Spesial Chap {Masa nifas}
Spesial Chap {Masa nifas}
Meskipun keduanya sudah saling tahu tentang semua itu, tapi bukan Jamal dan Rio namanya kalau mereka tidak selalu bertengkar. Bahkan kadang hanya karena masalah sepele saja, bisa memicu keduanya menjadi ribut. Walaupun ujung-ujungnya, mereka baikkan lagi.
Ngomong-ngomong walaupun mereka sudah saling tahu, tapi Rio masih menolak kalau diajak tidur di kamar Jamal. Rio juga selalu melarang, kalau Jamal ingin tidur di kamarnya. Itu salah satu alasan yang kadang membuat mereka menjadi bertengkar. Terutama Jamal.
Kalau dipikir Rio juga sih yang salah. Karena memang, pada dasarnya sudah menjadi hal yang wajar, dan bahkan kewajiban bagi sebuah pasangan untuk tidur bersama atau melakukan hubungan intim. Hal itu yang akan membuat suatu hubungan menjadi harmonis dan bertambah hangat.
Tapi memang dasarnya Rio mempunyai watak yang keras, sehingga cowok tidak mau disalahkan.
Rio punya alasan.
Pagi ini hari Senin, hari paling sibuk karena semua rutinitas kegiatan harus berjalan kembali setelah libur pada hari minggu.
Seperti biasa sudah berkumpul--minus Jamal, di ruang makan milik keluarga Wiratama, mereka akan melakukan sarapan pagi sebelum memulai aktivitas masing-masing.
Akhir-akhir ini Jamal memang sering terlambat bergabung, untuk urusan sarapan pagi. Entahlah.
Suasana sarapan pagi berlangsung hikmat. Tidak ada suara yang terdengar dari mulut mereka. Hanya ada suara pergulatan antara sendok dan piring saja yang terdengar.
Beberapa saat kemudian terlihat Jamal--dengan raut wajah yang cemberut, sedang berjalan melenggang ke arah ruang makan.
Walaupun sudah mempunyai anak, tapi usianya masih belasan tahun--terbilang remaja. Jadi penampilannya masih belum bisa berubah. Seragam sekolah tidak pernah dimasukkan, dan dua kancing bagian teratasnya selalu dibiarkan terbuka. Sehingga dadanya yang bidang dapat terlihat dengan jelas.
Setelah menarik kursi makan, Jamal menjatuhkan pantatnya, lalu memulai menyantap sarapan paginya. Wajahnya terlihat cuek. Bahkan ia sama sekali tidak melirik ke arah Rio yang sedang duduk di sebelahnya.
Pun sebaliknya, Rio tidak kalah cuek.
"Aduh Maaaal... Mal... udah jadi ayah kok penampilan kamu masih seperti itu?"
Sebenarnya bukan sekali dua kali ibu Marta mengeluhkan tentang penampilan Jamal. Hampir setiap hari Ibu Marta selalu protes. Tapi namanya juga Jamal, paling cuma dianggap angin lewat saja.
"Nggak bosan apa mah, tiap pagi ngomongin kalimat yang sama? Aku aja bosan dengernya." Balas Jamal. Kemudian ia memasukkan satu sendok nasi ke dalam mulutnya.
"Percuma Mah, ngomong ama dia, nggak akan di dengerin. Bebal." Sambar Rio.
"Lagian kenapa kalau gue kayak gini?" Tandas Jamal. "Yang penting otak gue kan encer. Percuma kalau gue rapi tapi bego. Toh yang bisa jamin masa depan gue, terus gue bisa diterima di universitas bagus juga nilai gue, otak gue. Bukan penampilan gue."
Kadang Rio merasa menyesal sudah membantu Jamal menjadi anak yang pintar. Hasilnya ya seperti ini, sombong. Kalau Jamal sudah ngomong seperti itu, Rio sudah malas untuk berdebat lagi. Tapi bukan Rio namanya kalau ia tidak memberikan kalimat yang pedas terlebih dahulu.
