Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Selingkuh



Selingkuh

1"Zen ga bareng kamu lagi?" Kak Sendy bertanya padaku.     

Kami tak sengaja bertemu di kantin beberapa saat lalu dan memutuskan untuk duduk di halaman gedung fakultas untuk berbincang. Kami baru selesai membahas tentang SKS yang akan kujalani dan dia memberiku banyak saran yang sangat membantu.     

"Belum dateng mungkin. Tolong kasih tau dong, Kak, suruh dia jauh-jauh. Kalian kan lumayan deket."     

"Sorry, aku ga bisa bantu soal itu. Dia anak baik sih jadi aku ga enak negurnya. Dia juga ga nyakitin kamu kan?"     

"Tapi aku risih ada dia di mana-mana."     

"Kalau cuma ditempelin sih cuekin aja kali. Nanti juga dia bosen."     

"Dia ga segampang itu bosennya. Sekarang baru berani karena Astro ga ada. Dulu kan ga begini."     

"Kamu kenapa ga ikut Astro aja?"     

"Aku ga bisa ninggalin Opa sama Oma."     

"Susah juga ya? Ah, tuh anaknya nongol."     

Aku menoleh dan mendapati Zen sedang berjalan menghampiri kami, dengan celana jeans dan kemeja lengan panjang yang digulung seadanya. Aku tak akan terkejut jika ada saja perempuan yang menatapinya diam-diam.     

"Ada kelas juga, Kak?" Zen bertanya.     

"Ga di jam ini sih. Ini mau ketemu anak-anak BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) jadi mampir sebentar. Kalian mau daftar jadi pengurus?"     

"Boleh."     

"Aku ga bisa. Kerjaanku udah banyak." ujarku.     

"Okay. Ah, iya." ujar Kak Sendy yang memelankan suaranya. "Kalian mau dateng ke pameran lukisan papaku? Acaranya bulan depan. Nanti aku kenalin ke papa kalau kalian dateng."     

"Aku liat jadwalku dulu ya."     

Zen terlihat tak mengerti dengan arah pembicaraan kami. Aku cukup mengerti kebingungannya karena Kak Sendy tak pernah memublikasikan tentang papanya sebelum ini. Dia ingin memiliki namanya sendiri di dunia seni tanpa bantuan nama papanya.     

"Papanya Hanum Cokronegoro, Zen." ujarku untuk memberinya penjelasan. Sepertinya di titik ini Kak Sendy tak akan keberatan jika Zen mengetahuinya. Lagi pula, Zen akan mengetahuinya jika datang kr pameran.     

Zen terkejut sekali, "Aku pasti dateng, tapi kamu kok tau?"     

"Mm, Kak Sendy pernah bilang." ujarku dengan canggung. Aku tak mungkin menceritakan tentang pertemuan berkala yang kami lakukan.     

"Ya udah nanti kabar-kabarin ya. Aku mau ketemu anak-anak BEM dulu. Oh ya, salam buat Astro." ujar Kak Sendy sambil menjauh.     

Aku tersenyum sebelum dia benar-benar pergi. Aku tahu dia menyebut Astro dengan sengaja. Aku beranjak dari dudukku. Kurasa akan lebih baik jika aku masuk sekarang.     

"Kamu ga ke rumah kan tadi?" aku bertanya pada Zen yang sedang berjalan di sisiku. Beberapa hari ini aku sengaja berangkat lebih cepat untuk menghindarinya menjemputku, tapi aku mendapat informasi dari Oma bahwa dia selalu datang.     

"Aku ke rumah ketemu Opa."     

"Kamu bisa berhenti dateng, Zen."     

"Aku ga nemu alasan buat berhenti tuh."     

Aku menghela napas karena tak mengerti dengan bagaimana caranya berpikir, "Minggu ini kamu main catur lagi sama Opa?"     

"Iya, nanti aku ke rumah hari sabtu sama minggu."     

Aku sudah bisa membayangkan akan pergi saja dari rumah di hari itu. Mungkin ke coffe shop milikku yang dekat dengan sekolah akan lebih menyenangkan dari pada harus merasa terganggu dengan kehadirannya.     

"Kenapa kamu ga kasih aku kesempatan?" Zen bertanya tiba-tiba.     

"Kesempatan apa?"     

"Jadi pacar kamu."     

