Cowok Hamil

Anak kita



Anak kita

1Setelah memarkirkan motor di halaman klinik milik dokter Mirna, Jamal berlari kencang menuju ruangan, dimana Rio dan bayinya dirawat.     

Brugh!     

"Adau... Sial!"     

Jamal mengadu mulutnya meringis merasakan sakit pada lutut dan bokongnya, saat dirinya terpeleset, lalu terjatuh di lantai.     

Maklum saja, cowok itu terlalu terburu-buru, tidak sabar ingin segera sampai di ruangan Rio. Sehingga ia tidak menyadari jika lantai yang ia lewati terasa licin, karena baru saja dipel oleh karyawan dokter Mirna.     

Mengabaikan rasa sakitnya, Jamal berusaha bangkit dengan susah payah, lalu melanjutkan perjalanannya, sambil memegangi bokong yang terasa ngilu akibat benturan dengan lantai keramik.     

Menghela napas panjang, Jamal kembali berlari kencang.     

~☆~     

Sementara itu di dalam ruangan, Rio sedang berbaring di atas tempat tidur dengan kondisinya yang masih terlihat lemah. Remaja itu masih memakai pakaian khusus untuk pasien berwarna hijau tua, dan kepalanya masih ditutupi menggunakan surgeon cup, atau topi khusus untuk pasien.     

Selimut bermotif garis-garis menutupi tubuh Rio hanya sampai di bagian dada.     

Wajahnya terlihat datar--cenderung lesu, bibirnya tersenyum tipis saat melihat ibu Marta, ibu Hartati dan juga Letta, sedang sibuk melihat Cakra dan Anum yang sedang tidur dalam satu ranjang bayi, berukuran besar.     

"Aduuh... lucunya..." gemes ibu Marta melihat wajah cucu laki-lakinya. Menggunakan punggung telunjuknya, wanita itu dengan lembut menyentuh pipi Cakra, membuat yang disentuh menggeliat manja, dengan mata yang masih terpejam. "Ya ampun, gak mau dipegang ya cayang, maapin uti ya cayang." Ucap ibu Marta dengan suara mode manja.     

"Oek...!"     

Ibu Hartati sedikit tersentak, saat mendengar tangisan singkat dari Anum, setelah wanita itu menyentuh hidung cucunya.     

"Adu adu... pelitnya, dipegang aja engak mau cih. Nenek nggak boleh centuh-centuh yaa?" Sama seperti ibu Marta, ibu Hartati juga terlihat memanjakan cucunya.     

Gaya bicara mereka dibuat seolah-olah mereka cadel.     

Anum menggeliat manja, bibirnya yang mungil dan merah bergerak-gerak cepat, terlihat seperti sedang mengenyot botol susu.     

"Ya ampun tante, aku gemes banget. Lucunya mereka..." Celetuk Letta. Gadis itu menatap gemes ke arah Anum sambil menidurkan kepalanya di lengan ibu Hartati. "Aku pingin gendong mereka tante." Manik mata Letta melirik ke arah ibu Hartati. "Boleh tan?"     

"Jangan Letta, nggak boleh!" sahut ibu Marta, nada suaranya terdengar tegas. "Masih kecil kamu nggak akan bisa. Nanti aja kalau udah tujuh tahun, baru kamu boleh gendong." Menggunakan telapak tangan ibu Marta menutupi mulutnya yang sedang tersenyum simpul--mengejek keponakannya.     

"Ih tante, pelit. Tujuh tahun udah besar dong. Berat!" Protes Letta.     

"Bu..."     

Suara Rio saat memanggil ibu Hartati, membuat ketiga wanita itu menoleh, fokus menatap Rio yang masih berbaring di tempat tidurnya.     

"Kenapa sayang?" sahut ibu Marta. "Kamu pengen apa?"     

Rio mengulas senyum. "Aku pingin liat mereka dari deket, boleh kan?"     

Sejak operasi selesai dilakukan, hingga detik ini, Rio memang belum melihat kedua bayinya dari jarak yang dekat. Cowok itu hanya bisa melihat kedua bayinya dari tempat ia berbaring saja.     

Ibu Hartati dan ibu Marta terlalu bahagia, sampai- sampai mereka melupakan kalau orang yang sudah mengandung Cakra dan Anum belum melihatnya dengan jelas.     

"Ya ampun... sampe lupa," ucap ibu Marta. "Maap kita terlalu seneng liatin mereka. Jadi lupa sama kamu, Ri."     

