Cowok Hamil

Gue depresi



Gue depresi

3Menarik napas dalam, sebelum akhirnya Rio hembuskan secara kasar. Ia benar-benar merasa sangat legah, akhirnya Heru sudah keluar dari rumahnya.     

Rio menyandarkan tubuh pada pintu kamar, setelah ia menutupnya. Ia memejamkan mata sambil mendongakan kepalanya ke atas. Kedatangan Heru barusan membuat remaja itu menjadi sangat tidak nyaman.     

Lagi, Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Rio hembuskan secara perlahan. Kemudian remaja Rio berjalan ke arah ranjang sambil memegangi perutnya. Otaknya tidak berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, kalau teman-temannya tahu bahwa ia bisa hamil. Parahnya orang yang membuatnya hamil adalah Jamal--musuhnya. Ditambah lagi setatusnya kini ia sudah resmi menikah dengan Jamal. Apalagi, ia berperan sebagai istri. Memikirkan semua itu, membuat jiwa Rio kembali labil. Remaja itu terlihat sangat frustasi.     

Took... took... took...!!     

Suara ketukan pintu membuat Rio mengurungkan niatnya yang akan naik ke atas ranjang. Rio terdiam, keningnya berkerut sambil memikirkan siapa lagi tamu yang datang ke rumahnya.     

Took... took... took...!     

Rio mendengkus kesal saat mendengar kembali suara ketukan pintu di ruang tamu. Kali ini suara ketukan pintu itu terdengar lebih keras.     

Dengan perasaan malas, kesal, dan cemas, Rio berjalan kembali keluar kamarnya.     

Tidak lama setelah itu, langkah kaki Rio membawanya sampai di depan pintu utama. Ia berdiri mematung, sambil memikirkan siapa orang yang berada di luar sana.     

"Apa Heru balik lagi?" Rio menduga di dalam hati.     

Took... took... took...!!     

Ketukan pintu itu membuyarkan lamunan Rio, menariknya kembali ke dunia nyata. Remaja itu menelan saliva, sebelum akhirnya membuaka suara, dengan gugup. "S-siapa?"     

"Gue!" Sahut seseorang dari balik pintu.     

Rio membuang napas legah setelah mendengar suara dari luar sana--suara lantang dan tegas, yang sudah sangat akrab di telinganya. Siapa lagi pemilik suara tersebut kalau bukan Jamal.     

Tanpa berpikir panjang Rio meraih handle sambil memutar kunci, lalu menariknya hingga membuat pintu tersebut terbuka lebar.     

Rio mengerutkan kening, menatap sebal kepada Jamal yang sedang tersenyum nyengir sambil mengangkat kedua tangannya, yang sedang membawa sesuatu.     

"Kok, lu udah pulang?" Ketus Rio tanpa memperdulikan sesuatu di tangan Jamal.     

Senyum nyengir Jamal memudar, berubah menjadi kecewa saat kehadirannya, yang sedang membawa sesuatu tidak di sambut dengan baik oleh Rio. Dengan rasa malas, Jamal menjatuhkan kedua tangannya, lalu melangkah masuk kedalam rumah.     

Setelah menutup dan mengunci pintu, Rio berjalan mengekor di belakang Jamal. Keningnya berkerut menatap heran kepada Jamal yang sudah pulang sekolah sebelum waktunya.     

"Jamal kok lu udah pulang? Lu bolos ya?" Rio terpakasa mengulang pertanyaan lantaran Jamal belum menjawabnya.     

"Males gue..." sahut Jamal tanpa beban. Kemudia ia meletakan paper bag berisi pakaian yang baru ia beli untuk Rio, dan kantung plastik berisi dua kotak rujak --di atas meja.     

Setelah itu Jamal melepaskan jaket kulit berwarna hitam, lalu menjatuhkan pantatnya di sofa.     

