Perasaan itu semakin terasa
Perasaan itu semakin terasa
"Santai aja Ri, nggak usah malu." Oleh sebab itu Kiki berusaha membuat Rio menjadi nyaman, agar tidak canggung dengan dirinya. "Gue malah merasa beruntung bisa lihat cowok hamil. Dan ternyata itu temen gue sendiri. Lu juga harusnya beruntung Ri, takdir udah ngasih kelebihan sama elu yang bisa hamil. Sementara diluar sana, banyak lho perempuan yang bersedih karena nggak bisa hamil."
Kata-kata Kiki membuat ibu Marta mengulas senyum, wanita elegan itu jadi teringat akan kondisinya yang tidak akan pernah bisa hamil lagi setelah kelahiran Jamal. Namun ia tidak ingin menceritakan masalahnya kepada siapapun, kecuali suaminya, karena itu akan membuat dirinya terluka. Ibu Marta bukan tipe orang yang suka pamer akan kesedihan.
"Ki," panggil ibu Marta yang membuat Kiki dan Rio menatap ke arahnya. "Sebagai ucapan terimakasih, nanti tante akan minta sama papa-nya Jamal supaya memasukkan papa kamu kerja di perusahaan kami. Dan kami juga akan memutus hubungan kerja, dengan perusahaan orang tuanya, pacar kamu itu."
"Benaran tante?" Ucap Kiki seolah tidak percaya.
Ibu Marta hanya tersenyum simpul seraya menganggukkan kepala, menanggapi pertanyaan Kiki.
"Terimakasih tante." Terlampau bahagia hingga membuat gadis itu refleks menghamburkan tubuhnya, memeluk erat ibu Marta.
Tidak hanya Kiki, terlihat ibu Hartati dan Rio juga ikut merasakan kebahagiaan yang tengah dirasakan oleh gadis penyelamat itu. Terlihat dari bibir keduanya yang melengkung, menghasilkan senyuman.
"Gue rasa mereka uda salah sasaran," celetuk Rio tiba-tiba. Cowok yang masih berbaring lemah itu, menganggap bahwa Tegar dan teman-temannya sudah salah menggunakan Rio untuk membalas dendam kepada Jamal. "Gue yakin, walaupun gue kenapa-napa, nggak akan ngaruh apa-apa buat Jamal."
"Sayang kok kamu ngomong gitu?" Heran ibu Marta saat mendengar pernyataan Rio barusan.
"Iya mah, mereka bilang, katanya kalau nyakitin aku, Jamal bakalan ngerasain sakit juga. Itu kan nggak ada hubungannya samasekali sama aku," ujar Rio menjelasakan. "Setau aku, Jamal nggak pernah sayang sama orang. Walaupun aku lagi ngandung anaknya, tapikan bukan aku orang spesial buat dia. Dia nggak sayang sama aku. Jadi nggak salah kalau aku bilang mereka salah orang." Rio tersenyum simpul, menatap ibu Marta yang masih menatapnya heran.
"-Jamal cuma sayang sama anaknya, peduli sama bayi yang masih di dalam perutku. Bukan sama aku. Mama tau kan, ceritanya, gimana aku bisa sampai hamil?" Lanjut Rio. Kemudian ia menghela napas panjang.
"Tapi aku udah maafin dia kok, mah. Tinggal berdua sama Jamal aku jadi ngerti kalau dia ternyata bisa perhatian, dan tanggung jawab," Rio melihat perut gendutnya, kemudian mengusap-usapnya pelan. "Sama anaknya."
Yang dikatan Rio memang benar, yang ia tahu selama ini Jamal mau melakukan apapun hanya untuk, atau demi anaknya. Bahkan Rio sering memanfaatkan itu hanya untuk membuat Jamal menuruti kata-kata nya.
"Tapi kok, gue ngeliatnya enggak gitu yah, Ri," cetus Kiki menimpali.
Seluruh pasang mata, Kini berali menatap ke arah gadis itu.
"Maksud, lu?" Tanya Rio.
"Yah, menurut gue kesimpulan lu itu salah. Soalnya waktu gue kasih tahu Jems, gua nggak bilang kalau anak nya yang lagi dalam bahaya, tapi elu." Kiki menghela napas. "Lu tau? gimana paniknya dia waktu gue kasih tau kalau lu dalam bahaya?" Gadis itu terdiam, menatap Rio sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. "Dia bener-bener ketakutan, dia cemas, dan dia bener-bener nggak mau kalau lu kenapa-napa."