"Yaudah, biar Cakra sama Anum tidur di deket Rio, sebentar aja tapi ya," Usul ibu Hartati.     

Secara perlahan, dengan sangat hati-hati ibu Hartati mengangkat tubuh mungil Anum. Setelah Anum berada dalam bopongannya, ibu Hartati berjalan ke arah Rio, di ikuti ibu Marta yang juga sudah menggendong Cakra.     

Terlihat Letta mengekor dibelakang para ibu yang sudah menjadi nenek. Gadis cantik berambut panjang itu juga belum puas melihat wajah menggemaskan kedua keponakannya.     

Di tempat tidurnya, Rio sedang beringsut--menggeser tubuhnya, memberikan ruang atau tempat untuk kedua bayinya yang akan tidur di sampingnya. Cowok itu mengulas senyum, bola matanya tidak berkedip mengikuti pergerakan ibu Marta dan ibu Hartati, yang sedang berjalan ke arahnya, sambil membopong Cakra dan Anum.     

Sesampainya disamping tempat tidur, dengan sangat hati-hati ibu Hartati dan ibu Marta menidurkan kedua cucunya, di samping Rio.     

Deg!     

Jantung Rio berdenyut kencang. Cowok itu terdiam sambil menelan ludahnya, menatap haru kepada dua bayi yang sedang menggeliat manja sambil tersenyum dengan mata yang terpejam.     

Rasanya sangat sulit dipercaya, namun itulah kenyataannya. Dua bayi yang sedang berada di hadapannya ini, adalah anak kandunnya. Kurang lebih selama hampir sembilan bulan, ia juga yang sudah mengandung kedua bayi tersebut.     

Perasaan sedih, bahagia dan terharu, berkumpul menjadi satu dalam diri Rio, membuat ia menjadi kesulitan untuk membuka suaranya. Tanpa ia sadari bola matanya sudah dipenuhi dengan genangan air mata.     

Menggunakan punggung tangannya, Rio menyeka bulir-bulir air di pelupuk mata, yang hampir saja jatuh ke pipinya. Bersamaan dengan itu terdengar suara isakkan yang tertahan, dari mulut cowok itu. Entahlah, ia menjadi lemah saat melihat wajah imut milik kedua bayinya.     

Terlihat ibu Marta berjalan mengitari tempat tidur, lalu ia berhenti di balik punggung Rio. Dengan lembut kedua telapak tangan ibu Marta memijat- mijat punggung Rio, untuk memberikan dukungan dan juga ketenangan.     

"Nggak usah nangis, Rio." Suara ibu Marta terdengar lembut, penuh keibuan.     

Menatap wajah polos Cakra dan Anum, kemudian ibu Marta berkata. "Tuh liat, mereka itu lucu-lucu, gemesin." Ibu Marta merasa peka dengan apa yang tengah dirasakan oleh menantunya.     

Setelahnya ibu Marta membungkuk, mendekatkan wajahnya pada wajah Rio, sementara sorot matanya masih lurus menatap kedua cucunya.     

"Anum itu percis seperti papanya. Jamal dulu juga usil, nggak mau diem waktu masih kecil," ucap ibu Marta mencoba menghibur Rio.     

Rio hanya tersenyum simpul, suara isakkan singkat kembali terdengar dari mulutnya, pada saat ia sedang menyeka air mata yang sudah mengalir di pipinya. Cowok itu benar-benar tidak mampu berkata apa pun. Anugrah ini terlalu indah baginya.     

"Kalau Cakra itu mirip kamu Ri," celetuk ibu Hartati kemudian. "Diem, hampir nggak pernah nangis."     

Lagi, Rio mengulas senyum, kemudian ia fokus menatap lekat-lekat wajah Cakra yang sedang tenang dalam tidurnya.     

"Ya iya lah tante... Cakra sama Anum kan anaknya Rio dan Jamal. Pasti mirip mereka. Masa iya mau mirip sama aku," celetuk Letta yang ditanggapi senyum simpul oleh ibu Marta dan ibu Hartati.     

"Bisa aja kamu," sahut ibu Marta.     

Letta tersenyum nyengir, menatap bayi laki-laki di samping Rio. "Cakra juga cakepnya kaya Rio."     

Rio tersenyum simpul.     

Grek!     

Suara pintu ruangan yang mendadak dibuka oleh seseorang, membuat Rio dan yang lainnya sontak menatap ke arah pintu tersebut. Mereka terdiam, menatap heran kepada seorang remaja mengenakan seragam putih abu-abu, sudah berdiri di ambang pintu, sambil memegang handle pintu.     

