Kampus
Kampus
"Emang aku harus bilang?"
Zen tak mengatakan apapun untuk menanggapiku, tapi ada senyum yang lebar sekali di bibirnya yang justru membuat beberapa perempuan di sekitar kami menyempatkan diri untuk menoleh. Namun aku akan mengabaikannya.
Ada banyak kegiatan prosesi penyambutan mahasiswa baru di kampus kami. Semuanya terjadwal selama beberapa hari. Selama beberapa hari itu pula Zen terang-terangan mendekatiku walau aku selalu berusaha menjauhkan diri darinya.
Kak Sendy yang kutemui beberapa kali saat prosesi berlangsung hanya menggeleng saat melihat Zen selalu membuntutiku. Dia bahkan sempat memberi isyarat padaku bahwa dia bisa saja melaporkannya pada Astro.
"Kalian pacaran ya?" Nina bertanya saat kami berjalan keluar gedung setelah prosesi penyambutan mahasiswa baru di hari terakhir selesai. Mungkin dia merasa penasaran karena aku dan Zen selalu bersama selama prosesi berlangsung.
"Dia punya pacar. Aku cuma jagain dia buat opanya." ujar Zen dengan senyum terkembang di bibirnya.
"Kamu pacarnya Astro bukan sih, Za?" Bian bertanya.
"Kamu kenal Astro?" aku bertanya.
"Ga sih. Ada temen deketku dulu yang sering buka instagram Astro. Dia marah-marah pas tau Astro ternyata punya pacar. Kayaknya aku sempet liat foto kamu di sana. Tadinya ga yakin sih kalau itu kamu, tapi ternyata bener."
"Iya, aku pacarnya."
Astaga, aku tak percaya aku benar-benar menggunakan kata-kata itu sekarang.
"Astro kuliah di mana?"
"Di ITS."
"Kalian pasti jarang ketemu ya? ITS deadlinenya kan parah. Udah gitu kegiatannya banyak banget. Jauh juga dari sini." ujar Daniel.
Aku hanya tersenyum untuk menanggapi dan berniat akan lebih memperhatikan Astro mulai sekarang. Dengan proyeknya yang masih belum selesai dan berbagai pekerjaannya yang lain, dia bisa tumbang kapan saja.
"Tapi Zen kayaknya ada rasa deh sama kamu, Za."
"Aku emang lagi nunggu kesempatan sih." ujar Zen.
Aku menatap Zen tak percaya. Dia benar-benar jujur mengatakannya tanpa ada ekspresi lain di wajahnya.
Teman-teman baruku saling menatap dengan canggung, tapi ada senyum di bibir Daniel. Seolah dia sedang mendukung Zen atau semacamnya.
"Sorry ya, aku duluan. Aku ada kerjaan." ujarku sambil melambaikan tangan dan mempercepat langkah kaki. Akan lebih baik jika aku menghindari topik ini. Aku ingin sekali segera sampai di rumah. Kegiatan penerimaan mahasiswa baru beberapa hari ini ternyata melelahkan walau aku tak bisa menolak kenyataan bahwa aku merasa senang.
"Kamu ga dijemput hari ini. Aku udah bilang opa kalau aku mau anter kamu pulang." ujar Zen yang berhasil menyusulku.
Aku menatapnya tak percaya, lalu mengamit handphone dari ransel dan menelpon Oma. Sebetulnya aku bisa saja membawa mobilku sendiri hari ini, tapi aku tak ingin menarik perhatian siapapun saat aku masih baru menjadi mahasiswi.
"Halo." terdengar suara Oma di ujung sambungan telepon.
"Oma, emang Pak Said ga jemput Faza?"
"Setau Oma tadi Zen bilang mau nganter Faza pulang. Zen ke rumah tadi pagi mau jemput Faza, tapi Faza udah berangkat."
"Kenapa ga ditolak aja Oma?" aku sengaja bertanya dengan nada jelas agar Zen mendengarnya.
"Ga enak nolaknya. Zen kan baik."
Aku merasa kesal mendengarnya walau tak mampu mengungkapkannya, "Ya udah kalau gitu."
"Hati-hati ya pulangnya."
"Iya, Oma."
