Kafe
Kafe
Aku menyodorkan buku catatanku padanya, "Besok balikin ya."
"Siap." ujarnya dengan senyum yang lebar sekali. "Kamu langsung pulang lagi? Main bareng kita dong sekali-sekali. Mumpung masih awal semester jadi masih banyak waktu. Nanti kalau udah mulai sibuk kita stress sendiri nih."
"Mau main ke mana?"
"Kamu ga mungkin mau ikut. Mau ke kafeku soalnya." ujar Zen yang sedang beranjak dari duduknya.
"Kamu punya kafe?"
Zen menaikkan bahu, tapi sepertinya memang benar. Bian dan Daniel yang sedang beranjak mengikuti Zen, menatapiku untuk meminta jawaban.
Sebetulnya aku penasaran. Mengingat aku ingin merubah tampilan eksterior cabang gerai kopiku, tapi sepertinya akan lebih baik jika aku menahan rasa penasaran, "Ga deh. Kalian aja."
"Bener kan." ujar Zen pada Bian.
"Okay deh. Ketemu besok ya." ujar Bian.
Aku mengangguk dan membereskan barang-barangku sebelum mengamit handphone dari ransel. Aku baru saja bangkit dari duduk saat Nina berjalan ke arahku.
"Bian udah jalan ya?"
"Udah. Baru jalan kok."
"Okay." ujarnya yang terburu-buru membereskan barang-barang miliknya. "Aku duluan ya, Za."
Nina berjalan cepat sekali. Kurasa akan percuma jika aku memberinya lambaian tangan karena dia sudah pergi. Aku menyalakan handphone dan mengecek pesan dari Astro.
Astro : Aku baru keluar. Nanti aku VC kalau udah di mobil
Aku : Okay
Aku memasukkan handphone ke saku. Berjalan sendiri ke arah parkiran membuatku mengingat saat Astro selalu berusaha menunggu di depan koridor kelasku. Aku tak keberatan jika dia dianggap posesif, karena aku menyukainya yang bersikap seperti itu.
"Kamu belum pulang?" aku bertanya saat mendapati Nina sedang berdiri seorang diri di area parkiran.
"Oh, Faza. Belum nih. Aku abis ditolak dua ojol. Kalau tadi ga ngurus administrasi kan bisa nebeng Bian."
"Kamu pulang ke arah mana?"
"Belum mau pulang sih. Aku mau nyusul anak-anak ke kafe. Sebenernya deket cuma setengah jam dari sini, tapi ga ada angkot lewat di sana."
"Mau sekalian? Aku bisa nganter sekalian pulang."
"Beneran?"
Aku hanya mengangguk.
"Makasih ya."
"It's okay." ujarku sambil mengajaknya ke lokasi mobilku terparkir.
Nina terkagum-kagum saat duduk di sebelahku, "Mobil kamu bagus banget. Kamu anak orang kaya ya?"
Aku tak berminat membahasnya dan tersenyum, "Kamu yang arahin ya ke kafenya. Aku ga tau soalnya."
"Pakai GPS aja. Sebentar aku cariin." ujarnya yang segera menyodorkan handphone tak lama kemudian, dengan GPS yang mengarahkan rute kafe. "Kamu ikut ngumpul juga yuk. Kafenya asik loh. Punya Zen."
Aku meletakkan handphonenya di holder dekat dengan kemudi agar leluasa melihatnya, "Aku ga bisa. Ada kerjaan."
"Sayang banget. Padahal mumpung masih awal semester jadi bisa main."
"Nanti ya. Kapan-kapan."
"Bener ya?"
Aku mengangguk, "Kalian sering ke kafe Zen?"
"Baru tiga kali sih, tapi tempatnya cozy jadi balik terus ke sana."
Handphoneku yang berada di saku bergetar. Aku mengamitnya dan menemukan panggilan video call dari Astro. Aku meletakkannya di holder yang berada di tengah dashboard, lalu mengarahkan layarnya padaku.
"Hai, Cantik." ujarnnya dengan senyum menggodanya yang biasa.
"Jaga sikap sedikit. Ada temenku di sini." ujarku sambil melirik ke arah Nina yang terlihat canggung. Aku mengarahkan layar ke Nina agar Astro bisa melihatnya.
