Hari yang menyebalkan
Hari yang menyebalkan
Tidak hanya itu, teman-teman Jamal juga melakukan aksi protes lantaran Jamal lebih memilih kabur, membawa Rio, dari pada menyelesaikan perkelahian kemaren. Teman-teman Jamal merasa kalau Jamal tidak adil, selain karena Jamal tidak ikut mendapat hukuman dari sekolah-setelah perkelahian, Jamal juga lebih mementingkan Rio yang jelas-musuhnya, dari pada membantu teman-temannya yang sudah menolongnya dari keroyokan anak SMA Nasional dan bebrapa preman.
Intinya, mereka ikut berkelahi karena membela Jamal, tapi kenapa yang dibelah malah kabur dan menolong musuhnya? Jadi jangan salahkan teman-teman Jamal, kalau mereka kesal, dan menyalahkan Jamal.
Merasa malas dengan berbagai macam pertanyaan dan kecurigaan dari teman-temannya, Jamal lebih memilih kabur, atau membolos dari sekolah. Jamal sedang tidak ingin ribut, makanaya kabur dari mereka adalah pilihan yang tepat bagi Jamal.
Setelah menutupi seragam putihnya dengan jaket kulit berwarna hitam, kemudian Jamal memakai helm full face, setelah itu ia naik ke atas motor, lalu melesat dengan kecepatan tinggi, keluar dari SMA Global.
Ditengah perjalanan menuju ke rumah, tiba-tiba saja Jamal teringat dengan janjinya yang akan membelikan beberapa baju untuk Rio. Sepertinya ini waktu yang tepat, mumpung remaja itu sedang malas bersekolah. Ia ingin mampir ke mall dulu mencarai pakaian untuk Rio, sebelum pulang ke rumahnya. Oleh sebab itu remaja Jamal memutuskan berputar arah menuju ke mall, untuk menepati janjinya kepada Rio.
~☆~
Jamal mengerutkan kening, matanya menyipit, menatap heran kepada dua kasir yang sedang memasukan ke dalam paper bag, bebrapa potong baju yang sudah ia beli. Pasalnya dua kasir tersebut sejak tadi senyum-senyum tidak jelas saat sedang melayani dirinya.
"Masih sekolah ya, kak?" cletuk sala seorang kasir tersebut. Ia melihat Jamal masih memakai celana abu-abu. Lalu rest sleting pada jaket hitamnya yang dibiarkan terbuka, membuat baju seragam putihnya dapat terlihat jelas.
"I-iya. Kenapa?" Heran Jamal.
Petugas kasir kembali tersenyum tidak jelas. "Nggak apa-apa," ucapnya. Kemudian kasir berjenis kelamin wanita itu melihat total harga yang tertera pada layar monitor. "Totalnya satu juta seratus dua puluh sembilan ribu dua ratus rupiah, kak."
Jamal buru-buru mengambil dompet pada saku celana bagian belakang, kemudian ia memberikan kartu kredit untuk membayar tiga potong pakaian yang sudah ia beli.
Selesai melakukan transaksi, petugas kasir menyerahkan paper bag berisi pakaian untuk Rio kepada Jamal. "Emang buat siapa bajunya, kak?"
"Buat siapa aja." Jangan salahkan Jamal kalau ia bersikap ketus dengan petugas kasir tersebut. Lagi pula bukan kewajiban Jamal menjawab pertanyaan yang tidak penting itu. "Makasih..." Jamal buru-buru mengambil paper bag berikut kartu kredit, lalu bergegas meninggalkan petugas kasir yang masih senyum-senyum tidak jelas ke arahnya.
Jamal sedang dalam perjalanan menuju ke tempat parkiran. Sepanjang perjalanan ia melewati beberapa stand yang menjual beraneka makanan. Terdengar suara para penjual makanan saling bersahutan menawarkan dagangan mereka.
"Coffe late nya kak."
"Silahkan kak asinannya."
"Mari kak hamburgernya."
"Rujaknya kak!"
Rujak? Air liur Jamal mendadak keluar saat mendengar kata 'rujak'. remaja itu menghentikan langkah, menoleh ke arah stand yang menjual rujak tersebut. Entahlah, tiba-tiba saja Jamal ingin memakan rujak. Tanpa berpikir panjang Jamal berjalan menghampiri penjual rujak tersebut.
