Guratan
Guratan
Opa menutup buku yang sedang dibacanya dan meletakkannya di meja. Sepertinya menungguku bicara.
Aku berpikir kembali apa yang akan kukatakan sebelum benar-benar bertanya, "Kenapa dulu Opa ngelarang Bunda pacaran sama Ayah?"
Opa terlihat terkejut. Namun tatapannya kembali seperti biasanya saat menyandarkan punggung ke punggung sofa, "Mafaza sudah baca semua diary Danastri?"
"Masih ada satu yang belum Faza baca."
Opa mengangguk mengerti, "Bisa Mafaza cerita ke Opa, apa saja yang Mafaza baca?"
Permintaan Opa terasa aneh untukku. Bukankah Opa juga sudah membacanya? Diary itu tergeletak begitu saja saat aku menemukannya. Seharusnya siapapun yang pernah ke loteng bisa menemukannya dengan mudah. Bahkan Astro berkata pernah melihat diary itu saat dia mengikuti Opa ke loteng walau hanya sekali.
"Faza baca curhatan Bunda dari Bunda SD sampai SMA. Terakhir Faza baca dibagian Bunda belum ketemu Ayah lagi."
"Berarti sekarang Mafaza tahu kenapa Opa membebaskan Mafaza memilih sendiri laki-laki yang Mafaza sukai?"
Pertanyaan Opa mengejutkanku. Aku sama sekali belum berpikir tentang itu. Namun karena Opa menyebutkannya, sepertinya aku tahu apa yang Opa maksudkan.
"Karena Opa ga mau Faza pergi kayak Bunda?" aku mencoba menebak. Aku memang belum tahu apakah Bunda benar-benar pergi berkuliah di UI setelah lulus SMA, tapi kurasa entah bagaimana caranya, Bunda pasti pergi menemui Ayah.
Opa mengangguk perlahan, "Betul."
Aku menatap Opa dalam diam. Guratan wajah tuanya terlihat jelas dari jarak sedekat ini. Ada ketenangan dalam sikapnya, tapi pupil matanya yang bergetar membuatku menyadari bahwa Opa pasti sudah melalui banyak fase dalam hidupnya.
Aku memeluk lengan Opa dan meletakkan kepala di bahunya. Opa mengelus kepalaku perlahan dengan tangannya yang lain. Sepertinya ini adalah pertama kalinya aku memeluk Opa. Rasanya jauh berbeda dengan saat aku memeluk Astro. Terasa menenangkan, tapi juga membuatku terharu.
Selama ini aku banyak menahan diri saat berada di dekat Opa. Terasa seperti aku selalu takut akan melakukan kesalahan dan mungkin saja Opa tidak menyukainya. Sepertinya aku baru menyadarinya sekarang, Opa sama saja seperti orang lain. Persepsiku lah yang membuat hubunganku dengan Opa menjadi lebih rumit.
"Mafaza sudah dewasa sekarang. Opa senang melihatnya."
Entah bagaimana, air mata mengalir tanpa bisa kutahan. Aku memeluk lengan Opa lebih erat, membuat lengan Opa basah terkena air mataku. Namun Opa membiarkanku menangis hingga aku bisa mengendalikan diri. Opa bahkan terus mengelus kepalaku untuk membantuku menenangkan diri.
Aku melepas pelukan dan mengelap sisa air mata di wajah sebelum menatap Opa kembali. Aku ingin sekali mengucapkan terima kasih, tapi tenggorokanku tercekat.
"Opa minta maaf selama Mafaza tinggal bersama Opa, Mafaza mengalami banyak kesulitan."
Aku menggeleng dan memaksa diri bersuara, "Faza berterima kasih sama Opa karena jagain Faza selama ini. Faza pasti ngerepotin."
"Mafaza anak yang mandiri, ga pernah merepotkan siapapun. Opa yang terlalu banyak memberi Mafaza tugas untuk dikerjakan. Maaf Opa membuat Mafaza harus memikul tanggung jawab yang lebih banyak dibandingkan anak seumuran Mafaza."
"Faza ga keberatan kok. Kan awalnya Faza yang minta Opa ngajarin bisnis. Opa jangan minta maaf."
