Cowok Hamil

Tanda-tanda lahiran



Tanda-tanda lahiran

2Sudah tidak terhitung lagi, entah sudah berapa kali, Rio bolak-balik, keluar masuk kamar mandi. Hasrat ingin membuang air besar rasanya begitu kuat, tapi pada saat ia sudah berada di dalam toilet dan duduk di atas kloset, keinginannya yang akan membuang kotoran, tiba-tiba menghilang.     

Dengan raut wajah yang terlihat kelelahan, Rio keluar lagi dari dalam toilet. Dengan sangat hati-hati ia berjalan ke arah tempat tidur, sambil memegangi pinggul yang terasa pegal dan juga punggungnya yang sperti kram.     

"Ri, kamu uda berapa kali keluar masuk toilet?"     

Tidak berbeda dengan Rio, wajah ibu Hartati juga terlihat panik. Wanita itu berjalan mendekati anak laki-lakinya yang baru saja mendudukkan diri di tepi ranjang. Di mata ibu Hartati wajah Rio terlihat pucat, dan sangat lesu.     

Menggunakan kedua telapak tangannya, ibu Hartati memberikan pijatan ringan pada bagian punggung milik Rio--berharap supaya sang anak merasa lebih nyaman.     

"Nggak tau deh bu, pinggang ku juga sakit banget, badan tiba-tiba kerasa ngilu semua," beritahu Rio. Suaranya terdengar sangat lemah.     

"Huugh..." Menggunakan telapak tangannya Rio menutup mulut. Rasa mual dan ingin muntah datang secara tiba-tiba.     

Ibu Hartati mempercepat gerakan memijit sambil memberikan tekanan kuat, dibagian tengkuk, saat melihat Rio, seperti akan muntah. "Muntahin aja Ri, nggak apa-apa nanti ibu yang ngepel," ujar bu Hartati menatap gelisah kepada Rio.     

"Aduh buk... perut ku mules lagi," beritahu Rio kembali.     

Ibu Hartati semakin terlihat panik saat mendengar Rio mengeluh, sambil memegangi perutnya. Tidak hanya itu, wajah Rio juga berubah berkerut, lemah dan tidak berdaya.     

"Bu anterin ke toilet." Rio berusaha turun dari tempat tidur, hasratnya ingin buang air, kembali datang. Namun kali ini ia juga merasakan mules yang luar biasa pada perutnya.     

"Aduh Ri, jangan bolak-balik toilet terus, nanti cape! Kayaknya kamu mau lairan deh." Ibu Hartati menarik pergelangan Rio, mencegahnya supaya tidak kembali ke toilet lagi. "Udah tidurin aja nggak apa-apa."     

"Ah, nggak mau bu, aku mau ke toilet," Rio menggigit bibir bawahnya sambil menikmati rasa mual, mules dan seperti ingin buang air besar--berkumpul menjadi satu. "Lepas bu, aku mau ke toilet."     

Rio kembali berjalan ke arah toilet, namun ibu Hartati melarangnya kembali, sambil menarik pergelangan Rio, lalu memaksanya agar berbaring di atas tempat tidur.     

"Udah tidurin aja, itu kamu mau lahiran," ibu Hartati mendorong pelan pundak Rio, lalu perlahan menidurkan sang anak di atas tempat tidur. Wanita itu mengangkat kedua kaki Rio, meletakkan di atas kasur dengan posisi selonjoran.     

"Aduh ibu, aku mau ke toilet, pingin BAB."     

Di atas tempat tidur Rio terus saja bergerak, menikmati mules yang luar biasa. Terlihat keringat dingin sudah keluar membasahi sekujur tubuhnya.     

"Udah BAB di tempat tidur nggak apa-apa, nanti ibu yang bersihin," ujar ibu Hartai sambil memegangi kaki Rio yang usil, tidak mau diam.     

Ibu Hartati benar-benar terlihat bingung, apalagi hanya ada ia sendiri yang sedang menjaga Rio. Ibu Marta tadi berpesan akan langsung ke klinik, setelah menyelesaikan meeting di kantornya. Begitupun bapak Wiratama, pengusaha sukses itu sedang sibuk dengan pekerjaannya.     

Sementara Keysa dan Afkar sedang berada di sekolahnya. Harapanya cuma Letta, hanya saja gadis itu baru memberi kabar, bahwa gadis itu baru dalam perjalanan menuju ke klinik milik dokter Mirna.     

"-ibu panggil dokter Mirna, kamu jangan kemana-mana, Ri."     

