Cowok Hamil

Panggil gue Jamal



Panggil gue Jamal

3Setelah berhasil menyeret Rio masuk ke kamarnya, Jamal mengayunkan pergelangan Rio, membuat tubuh cowok itu berjalan terhuyung, hingga beberapa langkah.     

"Lu apa-apaan sih?!" Protes Rio sambil memegangi pergelangannya.     

Cekalan Jamal saat menarik dirinya sangat kuat, membuatnya merasa sedikit sakit hingga meninggalkan jejak berwarna merah di sana.     

"Elu yang apa-apaan!" Bentak Jamal sambil menunjuk wajah Rio menggunakan telunjuknya. "Lu ngapain make bikin acara sekolah ke luar negeri segala, Hah?!"     

"Udah gue kasih tau, gue nggak mungkin balik ke sekolah yang lama," jawab Rio. "Gue nggak perlu kasih tahu alasannya kenapa." Rio mendengkus, menatap kesal cowok didepannya. "Lu pasti udah tau," tambahnya.     

"Trus kenapa musti jauh-jauh ke luar negeri? Emangnya di sini nggak ada sekolah lain?" Tandas Jamal. "Di sini juga banyak sekolah yang bagus!"     

"Gue tau disini banyak sekolah yang bagus. Tapi kalau disana gue bisa dapetin apa yang ngga bisa gue dapetin di sini." Jawab Rio. "Percuma gue jelasin lu nggak akan ngerti."     

Jamal menarik ujung bibirnya, tersenyum sinis seraya mendesis. "Gue pikir lu baik. Ternyata lu tuh kejam."     

"Maksud lu?" Heran Rio dengan kening yang berkerut.     

"Pake nanya! Emangnya Lu tega mau ninggalin Cakra sama Anum? Mereka itu masih butuh elu. Harusnya lu tuh mikir! kalau lu jauh, mereka bakalan kangen sama elu! Lu nggak kasian sama mereka?"     

"Bukan mereka yang kangen, tapi gue," tandas Rio. "Mereka masih kecil, gue nggak tau mereka bisa ngerasain kangen apa enggak_" diujung kalimatnya Rio tersedak. Hatinya seperti ditusuk oleh kalimatnya sendiri.     

Jamal terdiam, pernyataan Rio merubah rona wajahnya yang tadinya marah, menjadi salah tingkah. Ada benarnya juga si Rio, apa bayi yang baru lahir sudah bisa merasakan kangen?     

Rio menelan ludah. Ia berusaha mati-matian melanjutkan kalimatnya, meski dengan susah payah. "-kalo gue udah jelas, gue yang ngandung mereka selama sembilan bulan. G-gue bakalan kangen sama mereka."     

"Kalau tau lu bakal kangen, terus kenapa nekat sekolah ke luar negeri? Itu kan bego namanya?" Tandas Jamal.     

Pernyataan Jamal memaksa Rio harus menghela napas panjang, berusaha bersabar. Memang susah berbicara sama mahluk yang namanya Jamal.     

"Lu nggak pernah ngerti, Jems_"     

"PANGGIL GUE JAMAL!!" Bentak Jamal hingga membuat Rio tersentak kaget.     

Panggilan Jems dari Rio benar-benar membuatnya merasa geram. Sangat tidak nyaman di dengar olehnya.     

Sebenarnya Rio sendiri juga merasa tidak nyaman memanggil cowok itu dengan sebutan Jems. Tapi ini baru awal, lama-lama mungkin ia akan terbiasa. Sama seperti hatinya. Menjauh dari Jamal, lambat laun hatinya akan bisa bersih darinya. Sama seperti pada waktu ia belum mengenal Jamal.     

"Emangnya kenapa kalau gue manggil lu Jems?" heran Rio yang membuat wajah Jamal menjadi salah tingkah.     

"G-gue nggak biasa," gugup Jamal.     

"Lama-lama lu juga biasa." Rio menghela napas sebelum akhirnya ia melanjutkan kalimatnya. "Udah yah Jems, gue capek. Keputusan gue sekolah di luar negeri udah bulat. Letta juga bantu nyari sekolah ama tempat tinggal buat gue. Gue berangkat sebelum semester akhir, tahun ini."     

Setelah menyampaikan itu, Rio memutar tubuh lantas melangkahkan kaki, meninggalkan Jamal yang masih berdiri mematung--mempertahankan gengsinya.     