"Tetep aja ada minusnya, lebih bagus itu kalau lu pinter, tapi penampilan lu juga rapi. Lu mau sekolah, bukan mau ngarmpok."
"Disini kan ada Afkar," ibu Marta menatap ke arah Afkar yang sedang menikmati ayam goreng kesukaannya. "Mama nggak enak sama mertua kamu kalau nanti dia ikut-ikutan kayak kamu. Harusnya kamu bisa jadi contoh yang baik buat dia."
"Tenang aja. Afkar nggak akan ikut-ikutan kayak gue."
Kalimat itu meluncur dengan mulus, dan tanpa beban dari mulut Jamal. Cowok itu memutar kepalanya, menoleh ke arah Afkar yang kebetulan juga sedang menatap dirinya.
Afkar tersenyum nyengir memamerkan deretan giginya yang masih ompong di bagian atas. Secara diam-diam anak kecil itu mengacungkan ibu jarinya ke arah Jamal, saat melihat kakak iparnya sedang menaik turunkan kedua alis untuknya.
"-dia itu anak baik, nurut. Di sekolah dia juga kalem." Lanjut Jamal.
Sejak Afkar pindah sekolah ke tempat yang elite, Jamal mendapat tugas untuk mengantarkan adik iparnya ke sekolah. Kebetulan sekali, sekolah mereka satu arah.
Rio mengerutkan kening, ia merasa seperti ada yang janggal, dengan apa yang diucapkan sama Jamal barusan. Pasalnya, Rio menangkap basah gelagat Jamal dan juga Afkar. Cowok itu terdiam sambil menatap curiga ke arah Jamal dan Afkar secara bergantian.
"Ri, rencananya kamu mau sekolah di mana?" Celetuk bapak Tama yang membuat Rio tersentak sadar, menoleh ke ayah mertuanya.
Pak Tama cuma sedang mengalihkan pembicaraan. Pria itu sangat tidak suka ada pertengkaran kecil pada saat sedang menikmati sarapan pagi.
"Udah, pah..." jawab Rio. "Bukan sekolah favorit sih, tapi nggak apa- apa, yang penting bisa sekolah lagi, udah gitu jauh dari sekolah yang lama."
"Bagus kalau gitu. Nanti kalau uda mulai masuk tahun ajaran baru, papa nyari sopir pribadi buat antar jemput kamu." Bapak Tama melanjutkan sarapan paginya.
"Nggak perlu!" Jamal menyambar. Membuat semua pasang mata menatap ke arahnya. "Biar aku aja yang antar jemput dia! Cari sopir buat Afkar aja." Putus Jamal.
"Tapi kan_"
"Nggak usah protes, Gue suaminya! Elu istrinya. Jadi gue kepala keluarga."
"Iya Ri, biar kamu sama Jamal bisa berangkat dan pulang sekolah bareng," Usul ibu Marta.
Senyum Jamal mengembang lantaran mendapat dukungan dari ibunya. Ibu Marta dan Jamal bisa kompak kalau untuk urusan Rio. Tapi untuk urusan lain, jangan harap.
"Eh, ngomong-ngomong kita bakal jadi satu angkatan sekarang. Lu bukan kakak kelas gue lagi." Jamal tersenyum penuh kemenangan ke arah Rio.
Mendengar itu, Rio hanya memutar bola matanya jegah, lantas menghela napas panjang.
~☆~
Sudah menjadi rutinitas bagi Rio, mengantar Jamal sampai ke depan pintu utama, untuk melepasnya pergi ke sekolah. Dengan membawa Cakra dan juga Anum tentunya.
Sebenarnya Jamal yang selalu meminta. Rio tidak bisa menolak karena tujuannya supaya ayah dari dua anaknya lebih semangat ke sekolah.
"Halo cayang-cayangnya papa, tinggal cekola dulu yaa..." ucap Jamal dengan gaya bicara yang dibuat cadel.
