Jodoh Tak Pernah Salah

Part 345 ~Bara Shock



Part 345 ~Bara Shock

2Bara pergi sholat Jumat di mesjid Raya Sumbar. Semenjak kembali ke kodrat pria itu berusaha menjadi manusia yang lebih baik lagi. Sholat tak pernah bolong dan selalu menyempatkan diri untuk mendengarkan ceramah agama dan membaca Alquran.     

Usai sholat Jumat dan jamaah sudah bubar Bara shock dan kaget melihat Alvin, Fatih dan Zico berbincang bersama. Mereka terlihat tertawa dan sangat akrab. Bara mengucek matanya memastikan penglihatannya tidak salah. Fatih, Zico dan Alvin kenapa mereka bisa akrab? Sejuta tanya menghantui Bara.     

Sore harinya ketika pulang dari kantor, Bara pergi ke rumah Dian dengan alasan ingin bertemu dengan Alvin. Sudah lama Bara tidak bertemu anak itu.     

"Om Bara." Sapa Alvin ketika membukakan pintu pagar. Anak itu menyalami dan mencium tangan Bara.     

"Gimana kabarnya Vin?" Bara mengelus kepala Alvin.     

"Alhamdulilah om baik. Om sendiri gimana?"     

"Alhamdulilah sehat. Pergilah ke dalam aku ingin bicara sesama laki-laki," ujar Bara pada Dian.     

"Lebay ah bos. Baiklah aku pergi," ucap Dian membuang muka dan masuk dalam rumah.     

Bara dan Alvin tertawa terbahak-bahak melihat kekesalan di wajah Dian. Bara menyentuh pundak Alvin.     

"Bisa kita bicara?"     

"Bisa om," jawab Alvin bersemangat.     

"Mari kita duduk di gazebo," ajak Bara menarik tangan Alvin.     

"Baik om." Alvin berjalan disamping Bara.     

Mereka duduk berhadapan di atas gazebo.     

"Apa kamu senang tinggal bersama mamimu?" Tanya Bara basa-basi.     

"Sangat senang sekali om. Makasih ya om udah baik selama ini sama aku."     

"Sudah seharusnya. Kamu ponakan om."     

"Aku senang punya om sebaik om Bara. Selalu perhatian dan melindungi aku."     

"Bagaimana sekolah kamu? Apa ada kesulitan?"     

"Tidak om. Sudah bisa adaptasi walau belum bisa bahasa Minang." Alvin terkekeh memperlihatkan giginya.     

"Syukurlah kalo sudah bisa adaptasi. Om senang. Bagaimana ke sekolah?"     

"Biasa om pake sopir dari om G."     

"Kamu suka dengan G?"     

"Kalo aku biasa saja. Kalo om G keliatan banget suka sama mami. Walau mami udah judes tetap saja om itu kejar-kejar mami."     

"Jika mami kamu suka sama G. Apakah kamu setuju?"     

"Selama mami bahagia aku setuju saja om."     

"Anak pintar." Bara mengelus kepala Alvin.     

"Mami sudah sepantasnya bahagia om. Selama ini mami terlalu banyak menderita. Mami pantas untuk dicintai dan mencintai."     

"Ngomong soal cinta. Dasar anak ABG. Kamu lagi jatuh cinta ya?" Bara menggoda seraya menyenggol lengan Alvin.     

"Masih kecil om. Lagian dalam agama enggak boleh pacaran. Haram. Om lupa kalo aku anak pesantren?" Alvin membully Bara.     

"Kamu menggoda om?"     

"Emangnya cuma om saja bisa menggodaku?"     

"Alvin." Bara bergumam seraya menyusun kata-kata untuk Alvin.     

"Iya om."     

"Tadi om melihat kamu sholat Jumat di mesjid Raya."     

"Iya om?" Alvin tak dapat menyembunyikan kekagetannya. Tiba-tiba tangannya dingin dan gemetar. Bocah itu salah tingkah. Bara memperhatikan sikap Alvin     

"Kenapa kamu jadi gugup itu? Apa ada yang salah?"     

"Ti-tidak om." Alvin menggeleng.     

"Vin om kenal kamu dari bayi. Kamu enggak usah takut sama om." Bara berusaha tenang. Bicara dengan anak kecil tidak bisa ngegas. Harus perlahan-lahan.     

"Aku enggak takut sama om." Alvin mengelak.     

"Tadi kamu sholat Jumat sama Fatih. Pria yang satu lagi siapa?" Tanya Bara menyelidik. Pura-pura tak kenal dengan Zico.     

"Temannya om Fatih," jawab Alvin dengan tangan gemetar.     

"Alvin mau bicara jujur sama om?"     

"Mau om."     

"Siapa nama temannya om Fatih itu?"     

