Mata-Mata
Mata-Mata
Diary yang terakhir berisi akhir masa SMA Bunda. Tak ada tanda-tanda pertemuan Bunda dengan Ayah di halaman pertama aku membaca. Bahkan nama Agnia yang mungkin adalah Ibu Astro pun tak ada. Aku baru menemukan curahan hati Bunda saat menerima surat dari Ayah di halaman ke sembilan belas, yang membuktikan dugaanku bahwa surat yang kutemukan beberapa hari lalu memang seharusnya ada di diary ini.
Aku membaca betapa Bunda sangat bahagia saat mendapatkan kabar dari Ayah. Bunda menyebutkan tentang Agnia, tapi aku masih belum yakin apakah benar itu adalah Ibu Astro. Agnia menjadi perpanjangan tangan Ayah dan Bunda sejak saat itu. Memang hanya sebatas menyampaikan surat selama satu atau dua bulan sekali, tapi sepertinya Agnia benar-benar aman sebagai perpanjangan tangan.
Tiba-tiba aku berpikir, kenapa selama ini aku tak pernah mengetahui banyak tentang Bundaku? Sejauh yang bisa aku ingat, Bunda selalu sibuk membantu proses belajarku dan adik-adikku. Aku bahkan tak tahu di mana Bunda berkuliah. Perasaan ini membuatku merasa buruk dengan diriku sendiri.
Halaman demi halaman kujelajahi. Aku menemukan fakta bahwa Bunda gagal berkuliah di UI. Bunda berkuliah di kampus dan mengambil jurusan yang sama sepertiku. Fakta ini mengejutkanku. Entah bagaimana, seperti ada sesuatu menyengat dadaku. Terasa perih dan membuatku ingin berhenti membaca, tapi aku tahu aku sedang sangat penasaran dan mungkin akan menyesal jika tak melanjutkan pencarian.
Bunda bertemu dengan Ayah saat mengikuti Agnia ke Jakarta. Entah bagaimana caranya Bunda bisa mendapatkan izin. Tak ada cerita apapun tentang itu. Ayah dan Bunda kembali menjalin hubungan diam-diam karena Bunda masih khawatir Opa mungkin akan melarang hubungan itu lagi. Namun seiring waktu, saat Ayah mulai mengelola toko perlengkapan hiking, sepertinya Ayah mendapatkan kepercayaan diri untuk datang melamar.
Saat itu Bunda sedang tidak ada di rumah, Ayah datang sendiri untuk berbincang berdua dengan Opa. Namun Opa menolak. Opa masih berpendapat Ayah tak cukup pantas untuk Bunda. Opa bahkan masih berusaha menjodohkan Bunda dengan anak salah satu kolega bisnisnya.
Hingga di suatu titik, hubungan Bunda dan Opa kembali merenggang. Bunda ternyata tahu mata-mata suruhan Opa masih ada walau Opa sudah pensiun menjadi agen rahasia. Bunda hanya berpura-pura tidak tahu.
Entah apa yang terjadi hingga Bunda memutuskan pergi dari rumah. Di diary itu hanya tertulis bahwa Bunda lelah dan ingin pergi. Entah pergi ke mana karena tak tertulis apapun. Kemudian, tahun catatan curahan hati berikutnya berganti ke tiga tahun setelahnya. Saat Bunda mengikuti pameran lukisan di Bandung, Bunda bertemu Ayah lagi.
Aah, sepertinya mereka memutuskan untuk saling berjauhan selama tiga tahun yang tak tertulis di diary.
Aku menyusuri halaman lain. Sepertinya selama tiga tahun itu Bunda pergi mengasingkan diri entah ke mana. Bahkan sepertinya bunda juga berhenti kuliah.
Aku menghela napas. Sepertinya sekarang aku tahu kenapa Bunda tak pernah menyebut apapun tentang kampusnya.
Handphoneku bergetar. Aku meraihnya dan menemukan panggilan video call dari Astro. Aku memasang earphone dan menerimanya.
"Kamu belum mandi?" Astro bertanya sambil mengelap rambutnya yang basah dan duduk di meja kerja. "Masih baca diary?"