"Hai." ujar Nina yang melirikku ragu-ragu. "Aku ... Nina."
"Aku Astro. Calon suaminya Faza."
Aah, laki-laki ini benar-benar ....
Aku mengarahkan holder kembali padaku, "Harus banget ya bilang begitu?"
"Biar temen kamu tau."
Aku menggeleng perlahan dan menatap Nina, "Abaikan dia. Dia emang narsis dari dulu."
"Kan aku ngomong jujur. Laki-laki ganteng kayak aku jarang yang mau jujur bilang kalau udah punya calon istri." ujar Astro dengan senyum menggodanya yang biasa.
"Astro bener." ujar Nina dengan tawa di ujung kalimatnya.
"Temen kamu aja setuju." ujar Astro.
Aku melirik ke arah mereka berdua dengan tatapan tak percaya sebelum kembali fokus pada rute menuju kafe Zen, "Kamu kok masih di kampus?"
"Tadi ditahan sama dosen. Aku mau pulang kok sebentar lagi. Kalian mau ke mana?"
"Aku mau nganter Nina ke kafenya Zen."
Astro terdiam sebelum bicara, "Okay. Aku matiin video callnya dulu. Nanti kamu video call aku balik kalau udah selesai nganter temen kamu."
"Okay. Hati-hati ya."
"I love you, Nona Mafaza Marzia."
Aku menggeleng perlahan karena menyadari tingkahnya yang sama sekali tak melepas kesempatan untuk menunjukkan hubungan kami pada orang lain, "I love you too, Astro."
"Call me later (Nanti hubungin aku). Okay?"
"Okay."
Sambungan video call kami terputus sesaat setelahnya. Aku masih tak habis pikir dengan sikapnya yang masih sering kekanakan seperti itu.
"Kalian pacaran udah lama?" Nina bertanya dengan senyum lebar.
"Dari kelas sebelas. Aku ga tau apa itu bisa disebut lama." dan aku sebetulnya bukan pacarnya, tapi aku terlalu malas untuk meralat.
"Dua tahun ya berarti? Itu termasuk lama loh."
Aku tak memiliki kalimat apapun untuk menanggapinya, maka aku hanya tersenyum.
"Kalian mau nikah selesai kuliah nanti ya?"
"Mm, belum tau." ujarku dengan jujur. Walau Astro selalu berkata dia akan datang padaku dua setengah tahun lagi, tapi aku memikirkan berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Rancananya mungkin saja meleset dan membuatnya baru datang padaku lebih lama dari itu.
"Kirain udah nentuin tanggal. Semoga langgeng ya. Kalian kan LDR. Pasti berat."
Aku harus mengakui bahwa Nina benar. Hubunganku dan Astro memang berat.
Kami sampai di kafe tak lama setelahnya. Aku mengantar Nina hanya sampai parkiran. Namun tepat saat Nina turun dari mobil, Zen keluar dan menatapku canggung.
"Thank you, Za." ujar Nina dari luar jendela.
Aku mengangguk, "Aku duluan ya."
Nina melambaikan tangan sebelum aku pergi. Dari spion aku melihat Zen masih menatapiku dalam diam. Tepat di depan pintu.
Aku mengamit handphone dari holder tengah dan memindahkannya ke holder yang lebih dekat dengan kemudi, lalu memberi Astro panggilan video call. Astro menerimanya. Sepertinya dia baru masuk ke mobil.
"Aku pikir kamu mau ikut hang out." ujarnya sambil menutup pintu.
"Bukannya kamu yang minta aku jaga jarak dari Zen?"
Astro tersenyum lebar sekali, "I love you, Nona."
Aku menghela napas, "Aku nyerah deh ga flirting sama kamu. Kamu jangan ngadu ke Ayah ya."
Astro tertawa, "Yang suka ngadu kan kamu."
Aku tak mampu menyembunyikan senyum di bibirku. Dia benar dan aku mengakuinya, "Bukan berarti kita batal saling jaga diri ya"
"Aku tau, Nona. Aku bisa beneran batal jadi suami kamu kalau opa tau. Aku mau main aman sekarang."
Aku tahu aku tega sekali padanya saat mengadukan sikap vulgarnya pada Ayah, tapi aku tidak menyesalinya. Aku tahu kami akan baik-baik saja. Seperti biasanya.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-