Part 389 ~ Ujian ( 2 )
Part 389 ~ Ujian ( 2 )
Perasaan Herman tidak enak makanya dia datang ke kantor Bara. Kegelisahannya terjawab sudah, menyaksikan sang anak sedang baku hantam dengan sang kakak iparnya.
Bara bangkit dari sofa lalu membuka lemari P3K. Pria itu mengambil plester, alkohol dan juga obat merah. Iqbal melepaskan sakit hati melalui pukulannya. Bibir Bara bahkan sampai berdarah dan wajahnya membiru.
Bara berdiri di depan cermin besar yang ada di dalam ruangannya. Pria itu menatap wajah tampannya. Wajahnya penuh dengan luka dan memar.
"Kenapa papa datang ke sini?" Tanya Bara sambil membersihkan wajahnya dengan alkohol.
"Bar," lirih Herman dengan wajah khawatir.
"Ya pa," jawab Bara tenang. Ketenangan Bara malah membuat Herman risau.
"Kenapa kamu bisa tenang Bar? Kamu nggak takut dengan ancaman Iqbal tadi. Dia minta kamu menceraikan Dila."
"Papa jangan khawatir. Sampai kapan pun aku dan Dila tidak akan pernah bercerai. Dila sangat mencintaiku dan dia tidak akan terpengaruh dengan kejadian ini. Kami sudah dewasa. Keluarga dia tidak berhak mencampuri rumah tangga kami. Toh kami berdua sudah bahagia dan saling melengkapi."
"Kenapa kamu enggak angkat telepon papa?"
Bara beranjak dari depan cermin. Berjalan menuju meja dan mengambil smartphone. Pantas saja Bara tidak tahu jika ada panggilan dari Herman. Smartphonenya dalam mode silent.
"Silent pa. Maaf."
"Kamu tahu betapa khawatirnya papa?" Herman emosional.
Bara mendekati Herman lalu memegang kedua tangan sang ayah.
"Papa tidak perlu khawatir masalah ini. Aku akan selesaikan. Sampai kapan pun Iqbal atau pun ayah tidak bisa pisahkan kami. Bara dan Dila saling mencintai pa."
"Papa khawatir Bar. Dila tidak bisa papa hubungi. Tadi Defri datang ke tempat papa. Dia memutuskan hubungan pertemanan kami. Bahkan dia memutuskan hubungan keluarga dengan kita. Dengan kata lain mereka ingin kamu cerai sama Dila." Perih dan sedih. Herman menangis, ini lebih sakit daripada kehilangan proyek.
Bara memeluk Herman. Menepuk bahu pria itu pelan.
"Jangan khawatir pa. Mungkin Dila sedang rapat ketika papa menelpon. Dia sudah bilang sama aku tadi."
"Firasat papa enggak enak Bar."
"Enggak enak gimana pa?"
"Iqbal dan Defri malu punya mantu dan ipar kayak kamu. Seharusnya Bar, berita itu tidak pernah rilis di internet. Kadang kita harus menyimpan rahasia agar semua baik-baik saja. Papa lebih suka rahasia kamu mantan gay tidak pernah diketahui orang lain."
"Daun yang gugur tak lepas dari takdir Tuhan Pa, termasuk berita itu. Biarkan saja. Aku tidak peduli asalkan Dila selalu bersamaku."
"Bar mereka akan melakukan tipu daya memisahkan kalian."
"Tipu daya bagaimana?" Mata Bara membola.
"Papa kenal siapa Defri. Dia akan melakukan berbagai macam cara untuk memisahkan kalian."
"Maksud papa?" Mulut Bara tercekat.
"Coba telepon Dila. Bukankah ini sudah sore. Bukankah kamu harus menjemput Dila?"
Bara menelpon Dila namun ponselnya mati. Panggilan malah tersambung ke kotak suara.
"Pa. Kenapa perasaan aku jadi enggak enak?"
"Pergilah. Jemput Dila. Semoga apa yang kita khawatirkan tidak terjadi. Papa takut selagi kamu bertengkar dengan Iqbal mereka merencanakan sesuatu."
Deg! Jantung Bara bergejolak. Tak aktifnya nomor ponsel Dila membuat darahnya berdesir. Apalagi titah Herman agar Bara menjemput Dila ke kantor. Mengikuti suara hati Bara mengambil kunci mobil lalu pergi.
"Bara pergi dulu Pa," ucapnya sebelum melangkahkan kaki.
