Penikmat Senja-Twilight Connoisseurs

Lily



Lily

0"Aku pulang ya, Za." ujar Sari sambil menenteng tas.     

"Hati-hati ya."     

Sari mengangguk sebelum keluar. Aku melirik jam di lengan, pukul 18.35. Aku akan menutup toko satu jam lagi. Putri masih berada di perjalanan untuk kembali ke sini, entah jam berapa dia akan sampai. Tadi pagi dia berkata ibunya mengizinkannya untuk tetap bekerja bersamaku.     

"Jadi toko kamu tuh di sini?"     

Aku menoleh dan terkejut mendapati Zen berada di belakangku, dengan seorang perempuan yang terlihat lebih tua darinya. Sepertinya mereka masuk saat Sari keluar.     

"Hai, Zen. Ada yang bisa kubantu?"     

"Kakakku dapat referensi dari temennya buat bikin wedding crown di sini." ujar Zen sambil memberi isyarat ke arah perempuan di sisinya.     

"Kakak mau nikah?" aku bertanya.     

Dia mengangguk dengan senyum simpul yang terlihat cantik.     

Aku mengulurkan tangan padanya, "Aku Faza."     

Dia menoleh untuk menatap Zen sebelum menyambut tanganku, "Liana."     

"Duduk dulu yuk, Kak." ujarku sambil mengajak mereka duduk di sofa dan meninggalkan aksesoris gaun Teana untuk kukerjakan lagi nanti.     

"Faza cucunya opa Dewanto?" Kak Liana bertanya setelah duduk.     

Aku menggangguk, "Kakak kenal sama Opa?"     

"Oh, ga sih. Zen pernah cerita katanya tiap weekend main catur sama opa." ujar Kak Liana sambil menatapi Zen dan aku bergantian. "Bener yang kamu bilang. Cantik."     

"Dia ga mau aku ganggu karena udah punya pacar." ujar Zen sambil terus menatapku.     

Aku harus menghindari topik ini, "Kakak punya desain khusus yang Kakak mau buat wedding crown-nya?"     

"Tuh. Dia selalu begini." ujar Zen yang terlihat sangat terbiasa dengan sikapku.     

Kak Liana tersenyum menatap kami berdua bergantian, "Kamu kalah cepet sih, Dek."     

Zen menatap kakaknya enggan sebelum beralih menatapku membali, "Sorry kalau kita ganggu kamu."     

"Ga ganggu kok." ujarku.     

Mungkin Zen mengingat percakapan kami saat aku memintanya untuk tak menggangguku, tapi sekarang kakaknya sedang membutuhkan bantuan. Aku tak akan menganggapnya sebagai sebuah gangguan.     

Zen tersenyum walau segera menyadari sikapnya, "Aku keliling liat-liat dulu deh."     

"Faza kenal Zen dari SMA kan?" Kak Liana bertanya setelah Zen menjauh.     

Aku mengangguk.     

"Zen suka banget sama Faza loh. Di kamarnya ada banyak lukisan Faza."     

"Mm ..., gitu ya?" ujarku ragu-ragu. Sebetulnya aku tak terkejut jika mengingat lukisan spot favoritnya di sekolah saat masih di SMA beberapa bulan lalu, tapi percakapan ini terasa sangat canggung. Aku merasa Kak Liana tak seharusnya mengatakan hal itu.     

Kak Liana tersenyum, "Maaf ya kalau Kakak bikin Faza ga nyaman. Cuma mau ngasih tau aja kok. Zen anak baik."     

Aku tak memiliki kalimat apapun untuk menanggapinya, maka aku hanya diam dan tersenyum. Akan lebih baik jika aku tak membuat suasana di sekitar kami lebih canggung dari ini.     

Kak Liana mengeluarkan handphone dan memperlihatkan sebuah foto desain tiara yang diinginkannya. Tiara dengan desain minimalis yang dipenuhi bunga lily of the valley.     

"Bunga ini ga numbuh di Indonesia, Kak. Jadi kalau Kakak mau pakai desain ini, Faza bikin bunganya artifisial. Ga pa-pa?"     

"Ga masalah kok. Kalau bikin ini kira-kira selesai kapan?"     

"Mungkin sekitar dua minggu, soalnya waiting list. Ada banyak pesenan yang lain juga. Kakak nikahnya kapan?"     

"Ga pa-pa kalau dua minggu. Kakak nikah pertengahan november kok. Nanti Faza dateng ya."     

Aku tak sampai hati jika menolaknya, maka aku mengangguk.     

"Kakak minta nomor Faza boleh?"     

"Boleh kak." ujarku sambil memberi nomor handphoneku.     

Kak Liana menyimpannya dan tersenyum simpul, "Kakak boleh liat-liat dulu? Barang craft di sini bagus-bagus."     

"Boleh. Faza ke atas sebentar ya."     

Kak Liana mengangguk dan menghampiri Zen yang sedang menatapiku dari salah satu etalase. Aku meninggalkan mereka untuk mengambil satu teko teh buah, dengan tiga gelas kosong dan satu piring berisi tujuh potong brownies chocolate double fugde dengan topping almond dan sea salt (garam laut) buatanku.     

