Spesial Chap {Syarat dari Rio}
Spesial Chap {Syarat dari Rio}
Jamal mengulurkan telapak tangannya, meraih rahang Rio, memutar kepalanya hinga menoleh padanya. "Lu beneran sayang nggak sih ama gue?" Tanya Jamal memastikan. "Atau lu emang nggak suka sama gue?"
Lagi, Rio menelan ludah sebelum akhirnya menjawab. "Kalau gue nggak sayang, enggak suka ama elu-- mana mungkin gue mau nyosor pas lu lagi nyium gue. Lu lupa ama yang barusan?"
"Lha terus?" Heran Jamal. "Ngapain lu repot-repot sampe bohong ama gue segala?" cecar cowok itu.
Rio menghela napas, kemudian ia meraih pergelangan Jamal yang masih mencekal wajahnya. Setelah mencium selama beberapa saat telapak tangan cowok itu, Rio melepaskannya, lantas berjalan memangkas jarak dengan Jamal.
"Mal..." Rio harus mendongakkan kepala untuk menatap wajah Jamal lantaran tubuh Jamal yang sedikit lebih tinggi darinya. "Emang nggak bisa ya kalau nggak harus gituan?"
Rio melingkarkan pergelangannya ke pinggang Jamal, menariknya perlahan lalu mendekapnya mesra. Ia sedang berusaha membujuk Jamal supaya menurut--tidak harus melakukan hubungan semacam itu.
"-kita udah seneng walupun cuma ciuman doang. Meluk lu gini aja gue udah bahagia banget. Jadi kenapa harus ngelakuin seks?" Lanjut Rio sambil menidurkan kepalanya di dada bidang milik Jamal--tempat yang sebenarnya paling nyaman untuk Rio bersandar. Ia baru menyadarinya sejak empat puluh hari yang lalu.
Apa yang dilakukan Rio, sukses membuat Jamal sedikit melunak. Membuat rasa sayangnya, tumbuh semakin kuat. Tapi bukan Jamal namanya kalau harus menyerah sampai di situ saja. Cowok akan terus membujuk Rio supaya mau menunaikan kewajiban, layaknya pasangan.
"Ya enggak bisa gitu juga dong Yo." Suara berat namun terdengar lembut keluar dari mulut Jamal. "Kalau cuman sampe disitu doang, itu enggak klimaks-- nanggung. Gue juga yakin kok lu ngrasain apa yang gue rasain. Nggak puas."
Dengan lembut dan penuh perasaan, telapak tangan kekar Jamal mengusap puncak kepala Rio yang sedang menyandar nyaman di dada bidangnya. Sambil memeluknya posesif.
"Lagian kita kan uda nikah, ya enggak ada salahnya juga kali kita ngelakuin itu." Jamal menghela. "Lu pernah bilang 'mulut' itu finishing buat ngungkapin perasaan kita dari hati, kalau kata gue hubungan seks itu finishing buat neympurnain rasa sayang kita. Sexs juga juga bisa menjadi salah satu cara buat ngungkapin rasa cinta kita, ke pasangan."
Rio mendesah pelan. "Tapi lu nggak tau gimana rasanya dimasukin." Ujar cowok itu. Kemudian ia terdiam selama beberapa saat sambil menikmati usapan lembut telapak tangan Jamal di kepalanya. "Atau lu pingin tau gimana rasanya? Biar ngerti."
Pertanyaan Rio sukses membuat Jamal terkekeh pelan. Cowok itu mengurai pelukan Rio, memegang kedua lengannya sambil mendorongnya pelan menjauhkan sedikit tubuh Rio supaya bisa menatap wajahnya. "Ngaco..." ucap Jamal. "Gue kan suaminya, ya gue lah yang wajib masukin. Jangan mikir yang aneh-aneh deh."
Kening Rio berkerut melihat wajah Jamal yang mendadak seperti ketakutan. Namun, detik berikutnya ia mengusung senyum. Sepertinya Rio sudah menemukan ide untuk menghentikan Jamal agar tidak selalu mengajaknya berhubungan badan.
Menghela napas panjang, sebelum akhirnya Rio membuka suaranya. "Oke, gue mau...." putus Rio yang tentu saja membuat senyum Jamal mengembang. "Tapi ada syaratnya?"