Hening.     

Tidak ada suara yang terdengar saat Jamal sedang berdiri mematung, dengan sorot mata menatap haru pada dua bayi yang sedang tidur di samping Rio.     

Hanya suara deru napas yang memburu terdengar dari mulut Jamal. Melihat dada dan punggungnya yang bergerak naik turun, sudah dipastikan kalau Jamal sedang kelelahan setelah ia berlari sangat kencang.     

"Lho... kok kamu udah pulang Mal?" Ibu Marta memecah keheningan yang sempat terjadi selama beberapa saat.     

Mengabaikan pertanyaan ibunya, Jamal menelan saliva. Cowok itu menjatuhkan tas sekolahnya ke lantai, sebelum akhirnya ia berjalan ke arah ranjang, dimana ada Rio dan kedua bayinya tengah berbaring di sana.     

Seluruh pasang mata mengikuti pergerakan tubuh Jamal yang sedang berjalan dari pintu ruangan, hingga cowok itu sampai di sisi tempat tidur, di samping Rio.     

Rio harus mendongakkan kepala, menatap wajah Jamal yang posisinya lebih tinggi dari dirinya.     

Tidak menyadari tatapan cowok di depannya, Jamal hanya terdiam, bola matanya berbinar menatap dua bayi yang masih tertidur--namun bibirnya tersenyum.     

"Itu Cakra sama Anum," beritahu ibu Hartati sambil memegang pundak Jamal, membuat cowok itu sekilas menatapnya, lalu kembali fokus menatap lekat kedua bayinya.     

Secara perlahan ibu Hartati mendorong lengan Jamal, membimbingnya supaya duduk di tepi tempat tidur. "Duduk dulu nak Jems," perintah wanita itu yang langsung dituruti oleh Jamal, duduk di tepi tempat tidur di samping kedua bayinya.     

Sehingga Cakra dan Anum kini berada ditengah- tengah kedua orang tuanya. Jamal dan Rio.     

Jamal mengulas senyum. "Mana yang Cakra bu?" Tanya cowok itu.     

Jamal tidak sempat memperhatikan saat ibu Hartati memberi tahunya, barusan. Selain itu, memang sangat sulit untuk mengetahui jenis kelamin bayi jika hanya dengan melihat wajahnya saja. Kecuali kalau bayi tersebut sedang telanjang bulat.     

Dengan sangat sabar ibu Hartati kembali memberitahu Jamal. Menggunakan telapak tangannya ibu Hartati menunjuk satu persatu kedua cucunya. "Yang lagi diem ini yang Cakra, kalau Anum yang ini. Dari tadi usil aja nggak mau diem, gerak-gerak terus."     

Senyum Jamal mengembang setelah mendengar ibu Hartati memberitahunya. Cowok itu menatap lekat-lekat wajah Anum yang masih terpejam, namun tubuhnya tidak bisa diam selalu bergerak-gerak. Detik berikutnya ia tersenyum nyengir hingga mempertontonkan giginya yang putih dan terawat.     

"O-oh, berati ini Cakra," menggunakan punggung telapak tangan, dengan lembut Jamal menyentuh wajah Cakra, membuat yang disentuh menggeliat manja, seperti sedang merasakan sentuhan telapak tangan ayahnya. "Cakep ya," ucapnya.     

"Papanya juga cakep, pasti anaknya ikutan cakep." puji ibu Hartati yang membuat rona wajah Jamal menjadi bersemu merah.     

"Anum nya juga cantik," ucap Jamal setelah ia mengalihkan pandangannya ke arah Anum.     

Sementara Rio hanya tersenyum tipis, sambil menatap Jamal dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian Rio mengerutkan kening, sambil menelan ludahnya susah payah saat secara tiba-tiba Jamal menoleh, mengalihkan pandangan ke arahnya.     

Desir-desir aneh kembali mereka rasakan saat mola mata keduanya bertemu, saling bersitatap, selama beberapa saat.     

"Yo," panggil Jamal kemudian. Bola matanya mendadak nanar, menatap haru kepada wajah Rio yang masih terlihat lemas.     

Rio menelan ludah. "I-iya Kenapa?" jawabannya.     

"Anak gu-" kalimat Jamal menggantung. Ia terdiam sebelum akhirnya meralat kata yang belum sempat terucap. "Anak kita, udah lahir."     