Aku membawanya turun dengan menggunakan sebuah nampan, lalu menaruhnya di etalase dekat dengan Zen dan Kak Liana sedang berbincang. Aku menuang teh ke masing-masing gelas dan menyodorkan masing-masing satu pada keduanya.     

"Ga usah repot-repot, Za." ujar Kak Liana, tapi Zen mengamit sepotong brownies dan menggigitnya tanpa malu-malu. "Ga punya tata krama ya, Dek?"     

"Enak kok. Aku pernah makan di rumah Opa. Kakak cobain aja." ujarnya sambil menyodorkan sisa potongan brownies di tangannya.     

"Ga mau bekas kamu dong, ah." ujar Kak Liana sambil memukul lengan Zen.     

Zen tertawa, "Kalau di rumah semua makananku Kakak yang abisin, tapi di sini sok jaim."     

"Sstt, berisik, ih, Dek."     

"Kalian akrab banget ya?" aku bertanya sambil tersenyum. Entah kenapa terasa seperti sedang melihat aku dan Danar sedang bercanda.     

"Akrab apanya? Adek ngeselin begini." ujar Kak Liana sambil mencubit pipi Zen kencang hingga meninggalkan rona merah.     

"Kalau ga ada juga dicariin." ujar Zen dengan tawa di ujung kalimatnya.     

"Iya ya? Kakak pasti kangen kalau pindah ke Aussie. Kamu ikut Kakak aja yuk."     

"Ga, ah. Ngapain ikut? Kakak kan udah punya budak baru."     

Aku yang sedang menyesap teh tersedak mendengar Zen mengatakan budak. Aku tahu mungkin maksudnya adalah calon suami Kak Liana.     

"Eh, ga pa-pa, Za?" Kak Liana terlihat terkejut dan langsung mengusap punggungku.     

Aku mengangkat sebelah tangan sebagai isyarat pada mereka bahwa aku baik-baik saja. Aku tak bisa mengatakan apapun karena masih terbatuk-batuk.     

Zen mengambil sekotak tisu yang berada di meja kasir dan menyodorkannya padaku, "Hati-hati dong."     

Aku menerimanya dan mengelap wajah dengan tisu, "Thank you."     

"Kalau kalian jadian bakal seru sih sebenernya." ujar Kak Liana.     

Kalimat Kak Liana meninggalkan sensasi buruk di dadaku, tapi aku mencoba tersenyum hanya untuk sopan santun. Sedangkan Zen terlihat salah tingkah dengan ucapan kakaknya dan segera mengalihkan tatapan dariku.     

"Kakak udah kan?" Zen bertanya sambil mengamit kunci mobil dari sakunya.     

"Udah kok." ujar Kak Liana sambil tersenyum, seolah mengerti Zen sedang berusaha melepaskan diri dari situasi ini.     

"Abisin minumnya. Ga sopan kalau ga diabisin padahal udah dibikinin." ujar Zen sambil menyodorkan gelas teh pada Kak Liana, lalu menghabiskan teh di gelasnya sendiri.     

"Nanti kabarin kalau flower crown-nya udah jadi ya." ujar Kak Liana setelah menghabiskan tehnya.     

Aku mengangguk, "Nanti Faza kabarin, Kak."     

Mereka beranjak dan aku mengantar mereka sampai di depan pintu. Aku baru kembali ke sebelah aksesoris untuk gaun Teana setelah mobil Zen menghilang dari pandangan. Aku mengamit handphone untuk mengecek pemberitahuan dan baru menyadari, Astro belum memberi kabar padaku sejak keberangkatannya ke proyek yang entah berada di mana.     

=======     

Temukan nou di Facebook & Instagram : @NOUVELIEZTE     

Untuk baca novel nou yang lain silakan ke : linktr.ee/nouveliezte     

Novel ini TIDAK DICETAK.     

Novel pertama nou yang berjudul "Penikmat Senja -Twilight Connoisseurs-" ini EKSKLUSIF & TAMAT di aplikasi WEBNOVE.L. Pertama kali dipublish online di WEBNOVE.L tanggal 2 Juli 2019 dan selesai tanggal 29 September 2020.     

Kalau kalian baca part berkoin di chapter 74 [PROYEK] & seterusnya selain WEBNOVE.L, maka kalian sedang membaca di aplikasi/website/cetakan BAJAKAN dan nou ga ikhlas kalian baca di sana. Silakan kembali ke LINK RESMI : http://wbnv.in/a/7cfkmzx     

Semoga readers sehat, lapang rejeki, selalu menemukan solusi terbaik apapun masalah yang sedang dihadapi dan bahagia bersama keluarga tersayang. Nou sangat menghargai kalian semua yang mendukung novel ini dengan nulis komentar & review, juga gift karena bikin nou semangat.     

Terima kasiiiih buat kalian yang SHARE novel ini ke orang lain melalui sosmed yang kalian punya. Luv kalian, readers!     

Regards,     

-nou-     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.