Satu
Satu
Aku memaksa tubuhku bangkit, mengamit satu bantal dan selimut, juga membawa handphone dan earphone bersamaku. Aku akan mencoba tidur di sofa saja.
Aku membuka dan menutup pintu kamar perlahan. Berjalan dengan sangat pelan menuju sofa di tengah ruangan di lantai itu dan berharap aku tak akan membangunkan siapapun. Aku mencoba membuat diriku nyaman dengan membaringkan tubuh di sofa, menyelimuti tubuh dan memasang list musik dari handphone. Namun kesadaranku tetap terjaga karena kumpulan memori dari video yang kulihat berjam-jam lalu masih berkelebat di depan mataku.
Mungkin akan lebih baik jika aku mencari sedikit udara segar di balkon. Aku bangkit dari sofa dan berjalan perlahan, membuka pintu kaca seolah pintu itu adalah benda paling berharga, lalu menyandarkan tubuh pada teralis. Angin malam yang terasa dingin dan musik yang mengalun di telingaku membuatku merasa lebih baik. Sepertinya aku akan berdiam diri di sini hingga merasa mengantuk.
Mengingat kebersamaanku bersama Astro bertahun-tahun ini membuatku tak rela berjauhan dengannya. Aku hanya akan mencoba memaksa diriku terbiasa karena dia sudah memutuskan pendidikan lanjutannya berada di kota yang jauh dariku. Lagi pula, akulah yang bersikeras tak bisa mengikutinya. Saat ini aku tak ingin membayangkan bagaimana rasanya menjalin hubungan jarak jauh dengannya dan akan mencoba menjalaninya saja.
Seseorang melepas kedua earphone dari telingaku dan selembar selimut menyelimuti kedua bahuku, "Kan aku udah bilang kamu harus sehat."
Aku menoleh dan mendapati Astro mendekatkan diri tepat di sisiku. Dia mengamit sebelah tanganku dan menggenggamnya, lalu memeluknya tepat di dada.
"Kamu ga bisa tidur juga?" aku mencoba menebak.
Astro menggumam mengiyakan dan mengelus jariku dengan lembut, "Tadi aku liat kamu dari jendela."
Sepertinya aku baru menyadari bahwa dia juga merasa kesulitan berjauhan denganku. Aku menatapinya dalam diam. Wajahnya dalam gelap ini mungkin akan selalu kuingat saat aku sedang tak bersamanya.
Dia menoleh dan menatapku lekat, "Jaga jarak dari Zen. Aku tau mungkin ga akan gampang karena opa juga masih sering main catur sama dia, tapi tolong diusahain."
Aku menggumam mengiyakan, "Aku ga perlu khawatirin perempuan lain kan?"
Dia tersenyum dan menggumam mengiyakan, lalu mengecup jari tanganku dengan lembut. Dia menatapi jariku dengan tatapan menderita yang jelas sekali, "Aku pengen banget cium bibir kamu, tapi ayah pasti ngamuk kalau tau."
Jantungku berdetak sangat kencang. Ini adalah kedua kalinya dia menyebut tentang menciumku. Pertama kali aku membahas tentang berciuman di taman buah tahun lalu, dia berkata akan menjagaku karena aku berharga. Dengannya yang membahas ini yang kedua kalinya, sepertinya dia sedang melawan dirinya sendiri.
"Tunggu sampai waktunya." ujarku.
Dia menggumam mengiyakan walau masih mengecup jariku dengan tatapan menderita. Namun tiba-tiba menggigit pelan ujung jari telunjukku dan meninggalkan sensasi aneh di perutku.
"Hei!" tegurku sambil menarik tangan. Aku tahu dia sedang mengkhayalkan yang tak seharusnya. "Mau aku laporin ke Ayah?"
"Kamu tega biarin ayah ngajak aku sparing tengah malem begini?" dia bertanya sambil menarik tanganku kembali ke pelukan di dadanya.
"Kalau perlu." ujarku sebal.
Dia menatapku tak percaya, tapi segera mengalihkan tatapan ke sudut gelap di ujung pandangannya. Jarinya masih mengelus jariku seolah tak rela jika aku menariknya kembali.
Aku menghela napas pasrah sambil membalas elusannya di jariku selama beberapa lama. Mungkin akan lebih baik jika aku akan membiarkannya saja. Lagi pula, besok dia sudah berangkat ke Surabaya dan aku ingin memanfaatkan waktu untuk bersamanya lebih lama.
Astro menoleh padaku dan kami saling menatap dalam diam. Aku tak berani mengungkapkan apapun yang ada di pikiranku karena memang hal itu tak seharusnya terjadi sekarang. Sepertinya dia pun sama.
"Kita harus tidur." ujarnya setelah terasa selamanya.
"Aku mau tidur di sofa aja. Aku ga bisa tidur di kamar."
"Aku temenin." ujarnya sambil mengajakku masuk.
Dia menutup pintu kaca dan gorden, lalu mengantarku ke sofa sebelum kembali dengan dua selimut dan sebuah bantal dari kamarnya. Dia melipat satu selimut di atas karpet dan menjadikannya alas tidur, lalu menyelimuti dirinya sendiri dengan selimut yang lain.