Namun hati tidak bisa dipungkiri, di dalam sana, Jamal merasakan nyeri hingga membuat bola matanya berkaca. Hingga akhirnya cowok itu menghela napas panjang, sebelum ia membuka mulutnya.     

"Y-yo..." panggilnnya sambil menatap punggung Rio, dengan tatapan yang sulit diartikan. "Jangan pergi."     

Rio menghentikan langkah. Perlahan ia memutar tubuh hingga kembali berhadapan dengan Jamal. Keningnya mendadak berkerut, melihat Jamal sedang sibuk mengucek matanya.     

Jamal nangis? Kenapa? Apa karena dia mau pergi? Rio membuang jauh-jauh harapan bodohnya. Kali ini ia tidak mau lagi dikecewakan oleh kenyataan. Sudah cukup ia dibuat malu oleh harapannya sendiri.     

Mungkin Jamal kelilipan. Yah, Jamal kelilipan. Terlalu maksa kalau berharap Jamal menangis.     

"Ternyata lu itu nggak pinter." Jamal berjalan mendekati Rio, yang masih datar menatapnya. "Lu sering ngomong gue bego, tapi lu lebih bego dari gue. Lo itu tolol."     

"M-maksud lu?" jarak Jamal kini tidak lebih dari dua jengkal di hadapannya.     

Rio menelan ludah, melihat Jamal kembali mengucek matanya. Melihat bola mata cowok itu yang berkaca, sepertinya Jamal memang benar-benar menangis. Bukan kelilipan. Keyakinan Rio diperkuat dengan suara isakan singkat yang baru saja ia dengar dari mulut Jamal.     

"Lu bukan cuma bego," lanjut Jamal setelah ia selesai mengucek matanya. "Tapi lu beneran jahat. Nggak punya hati."     

"Lu ngomong apa sih Jems, gue nggak ngerti. Bukannya tadi udah jelas?"     

Sumpah demi apa. Berbulan-bulan tinggal bersama Jamal, ini adalah kali pertama Rio melihat cowok itu menangis.     

Tapi kenapa?     

"Kenapa lu masih nggak ngerti juga si Yo?" jawab Jamal. Kali ini nada suaranya terdengar lemah. "G-gue... gue nggak pingin lu pergi."     

Plis Rio, jangan berharap lagi. Jangan tergoda dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Jamal. Tapi meskipun begitu, Rio tidak bisa memungkiri perasaanya, ia sangat bahagia saat mendengar Jamal melarangnya pergi.     

"Emangnya kenapa?" tanya Rio.     

"Gue yakin, Cakra sama Anum butuh elu. Soalnya kan elu yang udah ngandung dia."     

Baru saja Rio bisa merasa sedikit bahagia. Tapi Jamal sudah merampas kembali kebahagiaan itu. Ya selalu saja demi anaknya, bukan demi dirinya. Tapi Rio bisa apa? Ia juga tidak bisa memaksa Jamal supaya merasakan apa yang ia rasakan. Perasaan memang tidak bisa dipaksa.     

Rio hanya tersenyum tipis, ia sudah tidak berminat lagi untuk berbicara banyak kepada Jamal.     

"Lama-lama mereka juga biasa. Jangan bilang gue kejam. Gue juga berat ninggalin mereka. Tolong ngerti, udah gue jelasin semua tadi."     

Setelah menyampaikan itu, Rio memutar tubuhnya, lalu melanjutkan perjalanannya keluar dari kamar Jamal, namun-     

"Yo..."     

Langkah Rio tertahan saat Jamal kembali memanggil sambil menarik pergelangannya, lalu memutar tubuhnya. Membuat Rio kembali berhadapan dengan Jamal.     

"Apa lagi?" tanya Rio.     

Jamal menelan ludah. "G-gue juga nggak mau lu pergi."     

Persetan dengan gengsi, persetan juga dengan rasa taku. Sepertinya Jamal sudah lelah dan tidak mau bertahan lagi dengan rasa gengsinya. Gengsi dan takut membuat hatinya jadi tersiksa.     

Rio terdiam mendengar pernyataan Jamal barusan. Ia tidak mau buru- buru merasa bahagia karena takut diambil lagi oleh cowok itu.     

"Lu ngomong apa?" Rio ingin memastikan kalau ia tidak salah dengar tadi.     

"Gue juga nggak pingin lu pergi," ucap Jamal kembali. "Emangnya, enggak boleh ya kalau gue pingin lu disini aja?"     

Rio mengkerjap-kerjapkan mata berusaha menghalau air mata supaya tidak menggenang dan membuat bola matanya berkaca. Tidak bisa dipungkiri kalau pernyataan Jamal barusan, membuat dirinya merasa terharu.     

