Cowok Hamil

Malas sekolah



Malas sekolah

3"Jamal, bangun."     

Seperti biasa, seolah sudah menjadi kewajiban rutin bagi Rio, untuk membangunkan Jamal setiap paginya. Mau bagaimana lagi? Ia memang selalu bangun lebih awal, dari pada Jamal yang terkadang masih suka membangkong.     

Namun entah kenapa, pagi ini tidak seperti biasanya. Jamal lebih sulit dibangunkan, walaupun sebenarnya remaja itu sudah tersadar dari tidurnya.     

"Ayo dong Jamal, buruan bangun ntar lu telat." Rio terpaksa harus menarik selimut yang membalut tubuh Jamal, lantaran yang dibangunkan hanya menggeliat, masih terlihat nyaman dan merasa enggan keluar dari selimutnya.     

Ngomong-ngomong akhir-akhir ini Rio sudah jarang sekali menggunakan nada tinggi saat membangunkan atau berbicara dengan Jamal. Tepatnya setelah ia sudah ikhlas memaafkan Jamal, atas perbuatannya yang sudah membuat dirinya hamil. Selain itu usia kandungan yang sudah hampir lewat delapan bulan, membuat remaja itu seperti tidak mempunyai tenaga untuk berteriak. Tapi tetap saja, walaupun nada bicara tidak sudah tinggi, kalimat yang keluar dari mulut Rio, kadang masih terdengar pedas.     

"Baru pinter dikit doang, masa udah males lagi. Entar begonya balik tau rasa."     

Yang dikatakan sama Rio barusan memang benar. Semenjak rajin belajar, Jamal sedikit lebih pintar. Bahkan ia sempat mendapat nilai paling tinggi di kelasnya.     

"Kalau nggak bangun, gue siram lu, Mau?"     

Akhirnya ancaman Rio sukses membuat Jamal beranjak dari tidurnya, meski dengan raut wajah yang terlihat malas, dan masih mengantuk.     

"Lu bawel amat sih, Yo," kesal Jamal dengan suara parau nya. Saat ini ia sudah duduk bersila tepat di hadapan Rio--dengan jarak wajah yang tidak lebih dua jengkal, dari perut gendut Rio. "Kapan sih, lu mau biarin gue tenangan dikit aja," ucap Jamal sambil menggaruk rambutnya yang masih acak-acakan.     

"Tapi udah siang, lu harus sekolah," tegas Rio sambil mengusap-usap perut gendutnya menggunakan telapak tangan sebelah kanan. Sementara tangan kirinya ia gunakan untuk memegangi pinggangnya.     

"Hari ini gue males sekolah," bola mata Jamal melebar, ia baru tersadar kalau wajahnya ternyata berada tepat di depan perut gendut Rio. Dengan senyum yang menyeringai dan tanpa meminta ijin, Jamal membuka kaus besar yang menutupi perut gendut itu.     

Plek!     

"Eh, lu mau ngapain?" Ketus Rio sambil memukul pergelangan Jamal, menyingkirkan nya dari perut, lalu buru-buru menarik kembali kausnya yang sempat terbuka sedikit.     

Jamal harus mendongakan kepala, melihat wajah Rio yang posisinya lebih tinggi darinya. "Mau liat anak gue, pelit amat."     

"Nggak ada! Buruan lu mandi terus sekolah." Setelah menyampaikan itu, Rio memutarkan tubuhnya, lalu berjalan meninggalkan Jamal di tempat tidur.     

"Tapi gue lagi males sekolah." Jamal membanting tubuhnya di atas kasur, lalu memeluk erat gulingnya. Entahlah, hari ini remaja itu merasa tidak ingin meninggalkan Rio dan bayinya yang masih di dalam perut.     

Kelakuan Jamal membuat Rio mendengkus kesal. Remaja itu terpaksa memutar tubuhnya lalu berjalan kembali mendekati Jamal yang sudah berbaring kembali di tempat tidur, membungkus tubuhnya dengan selimut.     

"Jangan kayak anak kecil Jamal, buruan bangun." Kesal Rio saat ia sudah berdiri kembali di samping tempat tidur. "Biar burung lu aja yang kecil, tapi kelakuan lu jangan!"     

