Cowok Hamil

Heru ketahuan sama Irawan



Heru ketahuan sama Irawan

1Haru dan Irawan baru saja masuk ke dalam kamar--milik Heru, lalu kedua cowok berseragam putih abu-abu itu, berjalan mendekati tempat tidur.     

Setelah meletakkan tas gendong diatas kasur, Heru menatap Irawan yang sedang berdiri di hadapannya. "Tunggu bentar ya Wan, gue ambil minum dulu di dapur."     

Irawan tersenyum nyengir, sambil menganggukkan kepala. Kemudian setelah Heru keluar dari kamar, remaja itu menjatuhkan pantat di tepi ranjang, mendudukkan dirinya di sana.     

Sekedar informasi, setelah pulang dari sekolah, Heru dan Irawan memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Kedua remaja itu masih merasa penasaran dan ingin mencari keberadaan Rio sampai benar-benar ketemu.     

Namun sayang, keduanya harus menelan mentah-mentah rasa kecewa. Jangankan keberadaan Rio, kabar tentang Rio saja, mereka tidak berhasil mendapatkannya.     

Sahabat terbaik hilang bak ditelan angin, pergi tanpa pesan, rasanya benar-benar sesak.     

Sebagai teman baik, tentunya mereka sangat kehilangan. Mereka juga sangat mengkhawatirkan Rio dan ingin memastikan kalau keadaan Rio baik-baik saja.     

Namun sulitnya mendapatkan informasi tentang Rio, membuat keduanya lelah. Hingga akhirnya mereka menyerah dan putus asa, lalu mereka memutuskan untuk pulang ke rumah Heru.     

Rasa lelah itu membuat Irawan ingin beristirahat sejenak, menghamburkan tubuhnya di atas kasur, tidur terlentang, sambil menatap langit-langit kamar.     

Irawan menggeliat, untuk merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku. Tanpa sengaja telapak tangannya menyelusup masuk di bawah bantal. Keningnya berkerut, saat ia merasakan, telapak tangannya menyentuh sebuah benda seperti kertas.     

Merasa penasaran, lantas membuat Irawan ingin mengambil benda tersebut, mengeluarkannya dari bawah bantal. Kening Irawan berkerut saat mengetahui bahwa benda tersebut, adalah sebuah foto. Remaja itu tersenyum simpul melihat gambar pada foto itu--adalah wajah Rio.     

Lagi-lagi karena tidak sengaja, Irawan membalik foto bergambar wajah Rio tersebut. Keningnya berkerut melihat ada sebuah tulisan di balik foto.     

Tiba-tiba saja ia merasa heran, rasa penasarannya menjadi kuat dan semakin ingin membaca tulisan tersebut, saat ia melihat ada lambang hati tertera bagian bawah tulisan dibalik foto.     

Perlahan Irawan bangkit dari tiduran nya, mendudukkan diri di tepi ranjang, lalu mulai membaca rangkaian kata yang tersusun rapi, hingga terbentuk beberapa kalimat.     

#foto Rio.     

'Dunia emang kejam, dan takdir itu enggak adil. Kenapa takdir harus menghadirkan perasaan ini? perasaan yang nyiksa karena aku suka sama kamu. Kenapa takdir kasih aku cinta ke kamu, kalau takdir sendiri tidak mengizinkan aku buat bisa miliki kamu.'     

'Rio... sory, gue suka sama elu... Gue juga sayang sama elu.'     

I ♡ U     

Irawan terdiam sambil menelan ludahnya susah payah--setelah selesai membaca isi hati yang ditulis oleh tangan Heru. Wajahnya berubah menjadi tegang. Remaja itu benar-benar merasa shock saat mengetahui jika selama ini, ternyata Heru menyukai Rio.     

Irawan menghela napas panjang. Ada perasaan bersalah, timbul dalam dirinya lantaran sudah lancang membaca privasi orang lain, tanpa meminta ijin kepada pemiliknya.     

"Wan..."     

Deg!     

Jantung Irawan seperti akan loncat dari tempatnya, saat mendengar Heru tiba-tiba saja memanggil namanya.     