Rio menelan ludah. "Emangnya kenapa?" Tanya Rio. Ia juga ingin tahu alasan Jamal melarangnya pergi, ia tidak ingin air mata haru-nya menjadi sia-sia.     

"Gu-gu-gue..." gugup Jamal. Entahlah, kenapa sulit sekali mengungkapkan perasaannya. Padahal ia sudah membuang rasa gengsinya, namun perasaan takut--takut ditertawakan atau ditolak masih bertahan di hatinya.     

"-gu-gu-gue... gu-gu-gue... gu-gu-gue..." detak jantung Jamal mulai berdebar sangat kencang, ditambah dengan napas yang memburu.     

Rio mengerutkan kening, menatap heran kepada Jamal.     

"-gu-gu-gue... gu-gu-gue... gu-gu-gue_"     

Plak!     

Rio merasa kesal, ia terpaksa melayangkan telapak tangannya, memberikan tamparan kecil di pipi Jamal hingga membuatnya terdiam.     

"Lu kenapa sih?! Gagap!"     

"GUE SUKA SAMA ELU ANJING!"     

Tamparan dari Rio sukses membuat Jamal menjadi mampu berbicara dengan sangat lancar. Cowok itu juga jadi merasa tidak ada beban lagi untuk mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Tidak peduli dengan tanggapan Rio nanti.     

"Emang gue salah ya, kalo gue suka sama lu? Gue juga sayang sama lu! Gue pingin lu disini aja sama gue. Sama anak-anak kita!"     

Mulut dan bola mata Rio melebar mendengar pernyataan dari Jamal barusan. Ia yakin kalau kupingnya tidak salah dengar, karena Jamal mengatakan itu dengan sangat lantang.     

Jadi boleh dong kalau Rio kembali terharu dan meloloskan air matanya? Soalnya Jamal benar-benar terlihat yakin saat menyatakan itu. Jadi air mata Rio tidak akan sia-sia.     

"-Lu nggak apa-apa nggak suka ama gue. Yang penting lu disini aja_"     

Plak!     

Rio kembali melayangkan tamparan kecil di pipi Jamal membuat cowok itu terbungkam. "Bego...! kenapa nggak ngomong dari tadi?" Kesal Rio menatap ayah dari dua anak yang ia kandung.     

"Maksud lu?" Jamal menatap heran kepada Rio sambil memegangi pipinya yang bekas ditampar oleh Rio.     

"Kalau lu ngomong dari tadi, kan nggak perlu pake drama bego!" Jelas Rio.     

"Gue kan malu, gue takut lu ngetawain gue!" jujur Jamal. "Lagian lu emang nggak pernah ngerasa apa kalau gue suka sama elu?!"     

"Lu nggak pernah ngomong mana gue tau! Lu kan cuma peduli sama anak lu."     

"Yah harusnya lu ngerti lah, lu sadar dong... nggak perlu ngomong, liat dari sikap gue, harusnya lu tau kalo gue sayang ama elu... dasar bego!"     

"Lu pikir gue punya indra ke enam, bisa baca isi hati elu. Orang yang dipegang itu omongannya, kalau lu nggak ngomong, apanya yang mau gue pegang? Dari sikap aja nggak cukup. Mulut itu finising! Ujung tombak... ngerti. Pengaruh omongan itu lebih gede dari pada pengaruh sikap!"     

Jamal mendengkus. "Banyak bacot, yaudah sih nggak usah bawel," kesal Jamal. "Jadi gimana nih, gue suka ama elu. Gue nggak pingin lu pergi ke luar negeri."     

"Ya enggak gimana-gimana lah, orang gue juga suka sama elu. Gue juga sayang sama elu." Tegas Rio tidak mau kalah dari Jamal.     

Jamal menelan ludah. "Serius?!" Ucap Jamal seolah tidak percaya.     

"Dasar bego!" Menggunakan ibu jari dan telunjuknya, Rio menjepit hidung mancung Jamal, lantas menarik kuat hidung itu, membuat jarak wajah Jamal semakin terpangkas, hingga akhirnya--Cup!     

Bola mata Jamal melebar, saat ia merasakan mulut Rio mendarat tepat di bibirnya. Tanpa berpikir panjang, ia membalas ciuman itu, bahkan lebih lebih agresif dari ciuman Rio. Jamal tidak mau menyiakan kesempatan itu. Sudah lama ia menginginkan ciuman dari Rio.     

