Part 346 ~ Kekecewaan Dian
Part 346 ~ Kekecewaan Dian
"Kenapa wajah mami merah dan mau nangis?" Tanyanya kaget. Alvin mendekati Dian dan menghapus air mata maminya.
Dian menepis tangan anaknya. Ia menggenggam smartphone. Ia baru saja mendapatkan foto Zico dan Alvin yang sedang berada dalam mesjid. Dian merasa kecewa dan sakit hati Alvin dekat dengan Zico.
G meminta orang suruhannya mengirimkan pesan boots pada Dian melalui WhatsApp.
Dian sangat kecewa dengan sikap Alvin. Anak itu dekat dengan Zico tanpa sepengetahuannya. Kemarahan Dian semakin memuncak ketika mendengar percakapan Bara dan Alvin. Anak itu sangat membela Zico.
"Mami kenapa kelihatan marah sama aku?" Tanya Alvin polos.
"Apa arti semua ini?" Dian memperlihatkan foto Alvin dan Zico.
Alvin dan Bara terperanjat. Akhirnya Dian tahu apa yang dilakukan Alvin sepulang sekolah.
"Kamu dapat darimana?" Tanya Bara pura-pura kaget.
"Nomor tidak dikenal mengirimkannya padaku."
Otak Bara berpikir keras. Otaknya sedang menganalisis sesuatu. Sepertinya ada orang yang sedang mengadu domba mereka. Siapakah yang sedang melakukan rencana busuk pada mereka?
"Mami kecewa sama kamu Vin." Dian menampar Alvin.
Bara kaget dan marah. Dia menarik Dian dan menjauhkan mereka.
"Apa yang kamu lakukan?" Bara bicara dengan tatapan menakutkan.
"Aku kecewa padanya." Dian gemetaran. Wanita itu sangat kecewa dengan sikap anaknya. Kenapa bisa dekat dengan pemerkosanya.
"Aku yakin Alvin tahu siapa pria yang ada bersamanya? Wajah mereka sangat mirip. Pasti kamu tahu siapa dia bukan?" Dian menatap Alvin dengan emosi.
"Kamu boleh marah pada Alvin, tapi tidak seharusnya kamu menampar dia. Dian sikap kamu keterlaluan padanya. Kamu pikir hanya kamu yang kecewa? Alvin pun sebenarnya kecewa sama kamu. Andai tidak ada Fatih menasehati dia dan mengingatkan mungkin Alvin tidak pernah memaafkan kamu. Kamu telah menyakitinya semenjak dia kecil dan tidak pernah mengakuinya sebagai anak. Tapi hanya satu kesalahan yang pernah oleh Alvin lakukan kamu berani menampar dia dan bersikap kasar. Alvin anak yang sangat sholeh dan anak yang menurut pada orang tua. Sadar diri Dian. Alvin korban terbesar dari masalah kita." Bara memarahi Dian.
"Tapi bos dia tidak boleh dekat dengan bajingan itu." Dian menangis. Suasana berubah menjadi panas sekaligus mengharukan. Ketiganya menangis dengan pikiran masing-masing.
"Bagaimana pun kamu menjauhkan mereka dan melarang mereka untuk dekat. Ikatan ayah dan anak tidak akan putus begitu saja. Darah lebih kental daripada air. Kamu pikir mudah bagi remaja seusia Alvin menghadapi masalah seberat ini. Lahir karena perkosaan kamu pikir tidak mempengaruhi mentalnya? Berpengaruh Dian. Tapi apa? Alvin bisa survive. Iman dalam hatinya mampu mengusir semua kegundahannya. Jika Alvin tidak soleh bisa saja dia depresi dan bunuh diri. Kamu ingat bagaimana dulu Alvin memanipulasi nilai akademik? Itu karena apa? Dia depresi karena kamu benci."
"Om sudah om." Alvin tak kuasa melihat maminya dimarahi Bara.
"Biarkan om bicara Alvin. Biar mami kamu sadar." Amarah Bara meledak-ledak.
"Kenapa bos jadi membela Zico? Kita korban kejahatan dia bos." Dian kecewa dan merasa ditusuk dengan sikap Bara.
"Aku tidak membela Zico tapi aku membela Alvin. Aku tidak suka sikap kasar kamu. Aku memberikan kasih sayang pada Alvin semenjak dia berada di kandungan kamu dan aku anggap dia anak sendiri. Aku sadar karena akulah penyebab penderitaan kamu."
"Cukup bos." Dian menutup kedua telinganya.