"Syarat? Apa?" Kening Jamal berkerut, bersamaan dengan itu senyumnya pun memudar.
Rio mengulas senyum. "Kita gantian," ucapnya sambil menaikkan turunkan kedua alis--seolah memberikan tantangan untuk Jamal.
"What!"
Pernyataan Rio sukses membuat Jamal tersentak kaget. Cowok itu sama sekali tidak pernah berpikir kalau Rio akan mengatakan atau menginginkan hal itu. Selain itu ia juga tidak akan mau melakukannya. Ia suami dan ia yang harus mendominasi. Bukan Rio.
"Jangan gila Yo, gue nggak mau!" Tolak Jamal dengan tegas.
"Yaudah, kalau lu nggak mau gue juga nggak akan mau. Dan gue baru mau kalo lu udah mau."
Sebenarnya itu hanya ancaman saja sih buat Jamal. Entahlah, sejujurnya Rio sama sekali tidak berminat dan tidak ingin memasukkan miliknya ke lubang milik Jamal. Rio cuma sedang menggertak Jamal saja.
"-lu pikir-pikir dulu deh." Rio melepaskan cekalan tangan Jamal pada lengannya. "Kasih tau gue kalo lu udah siap."
Setelah menyampaikan itu Rio tersenyum penuh kemenangan. Rio memutar tubuh, berjalan keluar kamar--meninggalkan Jamal yang sedang menatap punggungnya, frustrasi.
~☆~
Brak!
Jamal menutup sambil membanting buku catatan pelajarannya di atas meja. Cowok itu sudah berusaha fokus mengerjakan kuis yang diberikan secara dadakan oleh guru mapel hari ini. Namun hasilnya sia-sia.
Sebenarnya mengerjakan soal kuis--walaupun itu mendadak, bukan perkara besar lagi bagi Jamal. Tepatnya setelah ia sudah berubah menjadi anak yang pintar. Semua soal bisa ia lahap dengan mudah.
Terkadang guru dan teman-temannya di sekolah saja sampai terheran- heran dibuatnya.
Kenapa Jems bisa jadi se-pintar ini? Entahlah.
Jamal mengacak-acak rambutnya secara kasar, dan wajahnya juga terlihat sangat frustrasi.
Bukan karena kuis dadakan, bukan juga karena ia tidak mampu mengerjakan soal-soal tersebut. Siswa itu terlihat frustrasi lantaran teringat dengan syarat dari Rio, agar ia bisa melakukan hubungan intim yang sudah ia nantikan selama ini.
Bukannya Jamal tidak menyangai Rio karena merasa berat untuk menuruti permintaan itu. Tapi sebagai seorang laki-laki, harga dirinya merasa direndahkan jika harus didominasi oleh pasangannya di atas ranjang. Tidak hanya itu, Jamal juga merasa takut kalau dirinya nanti bisa hamil, seperti Rio.
Jamal bergidik merinding.
Terlepas dari itu semua, Jamal juga mempunyai pemikiran sendiri.
Menurut Jamal sejatinya sebuah pasangan yang melakukan hubungan intim, itu tidak ada kata gantian untuk saling mendominasi. Meskipun Rio mempunyai jenis kelamin yang sama dengan dirinya, tapi takdir sudah memberikan 'dia' sebuah rahim. Itu artinya, takdir tidak mengizinkan Rio untuk mendominasi pasangannya.
Menggunakan telapak tangan, Jamal mengusap wajahnya secara kasar. Setelah berpikir selama beberapa saat akhirnya Jamal memutuskan untuk memasukkan semua buku dan perlengkapan belajarnya ke dalam tas.
Jamal berdiri dari bangkunya sambil mencangkolkan tasnya di sebelah pundak. Siswa itu keluar dari bangku, lalu berjalan santai ke arah meja guru.
"Permisi pak," ucap Jamal setelah ia berdiri di hadapan guru.
"Iya Jems, ada apa?" Tanya guru mapel tersebut. Pria itu merasa heran lantaran melihat Jamal sudah membawa tas gendong nya.
"Saya mau pulang pak." Jawab Jamal dengan entengnya.