Setelah menyampaikan itu, ibu Hartati bergegas lari keluar ruangan, guna menemui dokter Mirna yang katanya tadi sedang menyiapkan perlengkapan operasi di ruang berbeda, bersama beberapa dokter yang sudah didatangkan langsung dari luar negeri.     

Sebenarnya klinik dokter Mirna awalnya tidak ada fasilitas ruangan operasi. Ruang operasi itu dibuat secara dadakan atas permintaan bapak Wiratama dan juga ibu Marta. Semua peralatan operasi, dan juga beberapa dokter dari luar negeri, dihandle langsung oleh pasangan sukses tersebut.     

"Ibu jangan tinggalin, perutku sakit..." Rio terus merintih sambil berteriak. Ia juga tidak bisa anteng berbaring di atas tempat tidur. Terus saja bergerak sambil menggigit bibir bawahnya, sementara kedua tangan ia gunakan untuk memegangi perutnya yang terasa seperti melilit.     

"Ibuu !!"     

"Ibu... sakit.... bu.... aduuuh... ibu."     

Syukurlah, tidak lama setelah itu, ibu Hartati bisa langsung kembali dengan membawa serta dokter Mirna dan beberapa orang dokter yang berasal dari luar negeri. Dengan wajah panik, mereka berjalan cepat menghampiri Rio yang masih berbaring sambil berteriak-teriak menyebut kata ibu.     

Yah, 'ibu' memang kata itu yang paling nyaman untuk kita sebut pada saat sedang merasa sakit. Terkadang hanya menyebut kata 'ibu' semua rasa sakit akan menjadi sedikit berkurang. Seorang bu juga bisa menjadi solusi tepat untuk menyelesaikan masalah tanpa timbul masalah lagi.     

"Dok kayaknya Rio udah mau lairan deh," tutur ibu Hartati dengan raut wajah yang semakin panik, ketika ia dan para dokter sudah berada di samping tempat tidur, dimana Rio sedang berbaring. "Soalnya dari tadi Rio udah ngerasain tanda-tandanya," beritahunya sambil melihat dokter Mirna yang sedang memeriksa perut Rio, menggunakan stetoskop.     

Sebagai seorang ibu, tentu saja ibu Hartai bisa paham. Apa yang dirasakan oleh Rio, sama persis dengan apa yang pernah ia rasakan pada waktu akan melahirkan ketiga anaknya.     

"Ibu... sakit..." rintih Rio sambil menggenggam kuat telapak tangan ibu Hartati.     

Menggunakan telapak tangan yang satunya, ibu Hartati mengusap kening Rio yang sudah basah karena keringat. "Sabar, Ri..." ucapnya lembut, namun terlihat cemas.     

"Sepertinya operasi harus dilakukan sekarang," ujar dokter Mirna setelah selesai memeriksa keadaan perut Rio. "Nggak bisa kalau harus nunggu nanti sore. Soalnya kontraksi bayinya sudah semakin kuat."     

"Pokoknya lakukan yang harus dilkukan, menurut ibu dokter," pasrah ibu Hartati.     

Beberapa saat kemudian dokter Mirna dan beberapa dokter lainnya terlihat sibuk mempersiapkan Rio yang akan segera dibawa ke ruang operasi.     

Bersamaan dengan itu, terlihat ibu Hartati langsung mengambil HP yang ia taruh di atas meja. Setelah menyalakan HP tersebut, wanita itu menyentuh menu kontak pada layar, lantas mencari nama kontak yang bertuliskan 'besanku'.     

Ibu Hartati menghela napas panjang, sebelum akhirnya ia menempelkan benda persegi empat itu di kupingnya. Hanya dalam kurun waktu beberapa detik saja, panggilannya sudah langsung tersambung.     

"Halo jenk," sapa ibu Marta dari seberang sana.     

"Halo bu Marta, maaf menganggu, saya mau kasih kabar kalau operasi Rio mau dilakukan sekarang."     

"Oke saya kesana sekarang."     

"Jangan bu_"     

Tuut... tuut... tuut....     

Sebenarnya ibu Hartati ingin mengatakan;     

'jangan bu, selesaikan dulu meetingnya, Rio udah ditangani dokter Mirna'.     

-Namun sayang Wanita itu menggantungkan kalimatnya, lantaran sambungan telfon, diputus secara sepihak oleh besannya.     

Menatap layar HP yang sudah tidak menyala, ibu Hartati menghela napas. Detik berikutnya, wanita itu bergegas menuju ruangan operasi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.