Aku mendekatkan kepala di ujung bantal karena ingin menatapi sosoknya di bawah sana sebelum benar-benar tertidur, "Boleh aku pegang pipi kamu?"
Astro menggumam mengiyakan sambil memejamkan mata. Tangannya menggenggam tanganku dan menaruhnya di pipinya, "Kita harus tidur sekarang."
Aku menatapinya lekat sambil mengelus pipinya yang terasa dingin, "Good night, Honey."
"Good night, My Honey."
Aku melepas tatapanku dan memejamkan mata dengan jantung berdetak kencang. Malam ini adalah malam terakhir sebelum kami bertemu sebulan lagi sesuai janjinya.
***
Kurasakan seseorang mengelus wajahku, "Faza, ayo bangun. Udah pagi, Sayang."
Sepertinya itu suara perempuan. Aku memaksa membuka mata dan mendapati wajah Ibu berada dekat sekali dengan wajahku, sepertinya sedang berusaha membangunkanku. Aku menoleh ke bawah, Astro masih menggenggam tanganku dekat dengan wajahnya dan masih terlelap.
"Kalian kenapa tidur di sini sih?" Ayah bertanya.
Aku baru menyadari keberadaan Ayah yang sedang duduk bersila di dekat kaki Astro dan membuatku berpikir mereka baru saja memergoki kami tidur berdua. Aku menarik tangan dan memaksa tubuhku duduk.
Astro terbangun dan terlihat bingung sambil mencari keberadaan sesuatu. Mungkin dia mencari tanganku yang tiba-tiba tak ada dalam genggamannya. Dia segera menyadari keberadaan orang tuanya dan duduk, tapi merebahkan kepala di lututku. Sepertinya dia baru saja merasa pusing karena bangun tiba-tiba, karena aku juga merasakan hal yang sama beberapa saat lalu.
"Kita nikahin aja kali, Yah? Mereka ga mau lepas begini." ujar Ibu.
"Tunggu proyeknya selesai dulu. Udah janji jadi harus ditepati."
Ibu mengelus kepala Astro, "Coba nanti Ibu yang ngomong ke opa."
Astro mengangkat kepala dan tersenyum lebar sekali, "I love you, Ibu. Nanti Astro kasih banyak cucu yang imut buat Ibu."
Aku refleks memukul bahu Astro, "Apaan sih?"
Astro mengelus bahunya yang kupukul sesaat lalu, tapi memberiku senyum menggodanya yang biasa. Dia benar-benar menyebalkan.
Ibu tertawa, "Udah. Kalian mandi sana, ini udah jam tujuh. Kalau ditunda-tunda nanti kesiangan berangkat ke Surabaya."
Kami menuruti kata-kata Ibu untuk segera mandi dan sarapan. Aku membantu Astro memasukan brownies buatanku ke mobil dan mengecek semua barangnya sekali lagi, lalu berpamitan pada kedua orang tuanya sebelum berangkat.
Astro mengantarku pulang dengan membawa semua barang yang kami beli kemarin, dengan sepedaku di braket di belakang mobilnya. Dia menyempatkan diri berpamitan pada Opa dan Oma. Opa dan Oma memberinya banyak nasihat, juga memintanya menjaga kesehatan karena tak ada yang akan membantu mengurusinya di Surabaya.
Aku memintanya menunggu sebelum dia benar-benar berangkat untuk mengambil satu scarf dari kamar dan kembali menemuinya di samping mobil. Aku memakaikan scarf mengelilingi lehernya, "Kamu harus sehat, makan tepat waktu, minum vitamin setiap hari. Video call aku kalau udah sampai."
Astro tersenyum lebar sekali, "Baik, Nona Mafaza Marzia. Aku berangkat ya."
Aku menggumam mengiyakan sambil memperhatikannya memasuki mobil. Aku bahkan tak melepas tatapan saat dia menyalakan mesin mobil, menurunkan kaca jendela dan memberiku elusan di puncak kepalaku.
"Tunggu aku pulang sebulan lagi."
Aku mengangguk dan berusaha tersenyum manis. Tatapanku masih terpaku padanya yang mulai mengendarai mobil dan berlalu dari halaman rumah. Dia meninggalkanku dengan hati yang masih terasa tak rela.
Aku kembali ke kamar untuk meratapi kesendirianku dengan langkah lambat karena masih berharap dia akan tiba-tiba kembali untuk sekadar menggodaku. Namun aku tahu dia benar-benar pergi kali ini, hingga merebahkan tubuh di tempat tidur dan mencoba memejamkan mata untuk mencoba melepasnya pergi dengan lebih baik.
Kenapa aku bersikap seperti ini?
Handphone di saku celanaku bergetar. Aku mengamitnya dan menemukan panggilan video call, lalu menerimanya.
"Udah kangen aku kan, Nona?" ujarnya sambil memberiku senyum menggodanya yang biasa.
Dia membuatku tertawa.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-