Jodoh Tak Pernah Salah

Part 352 ~ Launching Rumah Sakit ( 5 )



Part 352 ~ Launching Rumah Sakit ( 5 )

1"Ayo cepat lo ngomong daripada bikin gue mati penasaran," kata Egi menunjuk Dian.     

"Sudah Gi. Jangan dipertanyakan lagi. Please," kata Bara memelas. Bara tak mau suasana jadi tak terkendali dan atmosfer semakin panas.     

"Sepertinya kita harus pergi dari tempat ini. Suasananya sudah tidak baik," kata Dila pada suaminya.     

"Ya benar sekali. Suasana sudah tidak memungkinkan untuk kita berlama-lama disini," lanjut Zico seakan mengusir mereka.     

"Jadi lo penasarankan kenapa gua benci banget sama dia?" Dian melirik Zico dengan tatapan membunuh.     

"Baiklah gue akan ngomong sama lo. sahabat lo ini Arzico Aditia. Dia adalah pria yang memperkosa gue dan Bara lima belas tahun yang lalu."     

Deg..... Egi bak tersengat listrik mendengar pernyataan Dian. Matanya menatap Zico seolah tak percaya mencoba meminta kepastian jika yang ia dengar salah. Sorot mata Zico menyiratkan jika Dian berkata benar.     

Tubuh Egi membeku tak bisa digerakkan. Ini masih sulit dipercaya. Jadi pria yang selama ini dibicarakan Bara padanya adalah Zico?     

"Karena bajingan ini Bara jadi menyimpang dan berpacaran dengan lo," lanjut Dian sengit.     

Giliran Zico yang kaget dengan ucapan Dian. Berarti mantan kekasih yang bikin Egi gagal move on adalah Bara? Zico menatap Egi dan Bara dengan tatapan yang tak bisa dimengerti.     

Fakta ini menggetarkan dan mengguncang dunia Zico. Dia merasa jungkir balik dipermainkan takdir.     

Ternyata mereka selama ini saling berhubungan satu sama lain. Tiba-tiba air mata Zico meluncur tak tahu malu. Egi adalah sahabatnya dan ternyata mantan pacar gay dari pria yang pernah ia perkosa. Dunia ini sangat sempit hanya selebar daun kelor.     

"Dian cukup." Bara membentak Dian.     

"Apa yang perlu aku katakan sudah aku sampaikan bos," balas Dian berani melawan Bara. Untuk masalah Zico, dia dan Bara sudah tak satu pikiran lagi.     

"Kamu tidak mendengarkan aku?" Bara hampir menampar Dian jika tidak dicegah oleh Dila.     

"Lebih baik kita pergi dari sini," ajak Dila pada suaminya.     

"Bara aku ingin bicara pribadi dengan kamu jika ada waktu," ucap Zico memberanikan diri. Zico masih tak bisa menghilangkannya keterkejutannya mengetahui fakta hubungan Bara dan Egi.     

"Aku tidak akan pernah ada waktu untuk bicara denganmu," balas Bara sinis.     

"Tolong berikan aku waktu untuk menebus kesalahanku."     

"Aku bukanlah malaikat yang bisa memaafkan kamu begitu saja. Apa yang kamu lakukan itu jahat. Tapi melihat perubahan sikapmu dan bisa mengambil hati Alvin. Aku akan mempertimbangkannya," ucap Bara bak oase ditengah gurun.     

"Aku pergi," cebik Bara merangkul sang istri.     

Sementara itu Egi, Clara dan Zico sibuk bercengkrama. Zico terlihat menjelaskan semuanya pada Egi.     

Ketika melihat ke atas mata Bara tak sengaja melihat seorang pria sedang mengarahkan pistol ke Zico. Pria itu di rooftop gedung sebelah rumah sakit.     

Mata Bara menyipit dan tak menduga jika Dian merencanakan semua ini. Ekspresi Dian menyiratkan kebahagiaan dan sedang menunggu peristiwa besar yang akan terjadi.     

"Dian kamu," pekik Bara emosi. Mencengkram lengan Dian dengan kuat hingga meninggalkan bekas yang dalam.     

Tanpa banyak bicara Bara lari ke gedung sebelah. Bara berlari secepat mungkin agar sampai sebelum waktunya. Pria itu masih bersiap-siap untuk menembak Zico.     

Saking cepatnya Bara berlari hingga Dila ketinggalan. Napas Dila ngos-ngosan tak bisa mengimbangi lari suaminya.     

"Sayang. Tunggu," pekik Dila mengejar suaminya.     

Bara dan Dila sampai di rooftop namun tak melihat si penembak jitu. Tempat itu telah bersih seolah tak terjadi apa-apa.     

