Koleksi
Koleksi
"Faza ga tau, tapi Bunda mungkin masih hidup, dan ... mungkin Opa tau di mana Bunda."
Ibu terkejut hingga menutup mulut dengan tangan. Ayah menatapku penuh perhitungan dengan tangan masih menggenggam satu tangan Ibu. Tangan Astro yang berada di bahuku bahkan terasa kaku.
Aku tahu kalimatku sesaat lalu serius sekali. Akan fatal jika menuduh Opa tanpa bukti, tapi entah kenapa aku merasa yakin sekali.
"Faza minta maaf cerita semuanya ke Oma karena Opa yang minta. Faza lupa sama pesen Ibu sebelum ke sini." ujarku untuk memecah keheningan.
Ibu melepas tangan yang menutup mulut dan menggeleng dengan gusar, "Ibu cuma ... khawatir Oma akan bikin perhitungan sama keluarga Pranoto kali ini. Calon anak keduanya meninggal karena keluarga itu dan sekarang keluarga itu ganggu Faza. Oma mungkin ga akan tinggal diem."
Aah andai Ibu tahu yang mengakibatkan kecelakaan jembatan pada keluargaku bertahun lalu adalah keluarga yang sama. Keluarga itu sudah membunuh Ayah dan kedua adikku, juga membuat bundaku menghilang.
"Kita istirahat sekarang." ujar Astro sambil menarikku bangkit.
Kurasa aku sudah cukup lama berada di sini, maka aku menyanggupinya. Kami memang harus beristirahat.
"Tunggu." ujar Ayah sambil mengamit lenganku. "Kalian harus ketemu kakek besok pagi. Jam empat, okay?"
"Iya, Yah. Besok kita ke kamar kakek." ujar Astro sambil menarikku menjauh.
Entah kenapa aku mendapatkan kesan Astro tak rela aku disentuh ayahnya sendiri, dan ini terasa lucu. Astro mengajakku ke luar dari area kamar itu dan menutup pintu. Aku sempat melihat Ibu menangis sambil mengelap pipi saat pintu tertutup.
"Ini kamar Ayah?" aku bertanya sambil mengedarkan pandangan pada berbagai rak buku yang memenuhi sudut ruangan yang terlihat seperti perpustakaan.
"Kamu kan udah pernah masuk ke kamar Ayah di mansion. Harusnya kamu ga kaget liat kamar ini. Ayah emang punya banyak koleksi buku. Kamu ga pernah mikir ayah mirip perpustakaan berjalan?" Astro bertanya sambil menggiringku ke luar dan menutup pintu.
Aku tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya, maka aku menggeleng. Aku tahu Ayah memang pintar sekali. Aku bahkan mengakui kepintarannya melebihi kepintaran ayahku sendiri.
Lampu temaram di rumah ini memberikan kesan menyeramkan andai aku sedang tak bersama Astro saat ini. Terlebih, berbagai benda kayu di rumah ini membuat bayang-bayang berbentuk aneh yang membuatku memikirkan tentang hantu dan semacamnya. Tiba-tiba saja aku teringat pada ucapan Astro bahwa rumah ini memang menyimpan benda-benda tua. Kanzashi dari Mama Zen pun disimpan di rumah ini, entah di mana.
Kami kembali ke kamar dan mengunci pintu. Astro langsung mengajakku duduk di tempat tidur dengan posisi saling berhadapan.
"Aku minta maaf."
Aku menatapnya dalam diam. Aku sama sekali tak tahu harus mengatakan apa padanya. Ibu benar saat berkata dia bisa membunuh banyak orang hari ini.
Astro memelukku dan melingkarkan kedua kakinya mengelilingi tubuhku, "Aku minta maaf, Honey. Harusnya aku lebih hati-hati."
Tunggu sebentar.
Bukankah Donny berjanji pada Opa akan melindungiku seumur hidupnya? Bukankah dia berjanji akan memberitahu kami jika papanya membuat rencana untuk mengganggu kami? Kenapa kabar darinya tak terlihat di saat seperti ini?
Aku mendongak untuk menatapnya, "Kamu ada komunikasi sama Donny?"
Astro menggeleng dan terlihat seperti baru saja mendapatkan pemahaman, "Harusnya dia lapor ke Opa kalau ada sesuatu. Kalau papanya bikin rencana, harusnya dia bilang ke Opa."
"Harusnya Opa tau kan?"
"Mungkin."