Perasaan takut, merasa bersalah, dan tidak enak berkumpul menjadi satu dalam dirinya, saat melihat Heru berdiri mematung, dengan tubuh yang terlihat gemetaran.     

Irawan bisa merasakan ketakutan yang sedang dirasakan oleh remaja itu.     

"He-heru..." gugup Irawan.     

Perasaan gugup itu membuat Irawan tanpa sengaja menjatuhkan foto bergambar wajah Rio.     

Secara bersamaan Irawan dan Heru menatap foto yang kini sudah berada di lantai, di dekat telapak kaki Irawan.     

"S-sory," lirih Irawan. Wajahnya terlihat sangat bingung, dan tidak mampu berkata-kata lagi.     

Heru pasti akan marah besar. Hanya itu yang ada di pikiran Irawan saat ini.     

Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya Heru hembuskan secara perlahan. Remaja itu mencoba memberanikan diri berjalan mendekati Irawan sambil membawa nampan, yang di atasnya ada dua gelas berisi jus jeruk.     

Meletakan nampan tersebut di atas meja, kemudian Heru mendudukkan dirinya di tepi ranjang, di samping Irawan.     

Hening.     

Keduanya hanya terdiam, setelah Heru menjatuhkan pantatnya di atas kasur. Keadaan itu membuat keduanya gugup, hingga bingung mau berkata apa.     

Menghela napas panjang, sebelum akhirnya Irawan memecah keheningan. "Sory, g-gue nggak sengaja." Yah, sepertinya kata 'maaf' adalah kata yang tepat untuk memulai sebuah obrolan.     

Heru menelan ludah, lantas "Nggak papa," sahutnya. "Lu yang pertama tau soal gue." Beritahu Heru tanpa menatap wajah Irawan. Remaja itu belum punya keberanian untuk itu.     

Irawan memutar kepala, menoleh ke arah remaja disebelahnya. "Emang, lu belum ngasih tau dia?"     

Heru menggelengkan kepalanya, pelan. "Gue takut dia muntah gara-gara tau gimana gue. Gue juga nggak mau dia ngejauhin gue." Menggunakan telapak tangan Heru menyeka air yang mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia berusaha mati-matuan supaya air mata itu jangan lolos, dan membasahi pipinya.     

Menjadi seorang gay, lalu jatuh cinta pada pria normal memang menyakitkan. Jangan salahkan Heru jika akhirnya, air mata itu lolos begitu saja.     

Irawan menghela napas, menatap iba pada remaja itu. "Gue paham..." ucapnya.     

"Kalau lu mau muntah, mau ngeludahin gue, gue nggak apa-apa. Atau lu mau ngejauhin gue juga nggak apa-apa." Setelah menyampaikan itu, suara isakkan terdengar dari mulut remaja itu. Ia tahu persis bagaimana pandangan orang-orang tentang kaum sepertinya. Sangat menyakitkan. Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa ia harus menyimpan rapat-rapat bagimana perasaannya. Walaupun kadang ia benar-benar merasa tidak kuat.     

"Kok, lu ngomong gitu?" Irawan mengerutkan kening, menatap heran kepada Heru.     

"Biasanya kan gitu. Orang-orang bakal ngejauhin orang-orang kayak gue." jelas Heru sambil kembali menyeka air mata yang sulit ia bendung lagi. Terus mengalir hingga membanjiri pipi mulusnya.     

Irawan menghela napas sebelum akhirnya ia berkata. "Jangan naif, lu harus kuat. Dan gue nggak seperti apa yang lu pikir." Remaja itu mencoba untuk menenangkan perasaan Heru.     

"Jadi, lu nggak bakalan ngejauhin gue, walaupun lu udah kalau gue_" Heru mengantungkan kalimatnya karena tiba-tiba saja, telapak tangan Irawan menutup mulutnya, membuatnya terkejut hingga bola matanya melebar.     

"Jangan diterusin." Menggunakan telapak tangannya, dengan lembut Irawan membantu membersihkan air mata yang sudah membasahi wajah temannya.     