Cibiran dari Rio sukses membuat Jamal kembali bangkit dari tidurnya, uduk bersila di hadapan Rio.     

"Lu ngapain sih, bawa-bawa itu lagi?" protes Jamal sambil menatap kesal ke arah Rio. "Gue minder, tau!" Ucapnya dengan wajah yang terlihat kesal.     

Melihat Jamal cemberut, Rio terkekeh pelan. Remaja itu teringat pada saat Jamal membeli obat pembesar alat kelamin.     

"S-sory, habisnya lu susah sih kayak anak kecil." Ucap Rio ditengah kekehannya. "Gue cuma becanda, ntar malah lu jadi beli obat itu, lagi." Menggunakan telapak tangannya Rio menutupi mulutnya yang sedang menahan tawa. Rio cuma tidak ingin Jamal tersinggung, kalau melihat dirinya tertawa.     

Namun sayang, telapak tangan Rio tidak mampu menutupi semua mulutnya yang sedang tertawa. Dari gerakan tubuh Rio yang naik turun juga membuktikan kalau remaja itu sedang terpingkal.     

Jamal terdiam, mulut dan bola matanya melebar menatap wajah Rio. Sumpah demi apa? Pagi ini adalah pagi yang bersejarah bagi Jamal. Untuk pertamakali selama beberapa bulan Jamal tinggal bersama Rio, baru kali ini ia melihat tawa dan senyum Rio.     

Dan siapa sangka, senyum dan tawa Rio malah membuat hatinya jadi menghangat, lalu mengundang debaran itu datang kembali. Rasanya ia ingin sekali mengambil HP, lalu mengabadikan moment yang sangat langka itu.     

"Buruan ah, mandi sono..." ucap Rio setelah tawanya terhenti.     

Setelah menyampaikan itu, ia memutar tubuh berjalan meninggalkan tempet tidur, membawa senyum dan tawa yang masih ingin dilihat oleh Jamal.     

"Tapi gue lagi pingin deket sama anak gue," ucap Jamal sambil menatap Rio yang sedang membuka pintu kamar.     

"Ntar sore juga lu udah pulang." Rio menutup pintu kamar, membuat Jamal terdiam, menatap pintu itu dengan tatapan yang sulit diartikan.     

"Gue juga lagi pingin deket terus sama lu," lirih Jamal. Kemudian ia mengehela napas panjang.     

Entahlah, tidak biasanya hari ini Jamal merasa tidak ingin jauh dari Rio.     

~☆~     

Jamal--yang sudah memakai seragam putih abu-abu, sedang mengambil segelas air mineral yang ada di hadapannya, di atas meja makan. Setelah meneguknya hingga tandas, Jamal meletakan kembali gelas tersebut ke tempat semula. Ia baru saja menyelesaikan sarapan pagi, bersama Rio yang sedang duduk di sebelahnya.     

"Yo, hari ini gue males banget sekolah."     

Jamal membuka obrolan, setelah mereka terdiam selama keduanya tengah menikmati sarapan pagi.     

"Biasanya juga males," ucap Rio. Ia juga sudah menghabiskan sarapan paginya, lalu menutupnya dengan meneguk segelas air minum.     

"Tapi hari ini gue bener-bener males, gue bolos aja deh," putus Jamal, menatap penuh harap kepada Rio. Berharap Rio mengizinkan.     

"Jangan ngikutin males, ntar malah jadi kebiasaan." Rio beranjak dari kursinya seraya berkata, "kalo sekarang lu sekolah, trus nilainya bagus gue mau kasih lu sesuatu. Tapi kalau udah operasi kelahiran anak kita."     

"Apa?" Mulut dan bola mata Jamal melebar, ia menatap Rio dengan tatapan tidak percaya. "Lu mau gue kasih hadiah gitu?"     

Rio tersenyum simpul, seraya mengangguk. "Iya makanya sekarang lu sekolah. Biar pinter."     

Sulit dipercaya, pagi ini Jamal benar-benar mendapatkan kejutan yang luar biasa. Pertama; pagi hari untuk pertamakali Jamal melihat Rio tersenyum dan tertawa. Dan yang kedua; baru saja ia mendengar langsung dari mulut Rio, kalau ia akan memberikannya sebuah hadiah.     

