutup pintu kamar mandi sebelum Bara menyusulnya ke dalam. Bukannya mandi, malah mereka akan melakukan aktivitas lain.     

Sekitar tiga puluh menit Dila berada dalam kamar mandi. Ia keluar dengan menggunakan jubah mandi.     

"Kenapa mandi? Nanti bakal mandi lagi," lirih Bara mengambil handuk.     

"Setidaknya badanku segar dan tidak berkeringatan sayang."     

Bara mengecup kening Dila. "Maafkan sikapku yang tadi sayang."     

"Sudahlah jangan dibahas. Kamu bau, mandi sana." Dila mendorong Bara di depan kamar mandi.     

Selesai mandi Bara melihat kamar dalam keadaan kosong. Ia segera mengganti pakaiannya dan mencari istrinya.     

Bara melihat istrinya sedang menata makanan di meja makan. Dila membantu Tuti dan Via menyajikan makan malam.     

"Sore sayang," sapa Bara ramah pada sang istri. Sikap Bara yang berubah seratus delapan puluh derajat mengundang keheranan para ART.     

Bukankah tadi mereka bertengkar dan Bara menyeret Dila dengan kasar? Kenapa mereka sudah romantis lagi? Tuti dan Via memperhatikan rambut Dila dan Bara basah. Keduanya menduga jika majikan mereka baru saja menunaikan ibadah suami istri. Bukankah setelah bertengkar permainan ranjang semakin hot? Tuti dan Via saling berpandangan dan tersenyum malu-malu.     

"Ada apa dengan kalian?" Tanya Dila pada Via dan Tuti. Keduanya tergagap dan tak bisa menjawab. Lancang sekali mereka mentertawakan majikan.     

"Gapapa uni," jawab Via terbata-bata.     

"Kami permisi dulu," potong Tuti. Mereka berdua pergi menuju paviliun belakang.     

"Sepertinya mereka mentertawakan kita," ucap Bara setelah para ART pergi.     

"Kenapa mentertawakan kita?" Dila merasa heran.     

"Mungkin mereka liat aku menyeret kamu masuk rumah tadi. Sekarang aku dan kamu udah baikan. Mereka liat rambut kita basah. Mereka mengira kita habis ML."     

"Dasar." Dila tergelak tawa mengambilkan piring dan menyendokkan nasi di atasnya lalu memberikannya pada Bara.     

Menu makan malam hari ini udang petai balado, gulai daun singkong, semur ayam dan telur dadar barendo. Bara tidak bisa makan jika tidak ada menu yang memakai cabe. Tidak afdol rasanya makan tanpa cabe.     

Bara makan sangat lahap. Masakan Tuti sangat nikmat dan lezat. Dila pun makan dengan lahap sama dengan suaminya. Mereka sudah membuat kesepakatan jika sedang makan tidak boleh mengobrol. Makan Dila terhenti ketika mendengar suara bel rumah. Dila mencuci tangannya dan membuka pintu.     

"Siapa yang datang?" Tanya Bara.     

"Tidak tahu." Dila mengangkat bahu.     

Dila berjalan menuju pintu di depan dan membukanya. Dila kaget melihat Iqbal dan Aina.     

"Uda," panggil Dila kaget. "Masuk uda."     

"Onti," panggil Aina sambil menangis. Dila segera menggendong bocah kecil itu dan membujuknya agar berhenti menangis.     

"Silakan duduk uda," ucap Dila mempersilakan Iqbal duduk.     

Bara menyusul Dila ke ruang tamu. Kaget dengan kedatangan Iqbal.     

"Iqbal," panggil Bara heran.     

"Bara," balas Iqbal. Keduanya berpelukan.     

"Om," pekik Aina menangis minta turun dari gendongan Dila.     

Bara merentangkan tangannya. Aina berlari ke arah Bara. Anak itu segera digendong Bara.     

"Aina sama om Bara dulu ya nak. Ayah mau ngobrol sama Onti Dila dulu."     

