Pizza
Pizza
Aku : Kita makan dulu
Astro : Kamu duluan. Aku masih nunggu ojol nganter delivery
Aku : Okay. Aku duluan ya
Astro : Makan yang banyak. Aku ga mau liat kamu kurus akhir bulan nanti
Aku mematikan wifi dan laptop karena berniat mengabaikannya, lalu berjalan ke dapur sambil menenteng handphone. Ada Bu Asih sedang membantu Oma menyiapkan makan siang di meja, maka aku membantu menata piring yang akan kami gunakan.
"Faza ajak opa sama Zen makan dulu ya." ujar Oma.
"Zen juga?" aku bertanya karena malas membayangkan akan makan siang bersamanya.
"Iya. Kan ga sopan kalau ga diajak makan juga."
"Dia kalau dateng jam berapa sih? Betah banget di rumah ini."
"Tadi kalau ga salah datengnya sekitar jam sembilan Mbak Faza. Pas Ibu (Oma) baru pulang dari pasar." ujar Bu Asih.
"Lama banget main catur sampai tiga jam?"
"Sst, jangan begitu. Nanti kalau kedengeran kan ga sopan." ujar Oma.
Aku merasa kesal mendengarnya. Aku tahu Zen banyak membantu pemulihan Opa selama ini dengan mengajak Opa bermain catur, yang membuat Opa mampu melepas stress yang berdampak baik pada kesehatan. Namun aku merasa tak nyaman jika harus sering bertemu dengannya, sedangkan aku dan Astro hanya bisa bertemu sebulan sekali.
"Udah siap nih." ujar Oma seolah sedang menegurku untuk segera memanggil Opa dan Zen.
Aku tak mengatakan apapun, tapi langsung beranjak ke ruang tamu. Aku mendapati Opa dan Zen sedang bercakap tentang kampus. Sepertinya permainan catur mereka sudah selesai sejak tadi.
"Opa, makan dulu yuk." ujarku setelah sampai di sisi Opa sambil membantu Opa berdiri.
Opa memberiku tatapan tajam. Aku tahu Opa sedang menegurku untuk menyapa Zen. Sejak pagi aku memang bekerja di kamar hingga tak bertemu dengannya. Terlebih, aku memang sedang ingin menghindarinya.
"Hai, Zen." ujarku dengan terpaksa.
"Kesel banget ya liat aku?" Zen bertanya dengan senyum lebar.
Aku tahu sejak dua tahun lalu bahwa Zen selalu memaksudkan setiap kata dalam kalimatnya. Dulu aku memang menghargainya, tapi sekarang entah kenapa hal itu terasa menyebalkan.
"Mafaza." Opa menegurku.
"Kamu diajakin Oma makan siang juga." ujarku. Sepertinya memang lebih baik tak menanggapi kalimat Zen sebelum ini.
Opa menggeleng perlahan sebelum menyambut tanganku. Aku membantu Opa berdiri, tapi Zen juga membantu Opa di sisi yang lain.
"Aku aja." ujar Zen.
Opa menyambut tangan Zen dan melepas tanganku. Membuatku merasa buruk dengan diriku sendiri.
"Opa lebih sayang sama Zen sekarang?" aku bertanya.
"Zen kan laki-laki, lebih kuat dari Mafaza." ujar Opa.
Alasan macam apa itu? Aku benar-benar tak mengerti. Selama ini Opa tak pernah menolak saat kubantu.
Zen memapah Opa berjalan di depanku. Aku hanya bisa memandangi mereka dari belakang dan berkutat dengan pikiranku sendiri.
"Kalau cemberut jelek tau." ujar Zen sambil menoleh sedikit padaku.
"Bagus. Kayaknya hidupku bakal lebih tenang karena ga ada yang deket-deket."
"Termasuk pacar kamu ya?"
Aku menatapnya tak percaya. Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu di depan Opa hingga Opa menatap kami berdua bergantian dengan tatapan tajam.
"Maaf, Opa. Zen kebawa suasana." ujar Zen dengan tatapan bersalah.
"Nanti main dua kali lagi sama Opa."
"Iya, Opa."