"Andai kamu tidak menolong aku waktu ini mungkin kamu tidak akan sesulit sekarang."
"Aku mohon jangan ungkap peristiwa itu. Itu sama saja aku menyesali kelahiran Alvin. Aku mencintai dan menyayangi Alvin."
"Jika kamu tidak mau menyesali kelahiran Alvin kenapa kita tidak berdamai dengan masa lalu?"
"Terlalu baik jika kita memaafkan Zico. Setelah membuat kita menderita."
"Daun yang jatuh tak luput dari takdir Allah mi." Alvin bicara setelah lama bungkam.
"Rukun iman yang keenam. Percaya pada qada dan qadar. Qada dan qadar berarti meyakini bahwa segala sesuatu nasib baik dan buruk yang menimpa manusia sudah diatur dengan batasan-batasan tertentu. Termasuk kejadian lima belas tahun yang lalu hingga aku terlahir di dunia ini. Tidak ada sebuah peristiwa yang menimpa kita merupakan sebuah kebetulan karena semua sudah menjadi qada dan qadar dari Allah. Allah berfirman dalam surat Al Hadid ayat 22 yang artinya 'Tiadalah sesuatu bencana yang menimpa bumi dan pada dirimu sekalian, melainkan sudah tersurat dalam kitab (Lauh Mahfudh) dahulu sebelum kejadiannya'."
"Liat anakmu. Tidakkah kamu bersyukur memiliki anak setaat dan soleh seperti Alvin. Bahkan anakmu sendiri seorang Hafiz Quran. Andai peristiwa itu tidak terjadi kamu tidak akan memiliki anak seperti Alvin." Bara menyudutkan Dian.
"Aku awalnya juga berpikiran sama dengan kamu tapi setelah Dila dan Alvin bicara, aku mengurungkan niatku membalas dendam. Kamu tahu Dian kenapa kita tidak pernah bahagia selama ini dan hati merasa sempit? Karena kita hidup menyimpan dendam."
"Aku tidak rela jika Zico mendapatkan kebahagiaan. Dia telah merusak masa remajaku."
"Sampai kapan kamu harus mengungkit itu. Bukankah kamu mengatakan jangan ungkit rasa bersalahku karena sama saja kita menyesali kelahiran Alvin?"
"Bos cukup." Dian membentak Bara. Hatinya merasa sakit dan tersayat-sayat. Ini sangat menyakitkan untuknya.
"Mi. Kematian, takdir ini merupakan takdir mutlak yang hanya Allah yang mengetahuinya. Manusia tidak dapat menghindar dari peristiwa kematian. Apa yang terjadi pada mami dan om Bara merupakan takdir yang telah tertulis di Lauh Mahfuz. Kita manusia hanya tinggal menjalani takdir kita. Itu pelajaran yang aku terima di pesantren. Mami tahu karena aku percaya takdir sehingga aku berlapang dada menerima mami yang sudah jahat padaku sejak kecil dan menerima papi juga. Aku ingin buktikan pada dunia. Anak yang terlahir dari hasil pemerkosaan tidak akan menjadikan anak itu buruk. Aku terlahir ke atas dunia dalam keadaan suci." Alvin mengucapkannya dengan bibir gemetar.
"Kamu dengar apa yang dikatakan anakmu? Sampai kapan kita hidup dalam dendam? Masa kamu tidak bisa berlapang dada seperti anakmu?" Tanya Bara mendelik tajam.
"Jadi bos memaafkan Zico begitu saja." Dian mendorong Bara hingga terhuyung.
"Aku bukan malaikat yang bisa memaafkan dia begitu saja."
"Mami. Jika mami tidak bisa memaafkan papi, lebih baik lupakan aku sebagai anak mami."
"Apa yang kamu katakan Alvin?" Dian mendekati Alvin dan mengguncang tubuh anaknya.
"Mami tidak bisa berdamai dengan masa lalu artinya mami sama saja menolak kehadiranku."
"Mami tidak pernah menolak kamu." Dian menggeleng.
"Mami lupa dengan sikap mami selama ini?"
Dian tak bisa berkata apa-apa. Merasa terjebak dengan ucapannya.
"Kita hidup di masa depan bukan masa lalumu. Berdamailah demi aku. Akan sangat membahagiakan jika mami dan papi berdamai demi aku. Berikan aku kebahagiaan dengan kalian berbaikan. Aku hanya meminta itu. Tidak lebih mi. Hanya itu pintaku." Alvin menangis haru.