"Om Zico," jawab Alvin terbata-bata.     

"Alvin tahu siapa dia?"     

"Tahu om. Teman om Fatih."     

"Tidak mungkin Fatih berteman dengan Zico," balas Bara telak.     

"Jujur saja sama om. Sebelum mami kamu tahu."     

"Jangan om." Alvin melarang Bara untuk bicara.     

"Bicaralah. Kamu tahu siapa Zico?"     

"Tahu om." Alvin menunduk.     

"Siapa?"     

"Ayah kandungku." Alvin hampir menangis mengucapkannya.     

"Kenapa Alvin?" Mata Bara memerah.     

"Kenapa om?"     

"Kamu tahu kenapa kamu terlahir ke dunia ini bukan? Kenapa kamu bisa dekat dengan dia? Jelas-jelas dia yang telah menghancurkan hidup mami kamu."     

"Om." Alvin menangis terisak-isak.     

"Om enggak ngerti dengan jalan pikiran kamu. Kedekatan kamu dengan dia sama saja mengkhianati mamimu."     

"Om sampai kapan harus memendam kebencian dan dendam? Aku tahu apa yang dilakukan papi sangat tidak baik."     

"Papi? Kamu panggil bajingan itu papi?" Dada Bara terasa sesak. Alvin anak yang sangat dia sayangi dan lindungi sejak kecil. Ia curahkan kasih sayang ketika Dian membencinya.     

"Bukankah dia memang ayahku om?"     

"Dia yang memperkosa ibu kamu." Bara emosional. Giginya bergemeletuk.     

"Sampai kapan harus memendam dendam dan kebencian om? Peristiwa itu sudah lama terjadi om. Papi sudah bertaubat dan menyesali perbuatannya. Beliau mau minta maaf sama om dan mami."     

"Alvin kamu." Bara mengepalkan tangannya kesal.     

"Apa yang dia katakan hingga kamu membela dia?"     

"Maafkan aku om telah mengecewakan kalian. Tapi apa tidak ada kesempatan untuk papi bertaubat? Papi telah menyesali perbuatannya. Om aku sudah konsultasi pada ustad Fatih. Beliau juga mendukung aku memaafkan papi. Bukankah Allah Maha Pengampun om? Kenapa kita manusia terlalu sombong tidak mau memaafkan orang lain? Bukankah om juga mendapatkan maaf dari tante Dila?"     

Bara merasa tertohok dan tertampar. Kata-kata Alvin tajam bak pedang. Menyayat lukanya dengan dalam.     

"Apa yang papi lakukan jahat tapi beliau sudah menyadari kesalahannya. Aku bertanya pada ustad Fatih karena beliau guruku om. Aku tidak ingin mami hidup dalam kebencian dan memiliki dendam. Apa yang terjadi di masa lalu sudah terjadi dan merupakan takdir Allah. Daun yang jatuh tak luput dari takdir Allah om, termasuk peristiwa yang menimpa om dan mami. Papi pun ingin bertanggung jawab pada mami atas pemerkosaan itu. Papi siap melaksanakan syariat agama menebus semua kesalahannya." Alvin menangis terisak-isak. Ia berusaha menghapus air matanya.     

"Aku pun tidak mudah menerima papi. Tapi kembali ke iman masing-masing. Akulah korban terbesar dalam peristiwa ini. Kelahiranku tidak diharapkan ibuku. Ayahku tidak mengetahui kelahiranku. Aku menjadi anak dari kakek dan nenek. Mami membenciku. Jika bukan ustad Fatih menasehati aku bahwa takdir yang telah menuliskan nasibku mungkin aku tidak akan pernah memaafkan mami. Mami menzolimiku semenjak kecil. Aku tidak pernah minta dilahirkan om. Takdir Tuhan aku harus lahir," ucap Alvin terbata-bata.     

"Aku anak paling malang di dunia. Hubungan aku dan papi sebatas ayah dan anak biologis. Tak ada nasab. Untung aku anak cowok jika aku perempuan betapa malangnya ayahku tak bisa menikahkan aku karena lahir di luar nikah."     

Bara merasa malu. Kelapangan hati Alvin menerima takdirnya. Mata Bara berair karena terharu. Ucapan Alvin tamparan terbesar untuknya. Bara memeluk Alvin. Pertahanannya runtuh. Niat membalas dendam pada Zico tiba-tiba hilang begitu saja.     

"Ustad Fatih bilang hidup dengan rasa dendam dan kebencian membuat kita tidak bahagia, hidup semakin sempit dan melelahkan. Sampai kapan om dan mami hidup menanggung kebencian dan dendam?"     

"Kamu terlalu dewasa untuk anak empat belas tahun."     

"Om orang keseratus yang mengatakannya," jawab Alvin tergelak tawa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.