Jodoh Tak Pernah Salah

Part 331 ~ Tangisan Dian ( 2 )



Part 331 ~ Tangisan Dian ( 2 )

1"Aku hanya ingin memeluk adikku dan memberikannya semangat," ucap Naura lirih.     

Rasa penasaran Dian semakin memuncak.     

"Ada apa sebenarnya uni?" Dian tak sabaran.     

"Kamu dari rumah sakit Harapan bukan?"     

"Maksud uni apa?" Tangan Dian gemetar. Dian bukannya takut ketahuan oleh polisi namun tak ingin Naura mengetahui siapa dia sebenarnya. Wanita yang sangat kejam dan berbahaya.     

"Terjadi kehebohan besar di rumah sakit Harapan. CEO kami dianiaya seorang wanita terluka parah dan bahkan tangan kanannya harus di operasi. Ada keretakan di telapak tangannya dan tulangnya berpindah posisi." Naura bersedekap menunggu reaksi Dian.     

"Lalu apa hubungan dengan aku?"     

"Tentu saja ada hubungannya Dian."     

"Jangan bilang uni menjebakku dan polisi sudah menungguku di bawah." Dian berdecak kesal dan bersiap menyerang Naura.     

"Ucapanmu barusan sudah membuktikan jika kamu yang melakukannya pada Zico."     

"Aku tidak melakukannya." Dian membantah.     

"Aku tidak menjebakmu Dian. Aku malah bersimpati padamu."     

"Ada apa sebenarnya uni? Sikapmu aneh." Dian beruraian air mata.     

Menghadapi orang seperti Naura tidaklah mudah. Naura sangat pandai membaca situasi dan memancing emosi seseorang dan sikapnya tak tertebak.     

"Kamu melakukan penganiayaan karena Zico orang yang telah memperkosa kalian bukan?" Naura bicara terus terang. Orang seperti Dian tak bisa diajak basa-basi.     

Dian kaget dan terhenyak. Naura mengetahui siapa Zico sebenarnya. Dian menangis terisak-isak membuat Naura prihatin namun setelah itu dia tertawa terbahak-bahak.     

"Akhirnya ada juga orang yang tahu siapa bajingan itu. Aku ingin seluruh dunia tahu jika dia seorang pemerkosa dan memiliki kelainan. Bajingan itulah yang memperkosa aku dan menjadikan aku boneka seksnya selama berhari-hari. Sakit rasanya uni dan tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata." Dian memegang dadanya.     

"Aku tahu Dian itu tidak akan mudah bagi kamu. Peristiwa itu memberikan dampak buruk untuk kamu dan Bara. Aku mengerti." Naura ikut menangisi nasib buruk Dian.     

"Kenapa uni menangis?" Dian memegang kedua pipi Naura.     

"Sebagai wanita aku ikut merasakan apa yang kamu rasakan. Pasti tidak mudah bagi kamu melewati semua ini. Kamu bahkan mengalami gangguan mental dan mengandung anak dia. Tentu tidak mudah bagi kamu yang saat itu masih remaja menanggung beban berat ini."     

"Apa dia sudah siuman?"     

"Ya." Naura mengangguk. "Zico atasanku di kantor dan kami cukup dekat. Aku tidak menyangka jika dia pelaku pemerkosaan kamu. Awalnya aku bersimpati padanya. Sebagai pemilik baru rumah sakit dia lebih memuliakan karyawan dan tidak zolim seperti pemilik lama. Namun setelah tahu dia pelaku pemerkosaan kalian, uni sudah tidak respek lihat dia."     

Dian tertawa dibalik tangisannya. Entah kenapa dia selalu bersikap seperti ini jika membahas Zico. Dian kehilangan kendali dan jiwa membunuhnya menguat.     

"Kenapa uni bisa tahu jika dia yang memperkosa kami?"     

"Zico mengakuinya padaku."     

"Mustahil bajingan itu mengakui semua perbuatannya. Kemana saja dia selama ini? Waktu kami menuntut keadilaan dia kabur ke luar negeri dan menumbalkan anak buahnya sebagai pemerkosa kami. Setelah lima belas tahun dan kasusnya sudah ditutup baru berani speak up. Bajingan itu memang an*i*g. Aku sangat membencinya. Jika penegak hukum tak bisa menegakkan keadilan apa salah jika aku menerapkan hukum rimba? Apa yang aku lakukan padanya belum seberapa dengan apa yang dia lakukan pada kamu. Masih secuil dari derita yang telah ia buat."     

"Dian," panggil Naura menahan tangis. Hatinya teriris sembilu. Rasa kasihan pada Dian semakin menguat. "Lain kali berhati-hatilah. Zico bukan orang sembarangan."     