Jamal tidak sedang bermimpi kan?     

Plek!     

Jamal memukul pipinya sendiri, untuk membuktikan kalau ia tidak sedang tidur, atau bermimpi. Rasanya sakit, yang bisa ia rasakan, menandakan bahwa Jamal tidak sedang bermimpi.     

"Lu seriu, mau masih gue hadia?" Tanya Jamal menegaskan. Ia juga tidak ingin salah dengar.     

"Denger Jamal, gue nggak pernah main-main sama omongan gue, makannya_"     

"Oke gue sekolah!" Ucap Jamal memotong kalimat Rio. Kemudian tatapannya berpaling, fokus menatap perut Rio yang berada tepat di depan wajahnya. "Tapi, gue boleh pamitan sama anak-anak gue kan?"     

Rio menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, "yaudah, buruan ntar lu telat."     

Senyum Jamal mengembang setelah mendapat ijin dari Rio. Tanpa menunggu lama, ia langsung meraih bagian bawah kaus besar yang sedang dipakai oleh Rio, lalu secara perlahan mengangkatnya ke atas. Sedikit demi sedikit kaus terbuka, hingga akhirnya ia dapat melihat dengan jelas perut gendut yang sedang mengandung anaknya.     

"C-cakra, Anum..." ucap Jamal dengan nada suara yang terdengar gugup. "Papa sekolah dulu ya, kalian nggak boleh nakal."     

Secara perlahan, dengan perasaan ragu Jamal menempelkan kedua telapak tangannya di atas perut Rio. Tatapan matanya menatap teduh perut itu, sambil secara perlahan ia mendekatkan wajahnya ke perut Rio, hingga akhirnya--cup!     

Rio terdiam, tiba-tiba saja aliran daranya mengalir lebih deras saat ia merasakan bibir Jamal dengan lembut mendarat tepat di bagian puser nya. Anehnya, ia seperti tidak bisa bergerak. Bahkan untuk sekedar menjauhkan perutnya dari bibir Jamal pun, ia tidak sanggup. Rio terlihat pasrah, tertegun menatap Jamal dengan tatapan yang sulit diartikan.     

Beberapa saat kemudian, terlihat Jamal mengusap bekas ciuma nya di atas perut Rio. Selesai dengan urusan perut, Jamal mendongakkan kepala menatap Rio yang juga sedang menatap dirinya. "Nitip anak kita ya," ucapnya dengan lembut.     

Lagi-lagi Rio hanya bisa diam sambil mengerutkan wajah, mulutnya juga terasa seperti dikunci, dan tidak mampu berkata apapun.     

'Nitip anak kita' kalimat itu yang membuat Rio tidak mampu berkata-kata. Walaupun sebenarnya ia sering mendengar dan bahkan ia juga pernah mengatakan itu, tapi ia baru tersadar, arti kata 'kita' yang baru saja keluar dari mulut Jamal. Apalagi pada saat menyampaiakan itu, Jamal terlihat penuh dengan perasaan.     

"Gue... berangkat Yo."     

Rio tersentak kaget, saat melihat Jamal sudah berdiri tepat di hadapannya--sambil mencangklongkan tas di sebelah pundak. Ia hanya bisa mengangguk-anggukan kepala untuk menanggapi Jamal.     

Beberapa saat kemudian, Jamal memutar tubuh, berjalan ke arah pintu meninggalkan Rio yang sedang tertegun menatap punggung nya.     

~☆~     

Rio tersenyum simpul saat telapak tangannya sedang meraba tulisan RIO WIRATAMA dengan huruf timbul, pada sampul map yang berisi dokumen, atau surat hak milik atas perusahaan yang diberikan oleh bapak Tama dan ibu Marta.     

"Lu lebih berhak, bukan gue." Gumam Rio, kemudian.     

Menghela napas panjang, kemudian Rio menyimpan kembali dokumen tersebut ke dalam lemari pakaian.     

Setelah menutup pintu lemari rapat-rapat, Rio berjalan ke arah ranjang untuk sekedar duduk santai, sambil beristriahat.     