Sementara Rio hanya terdiam sambil menatapnya datar. Ia sedang menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan kedatangan Heru. Tapi terlebih dahulu ia ingin tahu alasan Jamal kenapa bisa sampai membolos.     

"Gimana bisa pinter kalo lu nya males," omel Rio. Kemudian ia mendudukkan dirinya pada sofa yang berbeda. Sorot matanya menatap kesal ke arah Jamal.     

"Udah nggak usah bawel, gue capek habis muter-muter nyari baju buat elu, tuh." Jamal menunjuk paper bag di atas meja menggunakan wajahnya. Detik berikutnya, senyumnya mengembang saat teringat ia juga membelikan rujak untuk Rio.     

Jamal buru-buru mengambil plastik berisi dua cup rujak tumbuk.     

Sementara Rio masih terdiam. Apa yang ia alami barusan, membuatnya tidak tertarik dengan apa yang dibawa oleh Jamal. Remaja itu malah semakin kesal lantaran Jamal terkesan mengabaikan dirinya.     

Membuang napas kasar, sebelum akhirnya Rio membuka suaranya. "Tadi Heru kesini."     

Deg!     

Jamal sontak menghentikan niatnya yang akan mengambil cup berisi rujak. Hasratnya yang ingin memakan rujak tiba-tiba menghilang saat mendengar Heru disebut oleh Rio barusan. "Heru? Ke sini? Ngapain? Kok dia bisa tau rumah kita sih?" Kening Jamal berkerut menatap remaja di depannya.     

"Gara-gara lu terlalu bego!" ceplos Rio tanpa ragu.     

"Lho... kok lu malah nyalahin gue?" Kesal Jamal sambil menyingkirkan palstik berisi rujak. Ia berdiri dari duduknya, lalu menatap kesal ke arah Rio. Melipat kedua tangannya di dada, kemudian Jamal berkata. "Perasan gue nggak pernah bener ya, dimata elu? apa-apa salah."     

Tidak mau kalah Rio juga beranjak dari duduknya, lalu jalan beberapa langkah, memangkas jaraknya dengan Jamal. "Ya-iya-lah, semuanya itu emang gara-gara elu. Kalau kemaren lu nggak maksa pake mobil Heru, dia nggak akan tau rumah kita, dia juga nggak akan tau kalo gue tinggal di sini!"     

"Terus hubungannya apa gue pake mobil dia sama dia ke sini?" Jamal menatap selidik ke arah Rio. "Lu ngasih tau dia?" tuduhnya.     

"Bego!" Sambar Rio.     

Kata-kata Jamal membuat Rio membuang napas kasar. Ia harus berbicara dengan jelas supaya bisa dimengerti oleh mahluk seperti Jamal. Menarik napas dalam-dalam kemudian Rio hembuskan secara perlahan. Kali ini Rio mencoba bersabar, tidak menggunakan emosinya untuk berbicara dengan cowok itu.     

"Denger Jamal, gara-gara lu pake mobil dia, alamat kita jadi bisa kelacak. Dia nyariin gue make riwayat perjalanan mobil dia melalui GPS! Ngerti?" Jelas Rio dengan wajah yang terlihat frustasi.     

Jamal terdiam sambil memikirkan kata-kata Rio barusan. Kemudian Remaja itu menenggelamkan kedua telapak tanganya di saku celana abu-abu, lantas menatap Rio dengan tatapan yang sulit diartikan.     

"Perasaan, dia ngebet banget nyariin elu. Tadi di sekolah juga dia nanyain lu melulu? Gue curigasama tu anak. Jangan-jangan, dia suka lagi sama elu." Sorot mata Jamal menatap selidik ke arah Rio. "Atau jangan-jangan kalian tuh pacaran?"     

Bola mata Rio melebar setelah kalimat terakhir meluncur dengan mulus dari mulut Jamal.     

Sepertinya Rio harus membutuhkan oksigen. Pasalnya dadanya terasa sangat sesak saat berbicara dengan orang seperti Jamal. Lagi ngomongin apa, tapi malah membahas apa.     