"Aina main sama om dulu ya," bujuk Bara dan gadis itu mengangguk.     

"Tunggu sebentar uda. Aku ambilkan minuman dan cemilan. Uda sudah makan?"     

"Aku sudah makan Dil."     

"Aku ke dapur sebentar," kata Dila berpamitan pada Iqbal.     

Dila membuatkan cappuccino untuk Iqbal. Bara memeluk Dila dari belakang sambil menggendong Aina. Bara memberikan buah anggur untuk Aina.     

"Kenapa Iqbal kesini?" Bisik Bara mencium tengkuk Dila hingga bulu kuduknya meremang.     

"Sayang jangan sekarang," gerutu Dila sebal. "Enggak malu ada Aina?"     

"Nanti malam ya." Bara meminta jatah. "Aina asik makan buah enggak bakal tahu."     

"Sepertinya uda Iqbal mau curhat sama aku."     

"Berantem sama Ria kayaknya." Bara menebak.     

"Sepertinya gitu. Kalo uda bawa Aina berarti Attar sama uni Ria. Ya udah aku ke depan dulu."     

Dila kembali ke ruang tamu membawakan minuman, pudding dan buah.     

"Silakan diminum uda."     

"Rumah sebesar ini kalian hanya tinggal berdua?" Iqbal terheran dengan rumah mewah Bara dan Dila.     

"Mau gimana lagi. Anak belum ada," ucap Dila berusaha tersenyum.     

"Semoga kamu segera hamil lagi." Iqbal mendoakan sang adik.     

"Amin." Dila memegang perutnya semoga ia diberi kepercayaan untuk hamil lagi. "Kenapa uda kesini? Apa ada sesuatu yang terjadi antara uda dan uni Ria?"     

"Dila kamu seperti cenayang. Uda belum cerita tapi kamu sudah tahu permasalahan uda."     

"Aku adik uda tentu tahu jika uda sedang punya masalah. Ada apa." Dila memegang tangan kakaknya.     

"Ria meminta haknya sebagai istri."     

"Uda tidak menafkahinya?"     

"Nafkah lahir tetap tapi nafkah batin tidak," ucap Iqbal jujur tanpa malu. Bagi Iqbal tidak ada orang yang dipercaya selain adiknya.     

"Uni Ria tidak salah uda. Sudah hak dia. Walau ada uni Naura tetap harus menggauli uni Ria. Zalim uda namanya."     

"Uda tidak memiliki perasaan lagi sama Ria semenjak dia mencoba membunuh Naura. Uda belum bisa memaafkan dia. Uda mengikuti saran kamu. Demi anak-anak kami tidak bercerai. Uda membolehkan dia tinggal di paviliun tapi uda tidak menggaulinya selama tiga bulan."     

"Uda sejahat apa pun Ria. Dia sudah uda hukum. Tidak layak ibu dari anak uda diperlakukan seperti itu. Jika Aina dan Attar dewasa mereka akan marah dan benci sama uda."     

"Tapi uda kecewa sama dia Dila. Dia sudah menipu uda sebelum kami menikah. Terlalu sakit buat uda."     

"Apa yang sudah terjadi tak perlu disesali lagi uda. Ria adalah pilihan uda dan uda harus bertanggung jawab dengan pilihan uda. Satu hal yang harus uda jadikan pelajaran. Satu orang istri saja belum tentu kita mampu menjaga apalagi dua orang istri. Tidak hanya adil secara materi tapi juga kasih sayang dan perhatian."     

"Lalu apa yang harus uda lakukan?"     

"Jika rumah tangga sudah seperti neraka, lebih baik uda ceraikan Ria biar statusnya jelas. Aku kalo jadi Ria tidak akan sanggup. Status bersuami tapi seperti janda. Ria adalah perempuan normal yang butuh nafkah batin. Sikap uda seperti ini bisa membuat dia jadi berzina. Uda tak memberikan hak dia sepenuhnya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.