"Kenapa uni seolah membelaku? Bukankah uni harus menghujatku karena telah mencelakan atasan uni?"     

"Kamu melakukannya karena melampiaskan rasa sakitnya. Semua perempuan di atas dunia ini akan membela korban pemerkosaan. Kamu melakukannya karena dia telah melakukan perbuatan keji padamu."     

"Jika hukum tidak bisa ditegakkan maka aku harus menghukum dia. Dia melenggang bebas setelah melakukan perbuatan terkutuk itu pada kami."     

"Ya. Aku mengerti." Naura mengangguk. "Lain kali jangan pernah gegabah Dian. Apa yang kamu lakukan tadi terekam di CCTV. Para direksi Harapan akan memenjarakan kamu."     

"Aku tidak peduli uni," jawab Dian tegas.     

"Kamu harus peduli. Pikirkan Alvin. Dia butuh sosok ibunya. Jika kamu di penjara Zico dan ibunya akan mengambil hak asuh Alvin. Kamu akan divonis pengadilan tidak layak membesarkan Alvin."     

Dian menangis terisak-isak. Bagaimana ia bisa lupa dengan Alvin dan bertindak ceroboh? Dian terduduk memeluk kakinya. Menyesali perbuatannya. Menyesali karena tidak hati-hati sehingga wajahnya tertangkap kamera. Emosi yang berada di ambang batas membuatnya kehilangan akal sehat.     

"Aku melakukan itu bukan sebagai korban pemerkosaan tapi sebagai seorang ibu," lirih Dian menatap Naura.     

"Apa maksudnya?"     

"Zico dan ibunya mengetahui keberadaan Alvin. Mungkin wajah anak itu terlalu mirip dengan bajingan itu maka ketika orang mengenal Zico sudah tahu saja jika itu anaknya Zico. Mereka melakukan tes DNA secara diam-diam untuk memastikan siapa Alvin. Zico dan ibunya ingin diakui sebagai ayah dan nenek. Aku tidak akan membiarkan mereka merebut anakku." Dian berteriak lantang.     

Naura mendekati Dian lalu memeluknya dengan erat.     

"Tindakanku tidak salahkan uni? Aku bertindak benar bukan? Aku hanya melindungi anakku dan tak ingin mereka merebutnya."     

"Kamu ibu yang hebat. Apa yang kamu lakukan sudah benar. Kamu hanya membela diri dan melindungi anakmu. Ibu mana yang mau anak yang dikandung dan dibesarkan dengan susah payah direbut begitu saja."     

"Mereka saja tidak pernah mengharapkan dan mengetahui kelahiran Alvin. Bagaimana mereka bisa merebutnya dariku?" Dian begitu emosional dan menangis histeris. Naura memaklumi sikap Dian. Naura menepuk-nepuk punggung Dian dengan lembut.     

"Zico tak memiliki anak selain anak kalian. Makanya dia sangat ingin dekat dengan Alvin. Dia tidak punya anak dengan istrinya hingga bercerai."     

"Darimana uni tahu?" Dian mendongakkan kepala.     

"Dia pernah cerita sama uni sebelumnya."     

Dobrakan pintu mengagetkan mereka berdua. Dian dan Naura berdiri dan bersikap waspada. Bara dan Dila muncul dari balik pintu. Dian mengelus dadanya karena lega.     

"Dian apa yang terjadi?" Tanya Bara menggoncang tubuh Dian.     

"Apa yang telah kamu lakukan?" Tanya Bara dalam mode histeris.     

"Sayang, tanyanya pelan-pelan," ucap Dila menasehati suaminya.     

"Sayang?" Respon Naura dan Dian ketika mendengar Dila memanggil Bara dengan sebutan sayang. Sepertinya cinta kedua telah bersemi.     

"Bara," ucap Dila malu, meralat ucapannya.     

"Kalo panggil sayang panggil saja Dil enggak usah malu-malu. Sudah resmi bukan?" Naura menutup mulutnya yang tertawa, menggoda adik iparnya.     

Dian dan Naura saling berpandangan menggoda Dila. Ketegangan mereka sirna dengan kehadiran Dila. Suatu keajaiban Dila memanggil Bara 'sayang'.     

"Ada apa Dian? Aku kaget membaca pesanmu? Apa yang telah kamu lakukan?" Bara tak sabaran. Ia tak menggubris godaan Naura pada istrinya.     

"Biarkan Dian duduk Bara." Naura menasehati.     

"Cerita!" Bara bersedekap duduk di depan Dian.     

"Aku telah menganiaya Zico," ucap Dian tanpa rasa bersalah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.