Atas saran dari dokter Mirna, Rio tidak boleh terlalu banyak diam pada usia kandungannya yang suda semakin tua. Karena hal itu akan membuat tidak baik untuk kesehatan bayi yang ada di dalam perutnya. Oleh sebab itu, setelah Jamal berangkat ke sekolah, Rio memanfaatkan waktunya untuk beres-beres. Hal itu membuat Rio merasa kelelahan dan butuh istirahat.     

Setelah mendudukkan dirinya di tepi ranjang, menggunakan punggung tangan, Rio membersihkan keringat yang sudah menetes di bagian pelipisnya.     

Took... took... took...!     

Suara ketukan pintu yang terdengar dari ruang tamu membuat kening Rio mengerenyit. Remaja itu menoleh, lantas melihat jam yang menempel di tembok--di atas kelapa ranjang, waktu baru menunjukkan pukul 9.00. masih pagi.     

"Bener-bener tuh anak, malesnya nggak ketulungan." Rio misu-misu. Remaja itu menganggap Jamal yang mengetuk pintu, dan sudah pulang dari sekolah. Padahal baru saja ia merasa bangga lantaran Jamal bisa melawan rasa malas. Tapi kenyatanya ia terpaksa menarik rasa bangga, lantaran Jamal belum sepenuhnya berubah.     

Took... took... took...!!     

Rio mengehla napas panjang, sebelum akhirnya ia beranjak dari duduknya--dengan sangat hati.     

Langkah kaki Rio, membawanya hingga sampai pada pintu ruang utama--meski dengan perasaan kesal, lantaran Jamal tidak henti-hentinya mengetuk pintu.     

Took... took... took...!     

"Bentar Jamal, berisik...!"     

Lantaran ingin segera melampiaskan omelannya kepada Jamal, sehingga tanpa berpikir panjang, telapak tangan remaja Rio langsung membuka kunci sambil memutar handle pintu, lalu menariknya, hingga pintu tersebut terbuka lebar.     

Deg!     

Jantung Rio hampir loncat dari tempat asalnya saat mengetahui orang yang mengetuk pintu berulang-ulang ternyata bukan Jamal. Melainkan beberapa orang pria yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Dugaannya tentang Jamal yang sudah pulang sebelum waktunya, ternyata salah besar.     

Rio melebarkan bola mata, sambil menelan ludahnya susah payah, saat melihat pria--berdiri paling depan sedang mengusap kumis dan bewoknya, menatap heran ke arah perutnya.     

"Ka-kalian siapa?" Gugup Rio sambil menatap pria-pria itu satu persatu.     

"Tuh kan, gue bilang apa! Ni cowok beneran hamil!" Ucap Yudis, sambil menunjuk perut gendut, yang sedang dipegang oleh Rio.     

Terlihat Tegar, yang sejak tadi berdiri dibalik tubuh Abraham menampakan dirinya, lalu berdiri tepat di hadapan Rio. Keningnya berkerut, menatap heran ke arah perut gendut itu.     

"Lu...!" Ucap Rio saat ia teringat bahwa Tegar adalah salah satu murid dari SMA Nasional, remaja yang pernah terlibat perkelahian dengan Jamal.     

"Kenapa?" sambar Tegar dengan raut wajah yang terlihat sinis. "Lu inget sama gue?"     

"Mau apa kalian ke sini?" Ketus Rio. Ia berusaha mengumpulkan sisah-sisah keberaniannya, meski di hati ia merasa sangat cemas, bahkan takut. Entahlah, perasaannya mendadak tidak enak.     

"Kita cuma penasaran, pingin liat sama mata kepala sendiri, beneran nggak ada cowok bisa hamil!" Sahut Abraham, sambil menunjuk perut Rio yang gendut. "Kalau kita-kita mau bikin lu hamil lagi, gimana? Mau?"     

Deg!     

Kalimat Abraham refleks membuat bola mata Rio melebar sambil menelan saliva, detik itu juga remaja itu langsung menyadari, bahwa dirinya sedang dalam bahaya.     

"Ha... ha... ha...!"     

Gelak tawa pria-pria dihadapannya, membuat tubuh Rio gemetar, dan wajahnya mendadak pucat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.