"Silahkan kan rujaknya," ucap penjual rujak dengan ramahnya, begitu Jamal berdiri di depan stand.
"Boleh dehn gue pesen satu." Jawab Jamal. "Pedes ya."
"Baik kak, silahkan menunggu."
Beberapa saat kemudian terlihat penjual rujak mulai meracik pesanan Jamal dengan sangat cekatan.
Sementara Jamal, menunggu sambil berdiri mematung. Melihat rujak yang sedang diracik, air liurnya terus keluar seperti tidak bisa dibendung lagi.
"Eh mbak, gue pesen satu lagi deh," celetuk Jamal kemudian. Tiba-tiba saja ia teringat kalau orang yang sedang hamil katanya paling suka memakan rujak. Jamal berniat membelikannya satu porsi untuk Rio. "Tapi yang satu jangan pedes ya."
"Baik, kak..." penjual rujak tersebut mengangguk sopan.
Jamal mengulas senyum.
~☆~
Bosan! Itu yang dirasakan oleh Rio pada hari pertama ia tidak masuk ke sekolah. Baru sebentar saja, ia sudah merasakan kegelisahan. Lalu, bagaimana ia harus menjalani hari-hari berikutnya? Apalagi ia sendiri tidak bisa menentukan batas waktu sampai kapan ia akan menjalani hari-hari yang membosankan itu.
Rio membuang napas gusar, kemudian ia menutup buku yang sedang dibacanya. Meletakan buku di atas kasur, kemudian Rio bangkit dari tidurnya.
Ternyata membaca selama berjam-jam juga tidak bisa mengusir rasa bosan yang tengah melanda dirinya. Tapi ada untungnya juga sih, setidaknya meskipun di rumah, dengan membaca ia bisa mendapatkan banyak pengetahuan.
Untung saja mertuanya, ibu Marta sangat perhatian. Wanita elegan itu sudah membelikan banyak model buku bacaan untuk Rio. Jadi walapun libur sekolah, Rio masih bisa mendapatkan banyak ilmu dari buku-buku yang ia baca.
Setelah kakinya turun dari atas ranjang, Rio memakai sandal jepit, lalu berjalan ke luar kamar. Terlalu lama membaca juga membuatnya jadi merasa kehausan. Oleh sebab itu Rio memutuskan pergi ke dapur untuk meminum air mineral.
Sesampainya di dapur, Rio membuka lemari ES, kemudian ia mengambil sebotol air, lalu menuangkannya kedalam gelas yang sudah ia siapkan sebelumnya. Setelah meneguk segelas air hingga tandas, Rio berjalan kembali ke arah kamarnya.
Took... took... took...!!
Suara ketukan pintu yang masu ke indra pendengarnya, memaksa Rio harus menghentikan langkah. Remaja yang perutnya sudah gendut itu, lantas memutar kepala lalu menatap heran ke arah sumber suara.
Took... took... took...!!
Rio berjalan tergesa ke arah pintu, saat suara ketukan terdengar kembali. Sepanjang perjalanan menuju pintu, banyak sekali pertanyaan yang hinggap di kepalanya. Pasalnya waktu baru menunjukkan pukul 11.15 menit, jadi tidak mungkin sekali kalau Jamal sudah pulang sekolah. Atau mungkin ibu Marta dan ibu Hartai? Entahlah Rio merasa ragu, soalnya mereka berdua--bu Marta dan ibu Hartati baru saja pulang tadi pagi setelah setelah tadi malam menginap di rumahnya. Selain itu ibu Marta dan ibu Hartai sudah terbiasa masuk ke rumah tanpa harus mengetuk pintu.
Took... took... took...!!
Rasa penasaran membuat Rio harus mempercepat perjalanannya. Hingga akhirnya, langkah kaki Rio membawanya sampai pada pintu di ruang tamu.
Rio berdiri mematung, ia terdiam sambil menebak-nebak siapa gerangan yang berada di luar sana. Sorot mata Rio menatap ragu pada handle pintu rumahnya. Setelah berpikir Beberapa saat, secara perlahan, masih dengan ragu-ragu Rio meraih handle pintu tersebut.
Took... took... took...!!
Suara pintu yang kembali di ketuk dari luar, membuat Rio nekat memutar handle pintu, lalu menariknya hingga membuat pintu itu terbuka lebar.