Berkat Rio, Jamal sudah tidak semaunya sendiri kalau di sekolah. Tidak seperti sebelumnya, sekarang ia selalu meminta ijin atau pamit kalau ingin keluar dari kelas.
Walaupun terkadang tidak mendapatkan ijin karena alasan Jamal yang tidak masuk di akal, tapi tetap saja, Jamal harus bisa keluar kelas--meskipun jam pelajaran sedang berlangsung.
Diizinkan atau tidak, itu tidak penting bagi Jamal. Yang penting ia sudah meminta ijin.
Guru mapel melihat arloji yang melingkari pergelangannya. Waktu baru menunjukkan pukul sebelas lebih empat belas menit.
"Apa soal udah selesai kamu kerjakan Jems?" Tanya guru tersebut. "Lagian kan masih ada beberapa mata pelajaran lagi. Baru jam sebelas."
"Saya lagi males pak," jawab Jamal dengan sangat jujur. "Percuma juga belajar, nggak akan ada yang masuk di otak. Saya mending nggak ngerjain soal sekalian kalau nggak dapet nilai seratus. Tapi saya janji, besok saya bakal kerjain kuisnya. Mau ditambah lagi soalnya juga nggak papa."
Guru mapel tersebut terdiam sambil mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya pak guru pun memutuskan. "Yaudah Jems, nggak apa-apa."
Menurut guru tersebut, percuma juga melarang Jamal. Toh ujung- ujungnya Jamal juga tetap akan keluar kelas. Yang sudah-sudah selalu seperti itu.
Jamal mengulas senyum. "Terimakasih, pak."
"Huuuuuuuuuuu. !!!"
Suara ungkapan protes terdengar serentak dari semua siswa di kelas X-z. Mereka tidak terima dengan keputusan guru yang mengizinkan Jamal keluar kelas begitu saja. Apalagi saat itu sedang ada kuis.
"Huuu... nggak adil."
"Pilih kasih."
"Apa-apaan ini?"
Kalimat-kalimat protes bermunculan satu persatu dari para murid. Hal itu merubah suasana kelas yang tadinya tenang menjadi seperti pasar. Berisik.
"WOOY... !!"
BRAK. !! BRAK!!
Guru mapel terjungkat kaget, saat tiba-tiba saja Jamal menggebrak mejanya. Hal itu juga mampu membungkam mulut teman-teman satu kelas yang sedang melakukan aksi protes.
Hening.
Seluruh murid satu kelas merunduk takut. Tidak ada lagi yang mengeluarkan suara protes, saat Jamal menatap marah satu persatu teman- temannya.
"Kalian mau ikut pulang juga kayak gue?" Murka Jamal dengan suara yang lantang. "Udah pada pinter kalian, Huh?"
Dada Jamal bergerak naik turun. Napasnya juga terdengar memburu akibat teman-teman satu kelas yang sudah sukses memancing emosinya.
"Udah Jems, nggak apa-apa. Biar mereka bapak yang urus." Ucap guru mapel selembut mungkin. Ia sedang berusaha membujuk Jamal supaya tidak membuat keributan. "Kamu pulang saja."
"Awas kalau sampe kalian ada yang protes!" Ancam Jamal mengabaikan kata-kata guru yang sudah berdiri di belakangnya.
"Sudah Jems sudah..." bujuk guru tersebut sambil menepuk-nepuk pelan, punggung Jamal.
"Kasih tau saya kalo sampe ada yang protes, pak! Permisi."
"Iya Jems, hati-hati di jalan. Salam buat keluarga."
BRAK!!
Jamal menggebrak salah satu meja yang berada di barisan paling depan, membuat guru mapel dan teman-teman di kelasnya terjengkat kaget.
Beberapa saat kemudian, Jamal berjalan ke arah pintu kelas, meninggalkan guru yang sedang mematung sambil menatap kepergiannya.
Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya, guru mapel itu menghembuskan secara perlahan. Ia memegangi dadanya, mengajaknya supaya bisa bersabar.
"Ayo semuanya, lanjutkan tugas kalian." Perintah guru tersebut setelah Jamal sudah keluar dari ruang kelas.
Semua siswa di kelas X-z, langsung sibuk dengan kertasnya masing- masing.