Dikepung
Dikepung
Pistol yang mengganjal punggungku sebetulnya terasa mengganggu, aku hanya berusaha mengabaikannya karena aku tahu aku akan membutuhkannya di situasi seperti ini. Walau Astro dan Kyle membawa pistol mereka masing-masing, mereka akan membutuhkannya untuk melindungi diri mereka sendiri.
Astro membatalkan rencananya untuk melihat bintang denganku di atap karena Kyle yang memintanya. Kyle berkata akan lebih baik jika kami berada di dalam rumah saat ini karena kami tak tahu musuh kami berada di mana. Mereka bisa saja menggunakan jasa sniper untuk menembak dari jauh di tengah kegelapan dan kami akan menjadi sasaran empuk jika terus mengekspos diri kami sendiri.
"Besok kita pulang sekitar jam dua belas ya. Lebih aman kalau kita berangkat siang dari sini." ujar Kyle tanpa mengalihkan tatapan dari layar laptop. Dia sedang membuat berbagai kode entah apa dan mungkin saja dia sedang meretas sesuatu.
"Kak Sendy kemarin bilang katanya kau pulang bareng kita." ujarku sambil menatap Astro yang juga sedang menatap layar laptop dengan penuh konsentrasi.
Astro mengamit handphone dari sakunya dan mengetik entah apa, lalu meletakkan handphonenya di meja sebelum kembali menatap layar laptop. Dia bahkan mengabaikanku.
Aku menyandarkan punggung pada punggung kursi sambil menatapi mereka berdua bergantian. Ternyata seperti ini rasanya menjadi Ibu. Ibu pernah mengeluh padaku karena merasa sebal jika Ayah dan Astro sedang bekerja. Kurasa aku mengerti Ibu sebetulnya merasa kesepian jika sedang tak dianggap keberadaannya seperti ini dan entah kenapa aku merasa bersalah karena tak bisa menemaninya lebih sering.
Handphone Astro menyala, ada telepon dari Kak Sendy. Astro langsung menerimanya, "Okay. Aku jemput sekitar jam dua, tapi kalau aku ada perubahan rencana nanti aku kabarin. Ga ada apa-apa kok. Aman. Okay."
Lalu Astro mematikan sambungan telepon begitu saja dan meletakkan handphone di meja. Dia langsung kembali berkutat dengan laptop dan tak bicara sepatah kata pun setelah rasanya selamanya.
Aku menghela napas perlahan dan mengeluarkan handphone dari saku. Sebetulnya aku sama sekali tak berniat bekerja karena sudah menitipkan semua perkerjaan pada partner kerjaku yang lain. Namun melihat Astro dan Kyle yang sedang berusaha mencari petunjuk mengenai penguntit, jariku tiba-tiba terasa gatal.
Aku membuka semua email masuk dan membalasnya sebisaku. Aku juga membuka aplikasi pesan dan menemukan berbagai pesan dari banyak orang. Salah satunya Xavier yang menanyakan tentang Denada.
Aku : Aku lagi di Bogor, Vier. Kamu bisa telpon Denada kalau kamu emang mau tau gimana keadaannya
Xavier : Semua chatku ga dibaca. Makanya aku nanya kamu
Aku : Sorry, aku ga tau. Denada emang sempet cerita soal lamaran kamu dan kayaknya dia emang masih belum bisa bikin hubungan apapun sama laki-laki manapun. Semoga kamu bisa ngerti
Xavier : Fine
Xavier : Aku tau ada keluarganya Zenatta di deket rumah kamu. Kamu harus lebih hati-hati
Aku : Okay
Xavier : Aku serius, Faza. Mereka bahaya
Aku : Thank you, Vier. Aku pasti hati-hati
Pesanku hanya dibaca oleh Xavier, tapi dia tidak membalasnya. Aku menutup percakapan kami dan membalas pesan yang lain selama entah berapa lama. Aku baru melepas tatapanku dari layar handphone saat Jian masuk sambil bicara dengan seseorang melalui telepon. Entah apa yang dia bicarakan, tapi Jian menghampiri Kyle dan membisikkan sesuatu sebelum kembali ke luar.
"Warsa lagi ngikutin ojol gadungan ke Bekasi. Mungkin dia cuma orang cabutan, tapi kita usahain kita dapet informasi lebih." ujar Kyle sambil menatapku.
"Jadi bener yang tadi nganter makanan itu bukan ojol asli?"
Kyle mengangguk, "Ojol aslinya dibikin pingsan di tengah jalan."
"Gimana caranya mereka tau kita pesen makanan sama ojol itu?"