Mendengar penjelasan Kiki entah kenapa ada perasaan haru yang tiba- tiba saja muncul di dalam hatinya. Kenapa ia harus se-bahagia ini jika benar Jamal mengkhawatirkan dirinya? Cuma Jamal kan? Laki-laki, sama seperti dirinya. Bahkan saat pertama mengenal Jamal, rasa tidak suka, bahkan benci langsung muncul dalam dirinya. Ditambah dengan perbuatan Jamal terhadap dirinya. Rasa benci itu, semakin berlipat ganda. Tapi sekarang, kenapa malah jadi berubah begini?
Kalau boleh jujur, sebenarnya perasaan haru dan bahagia itu sangat bertentangan dengan pikiran atau akal sehat Rio. Tapi mau bagaimana lagi? Perasaan itu datang dengan sendirinya tanpa ia minta.
"Logikanya Ki, gue lagi ngandung anak dia. Artinya kalau terjadi apa-apa ama gue, pasti akan pengaruh juga buat anak dia, anak gue juga."
Rio berusaha mengelak, mengabaikan, bahkan membuang jauh-jauh perasaan itu supaya tidak tumbuh dan semakin berakar. Tentu saja ia juga tidak mau kalau nantinya akan kecewa jika ternyata Jamal memang benar-benar tidak seperti apa yang dikatakan oleh Kiki barusan. Mumpung belum terlalu jauh, tidak ada salahnya Rio mengantisipasi. Lagipula, hadiah yang sudah ia berikan kepada Jamal setelah bayinya lahir, sudah ia pikirkan matang-matang.
"Sayang, kamu ini ngomong apa?" tegur ibu Marta kemudian. Wanita benar-benar tidak suka mendengar pernyataan Rio barusan. "Mama yakin, Jamal pasti peduli kok sama kamu. Mama kira kalian uda baikkan, tapi kenapa malah jadi seperti ini?"
"Mah, walaupun aku bisa hamil, tapi aku ini tetep laki-laki. Jamal masih punya akal sehat buat memilih siapa yang berhak buat di sayang sama dia." Ucap Rio mencoba untuk membuat ibu Marta mengerti. "Aku juga gitu kok mah, sama kayak Jamal." Rio megulas senyum, meski sebenarnya ragu dengan apa yang baru saja ia ungkapkan.
"Tapi Ri_"
"Permisi."
Ibu Marta terpaksa menggantungkan kalimatnya, lantaran dokter Mirna baru saja masuk ke dalam ruangan.
"Tadi aku denger lho dari ruanganku. Kenapa Rio nya diajakin ngobrol terus sih," omel dokter Mirna ketika ia sudah berada di dekat Rio dan lainnya. "Rio masih perlu banyak istirahat ibu-ibu. "
"Aku uda baikkan kok dok, nggak papa." Ucap Rio. Ia menunjukkan wajah cerianya supaya dokter Mirna percaya kalau ia baik-baik saja.
"Iya, tapi tetep, kamu masih perlu banyak istirahat," tegas wanita berjas putih itu. Kepada ibu Marta, dokter Mirna menunjukkan map, berisi hasil tes yang baru saja ia periksa di ruangan berbeda. "Oh iya bu Marta, ada kabar baik yang pingin saya sampaikan sama kalian."
"Kabar baik apa dok?"
Ibu Marta, ibu Hartati, Rio dan juga Kiki menatap tidak sabar kepada dokter Mirna.
"Begini, setelah saya periksa ternyata bayi dalam kandungan Rio sudah cukup kuat untuk melakukan operasi."
"Ah, yang bener?" Sambar ibu Marta. Wanita itu terlihat sangat bahagia.
Dokter Mirna tersenyum simpul, sambil menganggukkan kepalanya.
"Syukurlah," ucap ibu Hartati sambil mengusap puncak kepala Rio.
"Kira-kira kapan operasinya dok?" Tanya ibu Marta sudah tidak sabar.
"Nunggu Rio benar-benar pulih. Sekalian juga nunggu kedatangan dokter dari luar negeri." Jelas dokter Mirna. "Mungkin empat atau lima hari lagi."
"Semangat ya Ri." Ibu Hartati mencoba memberikan dukungan moril kepada anaknya. "Kita harus yakin, semua pasti baik-baik aja."
Rio tersenyum simpul. "Iya, bu." Namun detik berikutnya, wajahnya berubah menjadi datar dan terlihat murung.
Entahlah, kenapa ia malah jadi tidak ingin cepat-cepat melakukan operasi? Apa iya, Rio masih ingin terus dekat dengan Jamal, merasakan kasih sayangnya meski hanya sebagai perantara. Kalau anaknya sudah lahir, tentu saja secara otomatis ia tidak akan pernah lagi mendapat imbas kasih sayang dari Jamal.
Lalu, kenapa ia akan merasa sangat kehilangan?