Rio mengulas senyum, sesuatu entah apa, seperti sedang menyentuh hatinya, membuat cowok itu kembali berdesir. "I-iya anak kita."     

"Gimana, apa lu kesakitan?" tanya Jamal menatap teduh wajah Rio.     

Lagi, Rio tersenyum tipis sembari membuang napas lembut. "Enggak, malah gue nggak ngerasain apa-apa." Jawab Rio jujur.     

Akibat pengaruh obat bius, membuat cowok itu tidak merasakan apapun pada saat dioperasi. Selain itu, pak Tama dan ibu Marta memberikan yang terbaik untuk kelangsungan operasi.     

Jamal tersenyum nyengir, "kasih tau gue kalo ada yang sakit."     

Rio menjawabnya hanya dengan tersenyum tipis.     

Setelah menyampaikan itu, Jamal kembali mengalihkan pandangannya kepada Cakra dan Anum, menatap lekat-lekat wajah menggemaskan itu secara bergantian.     

Tidak berbeda dengan Rio, Jamal juga merasakan haru, dan bahagia bercampur menjadi satu dalam dirinya. Sulit di percaya, hari ini ia benar-benar sudah menjadi seorang ayah dari dua bayi yang dikandung oleh seorang laki-laki. Meski usianya masih terlalu muda, dan terlalu cepat untuk menjadi ayah, namun cowok itu merasa sangat beruntung, dan bangga.     

Setelah menatap lekat-lekat wajah kedua anaknya, Jamal membungkuk. Secara perlahan cowok itu berusaha mendekatkan wajahnya pada wajah kedua bayinya. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya, hidung mancung dan bibir seksi milik Jamal, mendarat dengan lembut di kening Cakra, membuat Cakra menggelait--menggerakan wajahnya seperti akan membalas ciuman dari ayahnya.     

Beberapa saat kemudian, setelah mencium kening Cakra, Jamal memindahkan ciumannya di kening Anum. Tidak jauh berbeda dengan Cakra, Anum juga menggerakkan wajahnya seperti ingin membalas ciuman Jamal. Hanya saja, Anum terlihat lebih agresif.     

Bola mata Rio berbinar, cowok itu merasa sangat terharu dan tertegun, menyaksikan apa yang tengah dilakukan oleh Jamal kepada darah dagingnya. Hatinya semakin berdesir hebat.     

Perasaan haru tidak hanya dirasakan oleh Rio, Ibu Marta sebagai ibu kandung Jamal, juga merasa terharu hingga membuat bola matanya sampai berkaca-kaca. Wanita itu tidak menyangka, Jamal yang bandel, Jamal yang susah diatur, Jamal yang nakal, Jamal yang brutal, Jamal yang keras kepala, hari ini berubah drastis--seratus delapan puluh derajat, menjadi hangat, manis dan sangat lembut.     

Ibu Marta seperti melihat sosok lain dalam diri Jamal. Cowok itu seperti lemah di hadapan dua malaikat kecil yang sangat mengemaskan.     

Yah memang, senakal-nakalnya laki-laki, dia akan berubah menjadi hangat kalau sudah menjadi ayah.     

Sementara ibu Hartati dan Letta yang sedang berdiri berdampingan, mereka saling tersenyum simpul sambil menatap Jamal yang sedang mencium kening kedua anaknya.     

"Selamat ya, Jems lu udah jadi ayah sekarang," ucap Letta menatap punggung sepupunya. "Lu juga selamat ya Ri, udah jadi_" Letta menggantungkan kalimatnya. Gadis itu bingung memberi sebutan apa untuk cowok yang bisa hamil itu.     

Jamal dan Rio saling bersitatap, keduanya terdiam sebelum akhirnya Jamal tersenyum nyengir.     

"Dia papi," ucap Jamal seolah menjawab kebingungan Letta. "Dan gue papa," imbuh Jamal tanpa mengalihkan pandangannya dari mata Rio.     

Rio tersenyum nyengir menatap Jamal yang juga tersenyum nyengir padanya.     

"Papa," panggil Rio namun di dalam hati.     

Sama seperti Rio, Jamal juga membatin. "Moma."     

Letta mengangguk-anggukan kepalanya. "Papa Jamal, ama papi Rio, keren juga," ucapnya.     

Mendengar itu, ibu Marta dan ibu Hartati menghela napas lega. Kalau boleh jujur, kedua wanita itu juga sempat bingung menentukan sebutan Rio untuk panggilan anaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.