"Sayang kenapa kamu kesini?"     

"Kemana dia?" Bara memendar melihat keadaan sekitar mencari jejak si penembak jitu.     

"Aku melihat dia duduk disini." Bara menunjukkan tempat pada Dila.     

"Dia siapa?" Dila kebingungan.     

"Penembak jitu."     

"Penembak jitu? Siapa yang akan dia bunuh?" Mata Dila membelalak.     

"Zico," jawab Bara cepat. Bara mengambil smartphone lalu menghubungi Egi.     

"Apakah Zico baik-baik saja?" Tanyanya pada Egi.     

"Zico baik-baik saja," balas Egi menatap Zico. Ucapan Egi didengar oleh Dian.     

Brengsek! Kenapa Abir belum menembak Zico. Bukankah ini waktunya? Dian membatin. Dian melihat gedung sebelah dan ia kaget melihat Bara dan Dila ada disana. Berarti mereka yang telah menghentikan Abir?     

Dian pergi dari tempat itu terburu-buru. Bara telah menggagalkan rencananya sehingga Zico bisa lolos kali ini.     

Dian mengumpat kesal dan menganggap Bara begitu bodoh karena telah menyelamatkan Zico.     

"Bos kamu bodoh," ucap Dian kesal meninggalkan rumah sakit Harapan Indah.     

*****     

"Kenapa kamu membantu Zico sayang?" Tanya Dila penasaran ketika mereka telah turun dari gedung.     

Dila pergi bersama Bara meninggalkan Niken dan tim. Dila memerintahkan mereka untuk pulang bersama sopir.     

"Apakah kamu sudah memaafkan Zico?" Tanya Dila diliputi rasa penasaran.     

"Sebenarnya aku belum memaafkan dia."     

"Lantas kenapa kamu menyelamatkan dia?"     

"Aku tidak ingin Alvin jadi anak yatim," balas Bara diplomatis.     

"Aku yakin suamiku orang baik." Dila mengelus dada Bara.     

"Dila aku harus pergi mencari Dian. Aku antarkan kamu ke kantor. Soalnya aku yakin Dian telah membuat rencana dibelakangku. Dian bukanlah wanita yang gampang untuk dibujuk. Dia terlalu kuat dengan pendiriannya. Dendamnya pada Zico sangat dalam dan dia semakin membenci Zico karena pria itu berhasil merebut hati Alvin. "     

"Apa?" Dila kaget mengetahuinya.     

"Diam-diam Zico menemui Alvin selama ini. Anak itu memaafkan ayahnya."     

"Tidak anak yang namanya mantan anak atau mantan ayah. Bagaimana pun mereka punya ikatan darah."     

"Kamu benar. Aku harus mencari Dian untuk meminta penjelasa dia," kata Bara berapi-api.     

*****     

Dua orang laki-laki berpakaian serba hitam terlibat pertikaian. Mereka saling unjuk kekuatan. Mereka memperlihatkan seni bela diri yang sangat bagus.     

"Hiya...…." Abir menendang laki-laki yang telah menggagalkan rencananya menembak Zico. Namun pria itu berhasil menghindar dan malah menendangnya. Tendangan pria itu mengenai ulu hati Abir. Ia merasa kesakitan. Pria itu mendekari Abir dan mencengkramnya.     

Abir berusaha melepaskan diri dari pria misterius itu. Sebagai pembunuh bayaran yang telah memiliki jam terbang yang tinggi dia tahu pria di depannya bukanlah pria sembarangan. Jika pria itu berhasil memukul mundurnya berarti pria ini seorang intelijen atau orang yang sama dengannya.     

Pria itulah yang telah menggagalkan aksinya menembak Zico. Pria misterius itu menghajarnya dan mengambil pistolnya.     

Pria itu mengambil peluru dan membuangnya sembarangan.     

"Siapa kau sebenarnya?" Tanya Abir ketika pria itu mencekik lehernya.     

"Kau tidak perlu tahu siapa aku."     

"Kenapa kau menggagalkan rencanaku?"     

"Bukan urusanmu."     

Mereka tak saling mengenali karena sama-sama menggunakan penutup wajah. Mereka sama-sama tak ingin diketahui.     

Mereka kembali berduel. Abir menendang pria itu hingga tersungkur membentur dinding. Pria misterius itu kembali bangkit menyeka darah yang keluar dari bibirnya. Dia pun memperlihatkan ilmu bela dirinya, menendang dengan cepat dan lalu mencengkeram leher Abir.     

Dalam satu sentakan pria itu membanting tubuh Abir hingga terbentur di lantai. Abir pun muntah darah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.