Baju untuk Rio
Baju untuk Rio
"Lu harus tetep sekolah," celetuk Rio memecah Keheningan. Kata-kata Jamal beberapa menit lalu, kembali terngiang di benaknya. "Mau duitnya segunung juga, kalau yang punya males ama bego, bakal cepet abis tuh duit." Rio menghela, kemudian remaja itu mengurai pelukan Jamal, menjauhkan kepalanya dari dada bidang cowok itu. "Lagian gue udah putusin. Gue mau jadi guru privat buat lu. Solanya gue nggak enak ama mama. Itung-itung ucapan terimakasih juga buat lu."
Kening Jamal berkerut, menatap datar remaja di depannya. "Kok makasih buat gue?"
"Lu udah bohong sama mama, lu bilang kalau gue udah ngajarin lu belajar. Padahal, gue kan nggak pernah ngajarin lu." Menggunakan telapak tangan, Rio mengusap sia-sia air yang sempat membuat bola matanya berkaca.
Jamal tersenyum nyengir, "Oh, itu, nggak apa-apa." ucapnya singkat.
Secara refleks manik matanya melirik ke arah meja, melihat papaer bag brisi pakaian yang baru saja ia beli. Tangan remaja itu mengulur, meraih paper bag di atas meja. Sekaligus menghindari pernyataan Rio yang akan menajdi guru privat untuk dirinya.
"Nih, gue beliin baju buat lu." ucap Jamal sambil menyodorkan paper bag ke arah Rio.
Bibir Rio tersenyum tipis, bola matanya tidak berkedip melihat paper bag yang masih menggantung di udara. Rio terdiam, menatap heran kepada Jamal. Sulit dipercaya, cowok itu benar-benar membelikan baju untuk dirinya.
"Ambil," tegur Jamal mengagetkan Rio. "Diem aja.
Rio mengulas senyum, "makasih ya," ucapnya sambil meraih paper bag dari tangan Jamal. Tidak sabar ingin melihat bajunya, tangan Rio merogoh masuk ke dalam paper bag, lantas mengambil satu baju yang masih terbungkus plastik.
Kelopak mata Rio mengerjap, dalam kurun waktu yang bersamaan keningnya juga berkerut, menatap heran motif pada baju yang sedang ia pegang. Semakin penasaran dengan modelnya, kemudian remaja Rio buru-buru merobek plastik yang membungkus baju tersebut.
Jamal tersenyum simpul, matanya tidak berkedip menatap Rio yang sedang membentangkan baju baru tersebut. Namun beberapa saat kemudian senyum Jamal mulai memudar, sedikit demi sedikit akhirnya senyum itu benar-benar lenyap dari bibirnya, saat melihat Rio sedang menatap marah ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Jamal. "L-lu nggak suka ama baju yang gue beli?" Heran Jamal hingga membuat keningnya berkerut.
"Bego!" bentak Rio hinggo membuat Jamal tersentak kaget. "Lu beliin gue daster!! Lu pikir gue perempuan?!" Tanpa berpikir panjang Rio melemparkan baju bermotif bunga-bunga, dimana bagian lengannya hanya menggunakan tali, kemudian ada aksesoris kupu-kupu di bagian dadanya-tepat di wajah Jamal. "Pake tuh daster! Dasar bego! nggak bisa diandeliin."
Bersama perasan dongkol, kesal dan marah Rio beranjak dari duduknya, lalu berjalan cepat ke arah kamar meninggalkan Jamal yang masih menatap daster di tangannya.
Sepertinya Rio sudah tidak berminat lagi melihat sisa baju yang masih berada di dalam paper bag. Sudah bisa ditebak, isinya pasti sama! Malah akan membuat dirinya semakin marah.
Jamal menghela napas. "Salah lagi deh gue," ucapnya seraya mengeleng heran.
Jamal melipat baju daster yang baru saja digunakan untuk melempar wajahnya, memasukan daster tersebut kedalam paper bag, lantas cowok itu beranjak dari duduknya, berjalan tergesah di belakang Rio sambil membawa serta paper bag berisi tiga potong baju daster.