Aku menoleh padanya yang sedang menatapku dan sepertinya aku akan mengatakannya dengan jelas, "Buat apa aku ngasih kamu kesempatan kalau aku punya Astro?"     

"Dia bahkan ga di sini sekarang."     

"Maksudnya kamu mau aja aku jadiin selingkuhan?"     

"Aku mau kalau emang bisa."     

Aku menghentikan langkah dan menatapnya tak percaya, "Kamu kenapa sih, Zen? Perempuan lain tuh banyak."     

"Ga ada yang kayak kamu."     

"Aku udah punya Astro. Aku ga akan selingkuh cuma karena dia jauh dariku."     

"Dia mungkin malah udah selingkuh dari kamu."     

Ada sensasi menggeliat tak nyaman di perutku saat mendengar kalimatnya, "Astro ga begitu."     

Hening di antara kami. Kami hanya saling menatap dengan suasana buruk yang terus berkembang hingga membuat kepalaku berdenyut mengganggu.     

"Kamu cuma udah terbiasa sama Astro, Faza. Kalau kamu kasih aku kesempatan, kita bisa kenal lebih deket." ujarnya setelah terasa selamanya.     

"Aku udah cukup kenal kamu. Aku tau kamu baik, tapi aku ga suka kalau kamu begini. Kamu ganggu." ujarku yang baru saja akan berjalan lebih cepat untuk mendahuluinya, tapi dia menahan lenganku.     

Dia menatapku dengan tatapan mantap di matanya yang berwarna hitam, "Sorry kalau aku bikin kamu ngerasa keganggu."     

"Bisa kan kamu ga ganggu aku begini?"     

Dia menghela napas, "Aku ga bisa janji jauhin kamu secara kita satu prodi (program studi), tapi kamu bisa lupain aja omonganku tadi soal jadi selingkuhan kamu. Aku mau tetep minta jadi satu-satunya kalau emang bisa."     

Astaga, apa pula maksud kalimatnya itu?     

"Aku pernah bilang kan friendzone ga jelek-jelek amat." ujarnya sambil melepas genggaman tangannya di lenganku.     

Aku menatapnya gamang. Dia tak mungkin secepat ini menyerah, tapi aku akan menyetujuinya saja untuk sementara, "Ga lebih dari temen."     

"Iya." ujarnya dengan nada terpaksa dan rahang mengeras.     

Aku mengabaikannya dan melanjutkan langkah. Aku harus berhati-hati dengan sikapku padanya. Opa sudah memintaku untuk bersikap baik padanya dan dia bisa leluasa menceritakan apapun pada Opa. Aku tak ingin Opa menganggapku tak mampu menjaga hubungan dengan orang lain, tapi ini terasa menyebalkan.     

"Tapi opa emang titip kamu ke aku. Kamu bisa bilang ke Astro biar dia ga salah paham kalau kamu mau."     

Aku menoleh untuk menatapnya dan berusaha mencari sedikit ekspresi yang mungkin lupa dia sembunyikan, tapi tak menemukan apapun. Mungkinkah dia jujur?     

"Aku bilang ke Astro nanti."     

"Kamu beneran segitu sukanya sama Astro?"     

"Iya. Lagian aku udah kenal Astro bertahun-tahun. Kita ke mana-mana bareng dari dulu."     

"Bener kan apa yang aku bilang? Kamu cuma udah terbiasa sama Astro. Kamu bisa aja kasih aku kesempatan buat bikin kamu biasa sama aku."     

Aku tahu dia benar walau aku merasa sangat kesal mendengarnya, "Jangan mulai, Zen. Temen ga bahas begituan. Kamu kan tau."     

"Fine."     

Saat kami memasuki ruangan bersama, sudah ada beberapa orang yang sedang berbincang. Aku memilih duduk di belakang. Zen mengikutiku dan duduk tepat di sebelahku.     

"Ga bisa jauhan aja duduknya?" aku bertanya dan sengaja memberinya tatapan tajam untuk membuatnya mengerti maksud ucapanku. Entah kenapa aku merasa lelah sekarang.     

"Temen tuh biasa aja kalau ada temennya duduk di sebelahnya. Kamu kan tau." ujarnya dengan senyum terkembang di bibirnya.     

Aku menatapnya tak percaya karena merasa sedang dimanfaatkan olehnya. Namun bodohnya aku, aku tahu sejak dulu, dia tak akan menyerah semudah itu.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.