"-nggak ada yang salah dalam diri lu, jadi kenapa gue harus ngejauh? Gue yakin, lu juga nggak mau kayak gini. Lu berhak punya temen. Sebenarnya ini cuma masalah perasaan aja kok. Perasaan yang gue yakin pasti nggak bakal ada yang mau kalau dikasih pilihan. Selama nggak ngerugiin orang lain, lu bebas buat ngikutin perasaan elu."     

Hipotesis Irawan membuat Heru merasa terharu. Remaja itu tidak menyangka dengan pola pikir Irawan. Ternyata masih ada orang seperti Irawan di dunia ini.     

Dan sekarang Heru menjadi sedikit lega karena bisa mencurahkan perasaan, dan menceritakan rahasianya yang selama ini sudah ia tutup rapat-rapat.     

"Thank's Wan..." ucap Heru ditengah isakannya. "Seenggaknya, gue jadi ada temen buat nyurhatin perasaan gue."     

Irawan tersenyum simpul. Mencoba untuk lebih menenangkan perasaan Heru, ia meraih tengkuk remaja itu, menariknya pelan, lalu menyandarkan kepala Heru di dada bidangnya. Dengan lembut remaja Irawan mengusap usap punggung teman sekolahnya.     

"Udah, nggak perlu nangis. Apa coba yang musti ditangisin? Nikmatin aja perasan kayak gitu. Gue yakin diluar sana, pasti banyak yang ngalamin kayak lu. Lu nggak sendiri." Gerakan mengusap, kini berubah memukul-mukul pelan punggung Heru. "Cuma kalau boleh gue kasih saran, lu harus belajar lupain Rio. Lagian, sekarang kita nggak tau dimana dia. Percuma juga kan, lu suka sama orang, yang lu sendiri nggak tau di mana dia. Yang ada malah tambah nyiksa batin lu sendiri."     

Tentu saja Irawan tahu. Karena dasarnya, kepada siapapun perasaan itu jatuh, pasti akan sangat menyakitkan jika perasaan itu hanya dirasakan sepihak.     

Heru menghela napas panjang. "Iya, sebenarnya gue juga udah belajar ngelupain dia kok. Gue capek, gue udah belajar buang perasaan gue ke dia.     

"Bagus deh kalau gitu," sahut Irawan. "Gue yakin, lu bisa lupain dia."     

Secara perlahan, Heru mengurai pelukannya pada tubuh Irawan--setelah hati dan perasaannya sudah lebih tenang. Remaja itu tersenyum simpul, menatap wajah Irawan, sambil membersihkan sisa-sisa air mata di wajahnya.     

"Ngomong-ngomong udah mau malem, lu nggak pulang?" Ucap Heru kemudian.     

Hal itu tentu saja membuat kening Irawan berkerut, menatap heran remaja itu. "Jadi, gue diusir ni?" Lalu menghela napas. "Bukanya dari awal tadi, rencananya gue nginep di sini yah? lu juga nggak keberatan."     

"Eh, bukan gitu," sahut Heru gugup. "Gue malah ngira lu berubah pikiran, setelah lu tau kalau gue kayak gini." Heru cuma sadar diri, laki-laki normal seperti Irawan, pasti akan tidak nyaman tidur berdua dengan dirinya.     

Irawan mendengkus kesal. Lantas menggunakan telunjuk dan ibu jarinya, remaja itu menjepit hidung Heru lalu menariknya pelan. "Kan udah gue bilang, gue nggak seperti apa yang lu pikir."     

Heru tersenyum nyengir sambil memegangi hidungnya yang bekas ditarik Irawan. "Jadi lu nggak takut sama gue?"     

"Homo? Siapa takut?" Gurau Irawan yang membuat kedua remaja itu akhirnya tergelak.     

"Bisa aja lu," ucap Heru setelah tawanya terhenti.     

Remaja Heru terdiam, sambil mengulas senyum, menatap Irawan dengan tatapan yang sulit diartikan. "Thank's Wan," ucap Heru di dalam hati. Setelahnya, ia menghela napas panjang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.