"Lu kan lagi hamil! Emang salah kalo gue beliin baju hamil buat elu?" protes Jamal ditengah perjalanannya mengekor di belakang Rio.
Pertanyaan Jamal membuat Rio menghentikan langkah, lalu memutar tubuh hingga berhadapan kembali dengan sosok Jamal. "Lu nggak salah!" Rio mengambil napas, sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. "Tapi gue nggak mau make. Buat lu aja dasternya!" tegas Rio dengan raut wajah penuh guratan amarah.
"Bego!" Setelah menyampaikan itu, remaja Rio kembali memutar tubuhnya lalu melanjutkan perjalanannya meninggalkan Jamal yang sedang berdiri mematung menatap punggungnya.
Brak!
Suara pintu yang dibanting, membuat Jamal tersentak kaget. "Hah..." remaja itu membuang napas kasar, sambil menatap kesal pada pintu yang sudah tertutup rapat.
Jamal terdiam hingga beberapa saat, kemudian ia melihat paper bag yang masih berada di tangannya. Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Jamal melemparkan paper bag tersebut kedalam tempat sampah, layaknya mantan.
Mantan? Iya mantan. Karena tempat yang paling layak untuk membuang mantan ya di sana-tempat sampah. Makanya jangan coba-coba menjadi mantan kalau tidak mau dibuang di tong sampah!
"Perasaan gue nggak pernah bener dimata dia," sungut Jamal sambil berjalan kembali ke arah sofa.
Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Jamal hembuskan secara perlahan. Remaja itu menjatuhkan pantatnya, lalu duduk menyandera pada sandaran sofa. Setelah diam bebrapa detik, telapak tangannya merogoh saku celana abu-abu guna mengambil sebungkus rokok yang ia selipkan di sana.
Sepertinya menghisap rokok adalah pilihan yang tepat untuk Jamal. Setidaknya, remaja itu bisa membuang rasa kesal bersama asap roko yang akan ia hembuskan nanti.
Manrik satu batang rokok dari dalam bungkusnya, kemudian Jamal menggigit busa rokok tersebut di mulutnya. Menggunakan pematik, remaja itu membakar ujung rokok tersebut. Namun-
Grek!
-suara pintu kamar yang sedang dibuka, membuat ia mengurungkan niatnya yang akan membakar rokok. Remaja itu buru-buru melatakan rokok di dalam asbak yang tergeletak di atas meja kaca.
Memutar kepalanya ke samping, Jamal tersenyum nyengir melihat Rio yang sudah berdiri di sana. "G-gue nggak jadi ngrokok."
Yah, sejak diberitahu oleh dokter Mirna bahwa tidak baik merokok di dekat orang hamil, Jamal memang selalu berusaha agar tidak merokok di dekat Rio. Selain itu Jamal tidak ingin mendengar Rio mengomel, akibat asap dari rokok yang ia hisap.
Detik berikutnya senyum Jamal memudar, saat melihat Rio hanya diam sambil menatapnya ketus. Aura kesal masih terlihat jelas di wajah cowok itu. Kening Jamal berkerut, melihat kaus yang sedang di remas oleh Rio. Kaus itu adalah kaus longgar yang baru saja dikenakan oleh Rio.
Sepertinya Rio baru saja mengganti kausnya dengan ukuran yang lebih kecil, membuat perutnya yang gendut, terlihat menonjol.
"K-kenapa?" heran Jamal melihat Rio masih terdiam.
Mengabaikan pertanyaan, Rio melempar kaus longgar miliknya ke pangkuan Jamal. Tanpa berkata apapun, remaja Rio memutar tubuh, lantas berjalan kembali ke arah Jamal.
Kening Jamal semakin berkerut, menatap bingung pada punggung Rio. "Maksudnya apa coba?" pikir Jamal.
Setelah Rio menghilang dibalik pintu kamar, Jamal merunduk melihat kaus di atas pangkuannya. Mengambil kaus tersebut, Jamal terdiam, menatapnya bingung. "Huf..." remaja itu menghela napas berat, setelah ia mengerti maksud tujuan Rio.