Aku mematikan sambungan telepon dan sedang menimbang apakah akan lebih baik jika memesan taksi saat Zen mengamit tanganku untuk mengikutinya.
"Ayo pulang. Nanti keburu malem."
Aku menarik tanganku kembali, "Aku bisa jalan sendiri."
Zen tak menanggapi kalimatku dan berjalan dalam diam di sisiku. Dia memberi arah ke tempat mobilnya berada dengan isyarat tangan, lalu membuka pintu sebelah kemudi dan memintaku duduk, tapi aku menolak. Aku membuka pintu tengah dan duduk seorang diri.
Zen menggeleng seolah mengerti maksudku. Dia menutup pintu dan berjalan memutar menuju kemudi, lalu menyalakan mobil dan memulai perjalanan.
Aku tahu dia berkali-kali mengecek spion tengah untuk menatapiku, tapi aku mengabaikannya. Aku sudah memasang earphone dengan list musik dari handphone untuk menghindari percakapan apapun dengannya selama perjalanan ini.
Entah berapa lama kami berdiam diri saat handphoneku bergetar karena ada pemberitahuan pesan baru. Aku membukanya.
Astro : Kamu udah pulang?
Aku : Aku di jalan pulang
Astro : Hati-hati ya. Bilang sama pak Said dapet salam dari aku. Kamu mulai bawa mobil sendiri setelah ini kan?
Uugh, bagaimana aku harus menjelaskan padanya bahwa aku sedang bersama Zen?
Aku : Nanti aku sampaiin
Astro : Sampaiin sekarang. Nanti kamu lupa
Aku : Aku lagi ga sama Pak Said, tapi lagi dianter Zen. Tadi aku nelpon Oma katanya Zen udah ijin ke Opa. Trus Opa ga enak nolaknya
Astro membaca pesanku, tapi dia tidak membalasnya. Jantungku mulai berdetak dengan irama yang tak semestinya hingga membuatku berpikir untuk bicara dengan Opa setelah sampai rumah.
Aku menoleh ke luar jendela. Matahari yang hampir tenggelam di ujung sana terlihat cantik sekali. Aku selalu suka senja, tapi entah kenapa hatiku terasa gelisah saat melihat pemandangan cantik ini sekarang.
Aku menyandarkan kepala pada punggung kursi dan memejamkan mata walau tidak merasa mengantuk. Namun sesaat kemudian aku melepas sebelah earphone di telingaku dan menatap Zen, "Lain kali ga perlu jemput aku. Aku mau bawa mobil sendiri."
"Mobil yang dikasih pacar kamu itu?" Zen bertanya sambil melirikku dari spion tengah.
"Aku bawa mobil Opa. Aku ga mau narik perhatian siapapun di hari pertama." ujarku dengan jujur. Mobil pemberian Astro akan menarik banyak perhatian yang tak kuinginkan jika aku membawanya. Aku akan memakainya untuk pergi ke manapun kecuali ke kampus.
"Pacar kamu bisa ngambek kalau tau mobil darinya ga dipakai." ujar Zen dengan senyum terkembang di bibirnya.
Aku tahu Astro mungkin tak akan menyukainya, tapi aku akan memberinya pengertian. Mungkin jika perkuliahan sudah berlalu beberapa bulan dan aku sudah lebih terbiasa dengan lingkungan baru ini, aku akan mulai menggunakan mobi darinya.
Aku kembali memasang earphone dan mengecek pesan Astro berkali-kali. Aku mengetik sebuah pesan untuknya saat hampir setengah jam berlalu dia tak juga membalas pesanku.
Aku : Mulai kuliah nanti aku bawa mobil sendiri. Kamu ga perlu khawatir
Astro : Thank you, Honey. Bilang Zen dapet salam dariku
Aku lega Astro membalas pesanku dengan cepat kali ini. Aku menatap Zen di balik kemudinya, "Kamu dapet salam dari Astro."
Rahang Zen mengeras dan terlihat kesal walau tak mengatakan apapun. Setelah hening kembali menyebar di sekitar kami, aku memejamkan mata dan mencoba untuk tidur. Zen tak akan menggangguku jika aku tidur, bukan?
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-