Ciuman agresif berlangsung hingga beberapa saat, hingga akhirnya keduanya terdiam dengan bola mata yang saling bersitatap--merasakan canggung.     

Jamal mengulas senyum, membuang rasa gugup. "Gue sayang ama lu, yo," ungkap Jamal setelah ciuman mereka terlepas. "Lu jangan pergi ya."     

Rio menghela napas panjang sebelum akhirnya ia menganggukkan kepala.     

Hal itu membuat binar bahagia, tergambar jelas di wajah Jamal. Meraih pundak Rio, lantas Jamal menariknya, membawa tubuh Rio dalam dekapan eratnya.     

"Gue juga sayang sama elu, Jems." Ucap Rio membalas pelukan Jamal.     

"Jangan panggil gue Jems," protes Jamal ditengah pelukan yang masih berlangsung. "Gue balikin hadianya gue nggak suka." Jamal menghela napas.     

"Panggil gue Jamal,"--lanjut cowok itu.     

Rio mengulas senyum, "Iya, Jamaludin."     

Jamal tersenyum nyengir. "Nah gitu dong, kan enak didengernya." Jamal semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Rio.     

"Tapi lu harus terima hadia gue yang satunya."     

"Apa lagi?"     

"Dua puluh lima persen harta dari mama, gue nggak bisa terima. Gue mau kasih ke elu aja. Gue pingin sukses dengan cara gue sendiri. Bukan hasil pemberian."     

"Terserah lu aja," sahut Jamal. Ia sedang bahagia, tidak mau berdebat lagi dengan Rio. Ia hanya ingin memanfaatkan momen itu dengan memeluk erat tubuh Rio, seakan tidak ingin melepaskan.     

"Kak Jems.. !"     

Jamal dan Rio buru-buru melepaskan pelukan mereka, mendengar terikkan anak kecil memanggil, Jamal.     

Keduanya mengerutkan kening, melihat Afkar sedang berlari dengan gaya anak kecil, ke arahnya.     

"Afkar lu di sini?" Heran Rio ketika Afkar sudah berdiri di hadapan mereka.     

"Gue mau nagih janji sama kak Jems," ucap Afkar sambil menatap ke arah Jamal.     

"Janji apa?" Tanya Rio menatap selidik kepada Jamal yang sedang tersenyum nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.     

"Katanya kak Jems, mau kasih hadia dedek kembar lagi, kalau Cakra ama Anum udah lahir," Sahut Afkar yang membuat bola mata Rio melebar, menatap marah ke arah Jamal.     

"Jangan ngomong yang aneh-aneh sama Afkar."     

Mengabaikan Rio yang sedang marah, Jamal menjatuhkan lutunya, menyejajarkan tingginya dengan Afkar. "Tapi lu juga musti bantu kakak."     

"Apa kak?" tanya Afkar.     

"Bujuk kak Rio biar mau tidur ama kakak. Soalnya kalau kak Rio gak mau tidur sama kak Jems, dedek kembar gimana mau jadi."     

Sejak Rio tinggal di rumah ibu Marta, ia dan Jamal memutuskan untuk tidur sendiri-sendiri. Alasan gengsi dan malu yang membuat mereka melakukan itu. Selain itu Cakra dan Anum sudah lahir, jadi sudah tidak ada yang bisa mereka manfaatkan lagi sebagai alasan.     

"Oke kak! Gue juga mau tinggal di sini bareng kak Rio."     

Pernyataan Afkar barusan membuat Rio melebarkan bola matanya. Apa-apaan ini?--batin Rio.     

"-soalnya gue juga pingin tinggal di rumah bagus kayak Rio," lanjut Afkar sambil mengedarkan pandangannya di sekitar kamar Jamal--mengabaikan Rio yang sedang menatap kesal kepadanya. "Mama juga udah kasih ijin, gue boleh tinggal di sini."     

Berbeda dengan Rio, yang kesal dengan Afkar, Jamal malah terlihat sangat senang mendengar pernyataan Afkar. "Ya bagus kalau lu mau tinggal di sini."     

"Iya dong, kan gue jadi bisa ngawasin lu kak. Awas kalau lu bohong sama gue."     

Jamal memberikan acungan jempolnya kepada Afkar. "Sip," ucapnya.     

"Tapi lu jangan ganggu kalo gue sama kak Rio lagi bikin dedek malam-malam. Entar lama jadinya."     

"Sip deh!" Sahut Afkar.     

"Jamaludin...!" teriak Rio di dalam hatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.