Opa tersenyum tipis yang hampir tak terlihat, lalu mengelap pipiku. Aku merasa beruntung karena bertemu Opa saat Opa sudah merubah dirinya sendiri. Aku bisa membayangkan bagaimana Bunda harus menangani hubungannya dengan Opa saat Opa masih belum berubah. Pasti berat sekali.
"Mafaza bisa beri Opa satu janji?"
Aku menatap Opa dalam diam dan menunggu Opa melanjutkan kalimatnya.
"Jika Mafaza bertemu masalah setelah menikah dengan Astro nanti, jangan pergi dari rumah sebelum masalah kalian selesai. Bisa?"
Aku mengangguk. Kalimat Opa membekas dalam sekali di hatiku. Aku pasti mengingatnya dengan baik.
"Opa melakukan banyak kesalahan saat masih muda. Mafaza juga bisa saja melakukan kesalahan, begitu juga Astro. Jika kalian mencari solusinya bersama dan bersedia meninggalkan keegoisan, kalian akan menjadi pribadi yang lebih hangat nantinya."
Mendengar Opa mengatakannya, membuatku mengingat Ayahku. Mungkin Ayah akan mengatakan hal yang sama saat akan melepasku menikah.
"Jangan merasa diri Mafaza paling benar saat berdebat, bisa jadi Mafaza yang salah sejak awal. Mafaza hanya ga sadar saat itu."
"Iya, Opa."
Opa mengelus kepalaku, "Opa dulu egois sekali. Opa membuat Danastri mendapat banyak kesulitan. Sebetulnya Opa mengerti kenapa Danastri memilih menjauh, tapi Opa hanya manusia biasa dan Danastri adalah anak Opa satu-satunya. Opa hanya ingin memberikan yang terbaik untuk Danastri. Opa hanya lupa bahwa versi terbaik Opa dan Danastri berbeda."
Aku bisa mengerti ucapan Opa. Setelah membaca empat diary Bunda, aku bisa melihat masalah yang ada pada mereka. Mereka hanya bertahan dengan pendapat masing-masing dan mengabaikan pendapat yang lainnya.
"Opa berharap Mafaza bisa banyak belajar dari kesalahan yang Opa buat."
Aku mengangguk. Aku akan mengingat percakapan hari ini dengan baik selama hidup. Aku akan menceritakannya pada Astro juga.
"Kenapa Opa berubah pikiran dan mau terima Ayah jadi menantu?" aku bertanya.
"Mafaza baca sendiri di buku harian Danastri. Opa ingin istirahat."
Sepertinya aku harus menerima keputusan Opa. Opa mengamit buku yang diletakkannya di atas meja dan membawanya menuju kamar. Sedangkan aku menatapi buket bunga lavender dan paper bag berisi coklat di hadapanku. Kemudian mengambil fotonya menggunakan kamera handphone dan mengirimnya pada Astro melalui aplikasi pesan.
Aku : I love you too, Tuan Astro Abhiyoga
Astro : Lama banget sampainya? Aku minta itu dikirim dari satu jam yang lalu
Aku : Aku udah terima dari tadi kok. Aku cuma baru sempet chat
Astro : Kenapa baru sempet? Kamu kan udah di rumah dari tadi
Aku : Abis ngobrol sama Opa
Astro : Soal diary Bunda?
Aku : Opa ngasih tips cara menjalani hidup berumah tangga
Astro membaca pesanku, tapi tidak membalasnya. Mungkin dia sedang sibuk.
Aku membawa buket bunga lavender dan paper bag berisi tujuh bar coklat almond menuju kamar. Aku baru saja menutup pintu saat Astro memberiku panggilan video call. Aku menerimanya, "Katanya kamu sibuk?"
"Nasib rumah tanggaku lebih penting dibanding deadline. Ayo cerita."
"Nanti aja kalau kamu pulang. Ga seru cerita lewat video call begini."
"Ooh, come on. Jangan bikin aku penasaran."
Aku akan menggodanya sebentar, "Opa bilang kalau kamu nyebelin aku boleh ngadu ke Opa. Nanti Opa yang ngomelin kamu."
Sepertinya Astro tahu aku sedang menggodanya. Dia tersenyum lebar sekali.
Aah, kenapa dia begitu tampan?
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-