Aku menggumam mengiyakan. Aku sama sekali tak berniat untuk bicara. Aku mengangkat video call darinya karena ingin menatap wajahnya.
"Udah nemu Agnia yang kamu cari?"
Aku menggeleng. Diary itu memang berkali-kali menyebut Agnia, tapi aku masih belum yakin apakah Agnia yang dimaksud adalah ibunya.
"Udah makan coklat dariku?"
Aku menggeleng lagi. Sejak memasuki kamar, aku hanya meletakkannya di meja karena langsung membaca diary Bunda.
Astro menatapku lama tanpa bicara. Mungkin dia tahu aku sedang tak ingin mengatakan apapun, tapi entah kenapa hal itu justru menggangguku. Apalah gunanya video call jika kami hanya saling menatap?
"Astro." aku memanggilnya.
Astro memberiku senyum menggodanya yang biasa, "Udah mainan tatap matanya? Aku belum kalah, kamu tau?"
Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Dia selalu berhasil mencairkan suasana hatiku yang buruk dengan keisengannya.
"Apa yang kamu temuin di diary?"
"Bunda pergi dari rumah. Kayaknya Bunda ga lanjutin kuliah. Aku juga ga tau Bunda ke mana. Aku belum selesai baca."
Astro menghela napas, "Kalau kamu udah tau semuanya, trus kamu mau ngapain?"
Pertanyaannya membuatku berpikir. Aku tahu aku tak akan mampu melakukan apapun untuk mengubah yang sudah terjadi, tapi aku tahu rasa penasaranku harus terpuaskan.
"Aku bisa menghindar dari masalah yang sama." ujarku tiba-tiba. Aku benar-benar baru memikirkannya dan langsung mengatakannya begitu saja.
"Smart enough."
Aku terdiam sebelum bicara, "Kamu pernah ngebayangin kalau aja kita ga pernah ketemu?"
"Aku ga mau bayangin itu. Ga penting."
Aku tersenyum. Aku tahu dia benar. Mungkin karena aku adalah perempuan atau entah karena aku sedang menstruasi, tapi berandai-andai sepertinya memang menjadi kebiasaanku.
"Astro." aku memanggilnya.
Astro hanya menatapku dalam diam. Mungkin dia menungguku melanjutkan kalimatku.
"Aku bersyukur punya kamu. Aku tau aku emang sering ngerepotin, tapi kamu selalu ada. Thank you."
"Kamu lagi ngayal apa? Aku bukan punya kamu. Kita belum nikah, kamu tau?" ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
Aku tahu ia pasti mengerti maksud ucapanku. Dia hanya sedang ingin menggodaku dengan bersikap menyebalkan.
"Kamu nyebelin." ujarku sambil tersenyum. Baru kali ini aku menyebutnya menyebalkan tanpa memberinya tatapan sebal.
"Ooh, kamu bener-bener jatuh cinta sama aku ya, Nona? Coba liat senyum kamu."
Mau tak mau aku harus melepas tawa. Dia benar. Aku benar-benar mencintainya.
"Kamu udah siapin berkas?"
"Berkas apa?" aku bertanya di sela tawaku yang berangsur reda.
"Buat daftar nikah, Nona. Kita cuma punya waktu tiga bulan. Kita harus daftar sekarang."
Aku baru memikirkannya, "Berkas kamu udah siap?"
"Aku udah minta tolong ayah buat nyiapin. Besok kamu jadi ke rumah? Bawa berkas kamu sekalian. Aku forward kelengkapan berkasnya di chat."
"Okay."
"Kamu udah siap?"
"Siap apa?"
"Siapin diri buat malam pertama." ujarnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
Seketika aku diam terpaku. Aku benar-benar mendengarnya mengatakan itu.
Aah, ini memalukan.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLU.SIF & TAMAT di aplikasi WEBNO.VEL. Pertama kali dipublish online tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEB.NOVEL, maka kalian sedang membaca di aplikasi/web.site/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke TAUTAN RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Banyak cinta buat kalian, readers!
Regards,
-nou-