Jantung Bara berdebar kencang. Selama dalam perjalanan menuju kantor Dila detak jantungnya semakin kencang. Bara mengumpat keras seraya memukul setir mobil ketika lampu merah menyala. Perjalanan semakin lama dirasakannya.
Bara menaikkan kecepatan mobil. Akhirnya sampai juga di kantor Dila. Kembali menghubungi istrinya namun nomornya masih saja tak aktif.
Bara membuka pintu. Untung saja satpam sudah mengenal Bara sehingga tak dicegat masuk walau jam kantor telah usai.
Bara berhenti ketika melihat Vinta.
"Dila mana?" Tanyanya tak sabaran.
"Kep udah pulang Pak ketua. Tadi kep buru-buru pulang dijemput abangnya. Katanya mama kep sakit."
"Sakit?" Darah Bara semakin berdesir. Amarah menyergap Bara. Serangan Iqbal sangat cepat. Pria itu sudah menyerang lebih dulu.
Bara pergi dari kantor Dila dengan perasaan hampa. Bara memukul stir mobil. Naura satu-satunya orang yang bisa ia percaya. Bara mengambil smartphone lalu menghubungi Naura.
"Ada apa Bar?" Tanya Naura ketika telepon telah tersambung.
"Bunda sakit apa?"
"Bunda sehat tidak sakit. Kami baru saja teleponan. Kenapa Bar?"
"Ayah dan Iqbal tahu masa laluku. Iqbal tadi datang ke kantorku. Kami bertengkar hebat."
"Apa?" Naura terhenyak dan shock.
"Iqbal bahkan mukul gue. Ayah memutuskan hubungan keluarga sama papa."
"Bar kenapa bisa kayak gini?"
"Mereka enggak terima masa lalu gue. Iqbal selidiki gue gara-gara berita di internet. Dia tahu semuanya. Semua kebusukan gue di masa lalu." Bara menangis pilu.
Sesak dan ngilu terasa di ulu hati Naura. Dia saksi hubungan Bara dan Dila. Dia juga saksi bagaimana Bara berjuang untuk kembali ke kodrat. Dia juga menyaksikan bagaimana perjuangan Bara mendapatkan hati Dila. Jika mereka sudah survive dan saling mencintai seharusnya tak boleh dipisahkan. Naura tak rela jika mereka pisah. Dila sangat mencintai Bara.
"Gue jemput Dila di kantor, tapi Dila sudah dijemput Iqbal duluan dengan alasan bunda sakit. Nomor Dila tidak aktif. Iqbal ingin kami bercerai."
"Apa?" Naura seperti tersambar petir di siang bolong. Naura sangat tahu siapa suaminya dan kerasnya hati Iqbal. Suaminya tak pernah main-main dengan ucapannya. Iya berarti iya. Tidak berarti tidak.
"Jangan khawatir Bar. Gue akan pulang. Gue akan pastikan semuanya. Gue enggak mau kalian pisah. Gue tahu kebahagiaan Dila ada bersama kamu." Naura buru-buru mematikan telepon lalu bergegas menuju rumah.
"Terima kasih telah mendukung kami. Aku enggak mau pisah dari Dila. Dia hidupku."
Untung saja Naura tak ada pasien lagi sehingga bisa pulang ke rumah.
Dalam mobil Naura resah dan gelisah. Semakin dekat dengan rumah membuat perasaannya kacau.
Buru-buru Naura memarkirkan mobil di garasi bawah tanah yang ada di rumah. Sedikit berlari Naura masuk ke dalam rumah mencari keberadaan Dila. Naura berpapasan dengan Ria dan Aina.
"Kamu liat Dila?" Tanyanya melihat Naura.
"Ada. Dia berada di ruang keluarga bersama Iqbal, ayah dan bunda."
"Kamu dari sana Ya?"
"Aku tahu diri uni sehingga tak mendekat kesana."
"Terima kasih Ria." Naura pergi meninggalkan Ria dan Aina.
Naura sampai di ruang keluarga. Sayup-sayup ia mendengar suara tangisan Dila. Ayah dan Iqbal terlibat percekcokan dengan Dila.
"Sampai kapan pun Dila tidak akan mau bercerai dengan Bara. Dia sudah berubah. Itu hanya masa lalu Bara. Dia sudah bertaubat. Ayah dan uda jangan seenaknya mengatur hidup Dila. Ini rumah tangga kami."
Dada Naura sesak mendengar semuanya.