Kyle menoleh untuk menatap Astro, "Akses masuk ke area sini cuma ada dua. Ga heran kalau mereka udah nunggu di tengah jalan."
Begitukah? Kenapa aku sama sekali tak mengerti? Bukankah kemungkinannya kecil untuk kami memesan makanan melalui aplikasi pesan antar? Lagi pula bagaimana jika mereka salah memilih ojek yang mengantar makanan kami? Mereka akan salah menaruh racun sianida dan akan membunuh orang lain, bukan? Atau sebetulnya mereka tak peduli dengan hal itu?
Kyle memperlihatkan layar laptopnya pada kami. Sudah ada berbagai rute dan dia menjelaskan semuanya dengan teliti. Dia memberitahu kami bahwa akan lebih baik jika kami memakai jalan memutar dan tak memakai rute yang sama dengan saat kami datang.
"Jian bawa motor. Rilley ikut kita?" Astro bertanya.
"Tapi nanti Sendy bisa curiga." ujar Kyle.
Mereka saling bertatapan dalam diam seolah sedang mencari solusi paling baik untuk keamanan kami. Hingga oksigen di ruangan ini entah kenapa terasa menyusut dengan drastis dan membuat dadaku sesak.
"Kyle bawa motor. Rilley ikut Jian. Rilley bisa pindah ke kalian kalau emang keadaan gawat. Sendy pasti tau cepet atau lambat kalau kalian emang punya bodyguard. Justru aneh kalau dia ga mikir begitu." ujar Kyle dengan senyumnya yang menawan.
"Fine." ujar Astro sambil menatap layar laptopnya kembali. "Kayaknya Vinny bakal mangkir dari sidang."
Aku menatapnya tak percaya, "Kamu tau dari mana?"
Astro memperlihatkan layar laptopnya padaku. Ada sebuah percakapan panjang antara Gon dan Vinny beberapa hari lalu, tepat sebelum kami berangkat ke Bogor. Di percakapan itu ada pernyataan dari Vinny bahwa dia akan percaya pada janji Abidzar yang akan menyelamatkannya dari segala tuntutan, tapi Gon memaksanya tetap datang. Bagaimana jika ...
"Kamu beneran ga bisa minta info soal Gon?" aku bertanya pada Kyle.
Kyle menggeleng pasrah.
"Bisa aja Gon cuma mau minta maaf ke aku. Dia maksa ketemu aku kan sebelum dibawa ke Magelang?"
"Mungkin, tapi Kyle ga bisa bantu apapun soal dia sekarang. Lagi pula kalau dia emang niat minta maaf, kenapa ga sebelumnya? Dia bisa hubungi Nona sejak dua minggu yang lalu setelah kebakaran toko."
Kyle benar dan ini terasa menyebalkan. Andai aku tak tahu Gon memiliki bakat membuat berbagai kerajinan tangan, mungkin aku akan membiarkannya saja. Entah kenapa aku masih berharap untuk menyelamatkan Gon dari situasi ini.
Astro mengamit tanganku dan mengajakku bangkit, "Kita beresin barang-barang dulu. Kita harus antisipasi kalau harus pergi lebih cepet dari sini."
Aku menatapnya dalam diam walau mengikuti langkah kakinya menuju kamar Ayah, atau mungkin mulai saat ini aku akan menyebutnya kamar kami. Astro menutup pintu dan menguncinya, lalu memelukku erat. Entah ada apa dengannya, dia bahkan tak mengatakan apapun.
"Kamu kenapa?" aku bertanya sambil mengelus lengannya.
"Aku minta maaf. Aku hampir bikin kita mati."
Aah....
Aku mendongkak untuk menatapnya, "Bukan salah kamu. Justru bagus kalau kita tau ada yang ngincer kita di sini. Orang biasa ga mungkin bawa sianida ke mana-mana. Lagian kalau belum waktunya kita mati, kita ga akan mati, kamu tau?"
Astro menatapku khawatir, "Tapi aku gegabah banget."
"Dan itu akan jadi pengalaman buat kita. Inget Opa bilang kalau pengalaman akan bikin kita milih keputusan yang lebih baik?"
Astro mengangguk ragu-ragu.
Aku mengecup bibirnya dan menatapnya dalam diam lama sekali sebelum bicara, "Aku tau bukan ini yang mau kamu omongin. Kamu mau ngomong apa?"
Astro menatapku dengan tatapan serius, "Axe minta kita nginep di hotel malem ini. Rumah ini udah dikepung belasan orang."
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-