Paranoid
Paranoid
Aku mengetikkan sandi 1, 2, 8, 9, 25, 15, 7, 1. Namun gagal.
Astro menatapiku dalam diam. Sepertinya dia tahu apa yang sedang kucoba lakukan dan dia kecewa.
Aku mengelus wajahnya perlahan, "Kamu udah coba nama Nenek Pita?"
Astro mengangguk, "Nama oma, nama kakek buyutku, nama nenek buyut sama kakek buyut kamu juga, tapi gagal semua."
Aku terdiam. Aku baru saja akan melontarkan pertanyaan tentang tanggal seseorang yang mungkin spesial untuk Opa, tapi itu terlalu riskan. Opa tak akan repot-repot membuat sandi jika jawabannya semudah itu.
Handphone yang kuletakkan di meja bergetar. Aku mengamitnya dan melihat notifikasi dari Mayang.
Mayang : (mengirimkan sebuah foto sebuah rumah dua lantai dengan cat biru laut)
Mayang : Itu rumah yang alamatnya kamu kirim ke aku kemarin, Za. Aku ga bisa ketemu sama penghuninya karena lagi ke luar. Aku coba tunggu dari siang, tapi sampai jam segini blm ada tanda-tanda orang di dalem. Lampunya mati
Aku : Ga pa-pa, May. Thank you udah nyempetin nyari
Mayang : Ga pa-pa. Ini aku sambil jalan-jalan kok. Di deket sini ada pujasera sama toko buku, jadi aku ga bete
Aku : Kamu mau pulang sekarang?
Mayang : Iya, ini lagi jalan soalnya aku taruh motor di minimarket
Aku : Maaf ya aku jadi ngerepotin
Mayang :Ga pa-pa aku seneng bisa bantu. Aku pulang ke apartemen dulu ya
Aku : Hati-hati ya, May
Mayang : Siap, Nyonya
Aku hampir saja menegurnya karena memanggilku "nyonya", tapi aku menahan jariku mengetik. Mayang baru saja membantuku mencari rumah anak Nenek Shiori. Aku tak ingin disebut tak tahu diri karena sudah dibantu.
Aku meletakkan handphone kembali ke meja dan menatapi handphone peninggalan Opa. Nama siapa lagi yang terlewatkan oleh kami?
Zen?
Jantungku berdetak kencang sekali. Aku mencoba menolak kemungkinan itu, tapi tak ada salahnya dicoba, bukan?
Aku mencoba metode yang sama dengan nama Zen dan alfabet nama mamanya. Namun gagal, tapi entah kenapa aku merasa lega.
Astaga, ini sangat membingungkan. Kepalaku bahkan mulai berdenyut mengganggu.
Aku menaruh handphone peninggalan Opa di dadaku sambil memejamkan mata. Apa yang opaku sukai? Apa yang menurutnya spesial dalam hidupnya? Entah kenapa saat ini aku merasa bodoh sekali karena tak berusaha mengenal opaku dengan baik.
Terbayang senja di mataku. Saat jingga dan abu-abu berpadu. Temaram datang menyambut malam. Satu-persatu bintang bermunculan, walau sedikit dan jarang.
Saat aku membuka mata, langit gelap di atas sana dengan bintang yang bisa dihitung sedang menatapku kembali. Astro sedang berkutat dengan laptop di hadapannya. Dia bahkan begitu pengertian untuk tak menggangguku saat aku membutuhkan waktu, lalu kenapa aku harus terburu-buru?
Aku bangkit dan duduk menghadap ke arahnya, lalu menutup laptop yang sedang sangat serius dia tatap sejak tadi dan meletakkan handphone peninggalan Opa di meja. Dia menoleh padaku seolah meminta penjelasan, tapi aku meraih wajahnya dan mengecup bibirnya.
"Kita ga perlu buru-buru. Aku masih bisa komunikasi sama semua orang pakai hape Opa yang udah berhasil kamu buka sandinya. Kita istirahat dulu, okay?"
Astro menatapku dalam diam.
"Aku ga kepo banget sama apa yang ada di hape ini atau laptop itu. Aku bisa minta semua data yang aku butuh ke Pak Bruce atau Om Chandra. Kita udah ngalamin bulan-bulan yang berat belakangan ini. Aku mau kita seneng-seneng sedikit." ujarku sambil mengelus wajahnya dan tersenyum manis. "Mau dansa?"
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa dan mengecup bibirku, "Kenapa ga joget dangdut? Yang waktu itu seru, kan?"
"Ga mau. Aku malu. Kita dansa aja." ujarku sambil mengamit handphoneku dari meja dan memutar sebuah lagu untuk menemani kami berdansa.
Saat lagu mengalun, aku meletakkan handphoneku kembali dan mengamit tangan Astro untuk menariknya bangkit. Aku menaruh kedua tangannya di pinggulku dan menaruh kedua tanganku di bahunya.