Lalu kami saling menatap dalam diam. Entah apakah aku memang sudah mempercayai Donny atau sedang berusaha menyangkal kenyataan, tapi jika Opa mendapatkan informasi tentang gerakan Abidzar dari Donny, kenapa Opa justru membiarkannya?
Bagaimana pula jika Opa memang tidak tahu? Apakah itu juga berarti Donny tidak mengetahui rencana papanya? Atau apakah Opa sengaja membiarkannya terjadi seperti rencana Abidzar?
Uugh kepalaku berdenyut mengganggu.
Kenapa pergerakan Opa begitu sulit ditebak? Aku sama sekali tak mengerti dengan bagaimana jalan pikiran Opa bekerja. Ini terasa seperti sedang menatapi kolam jernih yang tenang tanpa ada benda apapun di dasarnya.
"Kamu sering main catur sama Opa kan." ujarku sambil menatap Astro penuh minat. "Aku ... percayain langkah selanjutnya sama kamu. Kamu pasti tau gimana biasanya Opa ambil keputusan."
Astro menatapku dalam diam. Manik matanya yang berwarna coklat tua berkilau dalam cahaya temaram kamar ini. Dia menatapku seolah sedang membaca apa yang ada di dalam pikiranku. Tajam dan mengintimidasi, tapi lembut di saat yang sama.
"Aku serius."
Astro menghela napas pelan, "Aku hampir bunuh banyak orang hari ini dan ..."
"Dan kamu belajar. Aku tau."
"Ga segampang it ..."
"Aku tau, tapi kamu yang biasa main catur sama Opa pasti ngerti sama cara main Opa. Jujur aja, aku ga ngerti sama gimana cara Opa bikin strategi. Makin aku pikir rasanya makin ga masuk akal. Yang kepikiran di otakku sekarang cuma Opa biarin Abidzar nyerang, tapi buat apa? Bagus ga ada korban yang meninggal dari pihak kita hari ini."
"Ini bukan soal ada korban atau ga."
Aku terdiam. Kurasa aku tahu apa maksudnya.
"Kita istirahat dulu. Kita harus ketemu kakek besok pagi buta." ujar Astro sambil melepas sweater yang kupakai dan membaringkanku di tempat tidur, dengan kepalaku bersandar di lengannya.
"Aku ..."
"Kita bahas lagi besok, okay?"
Aku menghela napas sambil terus menatapinya. Aku tahu dia lelah. Seingatku dia tak pernah tertidur di mobil seperti dia tertidur di mobil saat kami sedang dalam perjalanan ke sini.
Astro mengelus ujung rambut di dahiku, "Kasih aku waktu. Aku harus mikir jernih. Ini ga kayak lagi main catur yang aku bisa korbanin biduk seenaknya."
Aku mengangguk.
Astro mengecup puncak kepalaku dan bicara dengan bibir bergerak di sana, "Hari ini berat, kan?"
Aku menggumam mengiyakan. Dia benar. Hari ini berat.
"Kamar ini dulunya kamar kakek Indra. Ini kamar utama khusus buat pewaris. Kakek Arya sama Ayah dulu pernah tinggal di sini, tapi Ayah cuma nempatin kamar ini sebentar karena lebih suka sama kamar yang tadi. Dulu ujung tombak itu di simpen di kamar ini sebelum dipindah sama kakek Arya ke mansion. Aku udah cerita kan kenapa kakek lebih suka di mansion?"
Aku menggumam mengiyakan. Aku ingat dia pernah memberitahuku bahwa Kakek Arya tak ingin tinggal di rumah ini karena rumah ini menyimpan terlalu banyak kenangan dengan mendiang istrinya.
"Aku ga bermaksud nakutin kamu, tapi nenek Pita dulu meninggal di sini. Di kamar ini. Di kasur ini."
Aku mendongak dan mencubit pipinya, "Apa sih?"
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Aku ngasih tau kamu aja."
Aku menatapnya sebal, "Aku ga takut."
"Good to know (Bagus deh). Aku di samping kamu kok kalau kamu butuh dipeluk."
Aah laki-laki ini benar-benar....
Aku membenamkan wajah di dadanya dan merapatkan pelukanku. Aku akan mengabaikannya kali ini karena aku tahu dia hanya sedang ingin membuatku tak terlalu banyak berpikir.
Aroma hangat tubuhnya menyenangkan sekali. Membuatku memejamkan mata dan menghirup aromanya sesukaku. Untuk diriku sendiri. Hanya aku.
"Good night, Honey." ujarnya sambil mengecup puncak kepalaku. "Kita ketemu di mimpi."
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-