Aku menatap Zen kesal, "Kamu ga ada kerjaan lain apa?"
"Hari ini jadwal main catur sama Opa. Jadi sengaja ga ada jadwal lain."
Kami sampai di meja makan sesaat setelahnya. Aku baru saja duduk di kursiku yang biasa, di sebelah Opa. Namun Zen duduk di sebelahku, di kursi yang biasa diduduki Astro saat kami makan bersama.
Aku membantu Opa mengambil makanan dan meletakkannya di hadapannya, lalu mengambil piringku sendiri dan berpindah tempat untuk duduk di samping Oma. Untunglah meja makan ini memiliki enam kursi, hingga aku tak perlu terjebak duduk di samping Zen.
Oma menggeleng perlahan saat aku sampai di sisinya, "Maaf ya Zen. Faza emang galau gini sejak Astro ke Surabaya."
"Ga pa-pa, Oma." ujar Zen yang menatapku sambil tersenyum.
"Makan yuk." ujar Oma.
Setelah mengambil makanan untuk kami sendiri, Opa mengajak Zen melanjutkan pembicaraan mereka mengenai kampus. Aku hanya menanggapi seadanya saja hanya untuk sopan santun. Aku pamit pada Opa untuk melanjutkan pekerjaanku di kamar setelah selesai makan.
Aku menghela napas setelah menutup pintu kamar. Bagaimana caranya aku bisa menghindarinya bahkan di rumah? Haruskah aku mengurung diriku sendiri di kamar selama dia berada di sini?
Aku menghampiri tempat tidurku. Entah kenapa rasanya lelah sekali. Aku mengambil handphone dari saku dan memberi Astro panggilan video call. Astro mengangkatnya saat sedang menggigit sepotong pizza. Sepertinya dia sedang duduk di meja makan.
"Kenapa muka kamu cemberut begitu?" Astro bertanya setelah menelan potongan pizzanya.
"Gimana caranya aku ngindarin Zen di rumah?" aku bertanya dan mengabaikan pertanyaannya. Aku benar-benar perlu menjauh dari Zen secepat mungkin.
Astro terlihat berpikir sebelum bicara, "Aku ga punya ide buat itu. Opa selalu enjoy kalau main catur. Aku ga berani ngusulin kamu ngusir Zen dari Opa."
Aku membalik tubuh menghadap bantal. Jika Astro berpendapat seperti itu, maka mungkin aku memang terjebak dengan situasi ini seterusnya.
"Honey." aku bisa mendengar suara Astro samar-samar.
Aku mendongak dan mencari handphone yang kuletakkan sembarangan sesaat lalu. Aku menopangnya dengan bantal agar menghadap ke arahku dan mengaktifkan tombol speaker, lalu mengatur suara agar hanya aku yang bisa mendengar.
"Kamu berantakan banget."
Aku tak peduli bagaimana aku terlihat saat ini dan sepertinya aku akan melanjutkan pekerjaanku yang tertunda nanti saja. Aku membutuhkan waktu untuk menenangkan pikiran lebih dulu, "Aku mau pizzanya."
"Mau aku pesenin?"
"Aku mau yang itu."
"Aku pesenin yang sama." ujarnya sambil mengigit pizza.
"Ga. Aku mau yang kamu pegang."
"Seriously? Kamu kan ga lagi ngidam sekarang."
Aku menutup kepala dengan bantal, "Uugh!"
"Gabut banget sih?" Astro tertawa, tapi tiba-tiba berhenti karena tersedak. Aku bisa mendengarnya terbatuk-batuk.
Aku mengintip layar handphone dari bawah bantal. Ada sebagian rambut yang menutupi penglihatanku, tapi aku mengabaikannya. Aku melihatnya sedang meneguk jus dan mengelap mulut dengan lengan, "Sukurin. Ngeledekin aku sih."
"Aku tutup ya. Aku nelpon ibu dulu." ujarnya singkat dengan wajahnya merona merah sekali. Kemudian sambungan video call terputus karenanya dan meninggalkanku yang masih merasa kesal dengan segalanya.
=======
Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE
Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte
Novel ini TIDAK DICETAK.
Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.
Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx
Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.
Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!
Regards,
-nou-