"Astaga Jamal...Lu tuh ngaco ya?!" Geram Rio. Emosinya sudah mulai terpancing dengan sikap Jamal yang seolah sedang mengalihkan pembicaraan tanpa memperdulikan perasaan dirinya. "Percuma ngomong sama elu!"     

"Yah kalau dia nggak suka sama lu, ngapain dia repot-repot nyariin lu?!" Tegas Jamal.     

Mendengar itu, mata Rio memanas, dadanya bergerak naik turun, jemarinya meremas geram, dan napasnya semakin memburu. Sabar! Yah, saat ini hanya kata itu yang dibutuhkan oleh Rio.     

"Lu tuh begoknya benar-benar nggak ketulungan ya? Lu ngaco! Lu ngerti nggak kalo gue jadi khawatir gara-gara Heru dateng kerumah kita! Gue takut nanti temen-temen gue tau kalau ternyata gue bisa hamil!" Ucap Rio dengan wajah yang terlihat sangat frustasi. "Apalagi lu yang bikin gue hamil! Gue itu stres, depresi, tapi Lu malah ngalntur ngomong enggak-enggak!"     

Rio membuang napas kasar, sambil menjatuhkan pantatnya pada sofa. "Lu enak masih bisa sekolah, ketemu sama temen-temen. Lu juga masih bisa main kemana aja lu mau. Lu nggak ada beban, lu bebas." Menggunakan telapak tangan, Rio menyeka air mata yang sudah mulai menggenangi pelupuknya. Entahlah, tiba-tiba saja Rio merasa sangat prihatun memikirkan nasipnya.     

Jamal hanya terdiam dan mematung sambil menelan ludahnya susah payah. Sorot matanya menatap teduh ke arah Rio yang sedang duduk merunduk. Kemudian wajah Jamal berkerut saat telinganya mendengar suara isakkan dari mulut Rio.     

"-lha gue... boro-boro main, keluar rumah bentar aja gue udah mulai takut sekarang. Gue malu." Lanjut Rio ditengah isakkan tangisnya. "Gue tertekan."     

Kata-kata Rio sukses membuat Jamal tertegun. Secara perlahan ia menjatuhkan pantatnya di sofa, duduk di samping Rio. Bola matanya menatap iba ke arah Rio yang masih merundukkan kepalanya. Sepertinya Jamal mulai bisa merasakan apa yang sedang di rasakan oleh Rio sekarang.     

Dengan ragu-ragu Jamal mengulurkan pergelangannya, meraih pundak Rio lalu menariknya perlahan.     

Lantaran sedang membutuhkan sandaran, Rio pasrah mengikuti tarikan tangan Jamal, hingga kepalanya berakhir menyandar di dada bidang milik cowok itu.     

"S-sory," ucap Jamal lembut.     

Menggunakan punggung tangan, Rio menyeka air mata yang sudah mengalir di pipinya. "Gue bener-bener depresi..." ucap Rio. Suara isakan masih terdengar dari mulutnya.     

Jamal menelan ludah, sebelum akhirnya ia berkata. "Gue janji, temen-temen nggak akan ada yang tau kalo lu bisa hamil. Gue juga nggak akan main lagi kok. Pulang sekolah gue mau di rumah aja nemenin lu, sama bayi kita." Jamal harus merundukkan kepala supaya bisa mengintip wajah Rio yang masih menyandar nyaman di dada bidangnya. Menggunakan ujung ibu jarinya, ia membantu membersihkan sisah-sisah air mata yang masih menetes di pelupuk mata Rio.     

"-Kalo lu mau, gue nggak usah sekolah juga nggak apa-apa," lanjut Jamal, sungguh-sungguh.     

"Jangan entar lu makin bego," serga Rio. Suara isakkan tangis sudah tidak terdengar lagi oleh Jamal.     

"Nggak papa bego, yang penting duitnya kan banyak," sombong Jamal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.