Astro menarikku lebih dekat dengannya hingga tubuh kami tak memiliki jarak dan dia mulai membimbing langkah. Napas kami bahkan bertemu dan kami tak sanggup menahan diri hingga saling bercumbu. Lembut dan manis. Lama sekali.
Berbulan lalu saat kami datang ke konser Teana, kami tak berani sekadar mengecup. Tubuh kami yang begitu dekat saat itu benar-benar menjadi ujian pertahanan diri. Namun sekarang kami bisa menikmati yang lain sesuka hati.
Wajah kami merona merah sekali saat saling melepaskan diri. Namun hanya untuk mengambil napas sesaat dan kami saling bercumbu kembali. Lembut dan manis. Bahkan saat lagu berhenti mengalun, kami masih saling menikmati cumbuan kami.
Astro mengangkat kedua kakiku dan menggendongku tanpa melepas cumbuan kami, lalu merebahkan tubuhku di sofa. Dia melepas cumbuan kami dan bibirnya menjalar turun ke leherku. Kedua tangannya sudah menyusup ke dalam kaos yang kupakai entah sejak kapan dan menyingkapnya. Dia baru saja menciumi perutku saat handphonenya berbunyi.
Aku tahu itu adalah telepon dari seseorang, tapi Astro mengabaikannya. Dia tetap menciumi tubuhku hingga bunyi telepon menghilang dan terdengar lagi sesaat setelahnya. Namun dia tetap mengabaikannya.
"Angkat dulu, Honey." ujarku sambil mengamit wajahnya.
Wajahnya merah sekali, dengan napas yang memburu sepertiku. Aku tahu dia keberatan, tapi dia melepasku pada akhirnya dan mengamit handphonenya dari meja. Dia berdecak kesal saat menerima telepon itu, "Apa?"
Namun wajahnya semakin kesal saat menutup telepon sedetik kemudian. Entah apa yang dia lakukan, tapi dia berkutat dengan handphonenya dan alisnya mengernyit mengganggu saat menatapku.
"Kenapa? Ada sesuatu?" aku bertanya sambil membenahi kaos yang kupakai.
Astro menghempaskan tubuh ke sofa di sisiku, "Axe bilang dia minta dijemput. Dia mau tinggal di workshop aja."
"Kenapa? Kok tiba-tiba?"
"Dia bilang ada tante-tante yang ganggu dia di apartemen."
"Tante-tante?"
"Rrgh, dia tuh selalu gini. Diliatin sedikit aja udah paranoid. Padahal bisa jadi orang itu cuma nganggep dia ganteng."
Aku tersenyum, "Axe emang ganteng, kan?"
Astro menatapku tajam. Astaga, dia bahkan cemburu pada sepupunya sendiri.
Aku memeluk lengannya dan mengecup pipinya, "Tapi lebih ganteng kamu."
Astro menyentil dahiku kencang, "Jangan macem-macem kamu."
Aah laki-laki ini benar-benar....
"Trus gimana? Mau biarin dia tinggal di workshop?" aku bertanya sambil mengusap dahiku. "Kita belum nutup akses jalan ke rumah ini."
Astro merebahkan kepala di pengkuanku dan menyusupkan kepala ke dalam kaos yang kupakai, "Besok kita ke sana. Harusnya kan dia nempatin apartemen, bukan workshop. Gimana mau ngelamar Mayang kalau sikapnya ga berubah gini? Keluarganya Mayang kan banyak. Mamanya juga aktivis, pasti punya banyak kenalan."
Aku menyingkap kaosku dan mengelus rambutnya yang berantakan, "Sabar. Axe cuma butuh waktu buat terbiasa."
Astro mendengus kesal dan mengelus perutku dalam diam. Dia berbisik entah apa pada calon bayinya. Aku sudah begitu terbiasa mengabaikan sikapnya yang satu itu. Namun ini terasa lucu. Aku merasa sangat penasaran dengan tante-tante yang disebut mengganggu Axelle itu.
=======
NOVEL INI EKSKLUSIF DAN HANYA TAMAT DI APLIKASI WEBNOVEL. BANTU NOU LAPORKAN APLIKASI PEMBAJAK NOVEL : IREADING, di google play kalian masing-masing karena dia udah MALING novel ini.
TUTORIAL LAPORANNYA BISA KALIAN LIAT DI AKUN FESBUK: NOU. Thank you atas bantuannya ♡
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Terima kasih banyak atas antusias kalian baca lanjutan novel Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-
Kalian bisa add akun FB ku : nou
Atau follow akun IG @nouveliezte
Kalau kalian mau baca novel nou yang lain, bisa follow akun Wattpad @iamnouveliezte
Dukung nou dengan vote powerstone & gift setiap hari, juga tulis komentar & review tentang kesan kalian setelah baca novel ini. Luv u all..
Regards,
-nou-