Telapak tangannya yang kekar mengulur, meraih Cakra yang sedang lelap tertidur di dalam baby Stroller nya-- berwarna biru. Dengan lembut punggung tangannya menyentuh wajah mungil putranya--membuat yang disentuh menggerakkan kepalanya manja, seolah sedang merasakan sentuhan hangat dari sang ayah.
Hal serupa pun Jamal lakukan kepada Anum. Berbeda dengan Cakra, Anum sontak membuka matanya kala tangan sang ayah dengan lembut menyentuh pipinya.
"Anum itu seneng banget kalau dipegang ama gue. Dia lebih sayang ama gue kayaknya deh." Komentar Jamal saat melihat putrinya sedang tersenyum manis padanya.
Rio hanya tersenyum simpul sambil melihat Jamal yang sedang menyentuh-nyentuh hidung anaknya--menggunakan ujung jari telunjuk.
"Ati-ati Papa, belajar yang rajin di sekolah," celetuk Rio yang seolah Anum-lah yang sedang berbicara kepada Jamal.
Papa? Ini adalah kali pertama Rio memanggilnya papa, meski panggilan itu diperuntukkan untuk mewakili Anum. Tapi tetap saja, mulut Rio yang sudah menyebutnya. Hal itu membuat wajah Jamal menjadi berbinar, seiring dengan senyum yang ikut mengembang. Sementara bola matanya menatap Rio dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kenapa lu?" Heran Rio saat dirinya menyadari tengah diperhatikan oleh Jamal.
Tanpa menjawab pertanyaan Rio, tiba-tiba saja telapak tangan Jamal mencekal lengan Rio. Menariknya kuat hingga merapat, kemudian Jamal mendekatkan mulutnya di telinga Rio, membisikkan sesuatu di sana_
"Ini udah empat puluh hari lebih setelah lu lahiran. Jadi artinya lu udah selesai dong masa nifas nya... ntar malem, lu tidur di kamar gue."
Setelah menyampaikan itu, Jamal tersenyum penuh kemenangan, sambil melepaskan cekalannya di lengan Rio. Akhirnya, malam yang dijanjikan oleh Rio tiba juga.
"-lu nggak punya alesan lagi sekarang." Lanjut Jamal sambil merapikan kera seragamnya yang memang sudah Rapi. "Lu nggak mau kualat kan? Karena udah menelantarkan pasangan lu."
Kata-kata Jamal membuat Rio mengerutkan kening. Astaga ia baru sadar kalau sudah berjanji akan tidur dengan Jamal setelah empat puluh hari. Tapi Rio tidak siap, dan mungkin tidak akan pernah siap. Rio terdiam sambil mencari cara agar bisa menghindar.
Cowok itu mengulas senyum, setelah mendapatkan ide.
"Oh iya gue lupa ngasih tau ke elu. Kata dokter Mirna masa nifas gue diperpanjang sampai dua bulan lagi," ucap Rio berbohong.
"What?!"
Hal itu sontak membuat Jamal tersentak kaget, hingga membuat matanya terbelalak.
"_yang bener aja sih?" Protes Jamal. "Lu mau bohongin gue?"
"Bohongin gimana? Orang begitu adanya." Tegas Rio. Cowok itu lantas memegang gagang Baby Stroller milik Anum, memutarnya ke arah pintu lalu mendorongnya masuk ke dalam--diikuti Baby siter mendorong Baby Stroller Cakra. Sebelum itu Rio berkata;
"Udah buruan sono berangkat, ntar telat. Oh iya jangan pernah lu ajarin adik gue jadi bandel kaya elu!"
Jamal mendengkus kesal, sambil menatap punggung Rio yang sedang berjalan masuk ke dalam rumah. Ia memutar tubuh, berjalan ke arah motor--sudah ada Afkar sedang nangkiring di atas motor.
"Lama amat sih kak?" Protes Afkar.
"Bawel lu," balas Jamal.